Rabu, 07 November 2007

KH Muhtar Syafa'at

Salah satu ulama terkemuka di Banyuwangi ini terkenal dengan sikap dan perilaku yang menjadi panutan umat. Dialah KH Mukhtar Syafaat, pendiri sekaligus pengasuh Pondok Pesantren Darussalam, BlokAgung, Jajag, Banyuwangi Suatu waktu, Kyai Dimyati (putra KH Ibrahim) mengalami jadzab (“nyleneh”). Ia mengusir Syafa’at dan kedua sahabatnya yang bernama Mawardi dan Keling. Ketiganya adalah santri yang dibencinya. Saat Kyai Syafa’at sedang mengajar, Kyai Dimyati (Syarif) melemparinya dengan maksud agar Syafa’at meninggalkan pondok. Akhirnya Syafa’at meningalkan Pondok Pesantren Jalen Genteng yang diikuti oleh salah satu santri yang bernama Muhyidin, santri asal Pacitan ke kediaman kakak perempuannya Uminatun yang terletak di Blokagung. Selama di Blokagung ini, ia mulai mengajar di Musala milik kakak perempuanya itu. Mula-mula ia Al-Qur’an dan beberapa kitab dasar kepada para pemuda masyarakat sekitar dan akhirnya para santri yang dahulu menetap di Pondok Pesantren Jalen Genteng turut belajar di Musala kecil itu. Beberapa bulan kemudian, musala itu sudah tidak dapat menampung lagi para santri yang ingin belajar kepadanya. Akhirnya, tempat belajar pindah ke masjid milik Kyai Hamid yang berada tidak jauh dari musala.Itulah sekilas latar belakang KH Muktar Syafaat Abdul Ghafur seorang ulama dan guru panutan umat. Ia lahir di dusun Sumontoro, Desa Ploso Lor, Kec Ploso Wetan, Kediri, 6 Maret 1919. Ia adalah putra keempat dari pasangan suami-isteri KH Abdul Ghafur dan Nyai Sangkep. Kalau dilihat dari silsilah keturunan, KH Mukhtar Syafa’at merupakan salah seorang keturunan pejuang dan ulama, dari silsilah ayahnya, yakni KH Mukhtar Syafa’at putra dari Syafa’at bin Kyai Sobar Iman bin Sultan Diponegoro III (keturunan prajurit Pangeran Diponegoro) dan garis ibu, yaitu Nyai Sangkep binti Kyai Abdurrohman bin Kyai Abdullah (keturunan prajurit Untung Suropati).Sejak usia kanak-kanak (4 tahun), Syafa’at telah menunjukkan sikap dan perilaku cinta terhadap ilmu pengetahuan dan berkemauan keras mendalami agama Islam. Setiap sore hari, ia tekun mengaji ke mushola terdekat yang saat itu diasuh oleh Ustadz H. Ghofur. Dari sinilah ia mulai belajar membaca Al-Qur’an, tajwid dan Sulam Safinah. Pada tahun 1925 (usia 6 tahun), Syafa’at kemudian mengaji ke Kyai Hasan Abdi selama 3 tahun di desa Blokagung, Tegalsari, Banyuwangi.Selepas dikhitan pada tahun 1928, ia kemudian melanjutkan ke Pondok Pesantren Tebuireng, Jombang yang saat itu diasuh oleh KH. Hasjim Asy’ari. Di pesantren ini, ia seperti umumnya santri-santri lain mendalami ilmu-ilmu agama Islam seperti Ilmu Nahwu, Shorof, Fiqih, Tafsir Al-Qur’an dan Akhlaq Tasawuf. Setelah 6 tahun menimba ilmu di Pondok Tebuireng, pada tahun 1936 ia diminta pulang oleh ayahnya agar saudaranya yang lain secara bergantian dapat mengenyam pendidikan pesantren. Permintaan tersebut ditampiknya secara halus, karena ia ingin mendalami dan menguasai ilmu-ilmu pesantren. Atas saran salah satu kakaknya, yakni Uminatun (Hj. Fatimah) pada tahun 1937 ia akhirnya meneruskan studi ke Pondok Pesantren Minhajut Thulab, Sumber Beras, Muncar, Banyuwangi yang diasuh KH. Abdul Manan. Selama menjadi santri di ponpes Minhajut Thulab, Syafa’at sering jatuh sakit. Setelah satu tahun, ia akhirnya pindah lagi ke Ponpes Tasmirit Tholabah yang diasuh oleh KH Ibrahim. Di pondok ini selain belajar, ia juga dipercaya oleh KH Ibrahim untuk mengajar ke santri lain. Di Pondok ini juga, Syafa’at mulai mengkaji ilmu-ilmu tasawuf, seperti belajar kitab Ihya Ulumiddin karya Syekh Imam Al-Ghozali. Pemahaman ini tidak sebatas pelajaran teori saja, namun juga ia praktekan secara langsung seperti saat mandi, shalat fardhu, dan berhubungan dengan lain jenis. Saat mandi, ia tidak pernah menanggalkan seluruh pakaiannya, dan tidak pernah melihat auratnya. Selain itu, selama di Ponpes Tasmirit Tholabah ia senantiasa shalat berjamaah di masjid. Padahal, ia termasuk kriteria “santri kasab”, yaitu santri yang mondok sambil bekerja kepada masyarakat sekitar.Selama masih menuntut ilmu dan merasa belum waktunya menikah, Mukhtar Syafa’at senantiasa memelihara diri dan menjaga jarak dengan hubungan lain jenis. Suatu hari, ia oleh teman-teman santri dijodoh-jodohkan dengan seorang gadis masyarakat sekitar Pondok Tasmirit Tholabah. Apa reaksinya? Ia justru bersikap dan berperilaku layaknya orang gila dengan cara memakai pakaian yang tidak wajar. Dengan demikian, gadis yang dijodoh-jodohkan tersebut beranggapan bahwa Syafa’at adalah benar-benar gila, dan praktis keberatan bila dijodohkan.Pengembaraan kyai Syafaat dalam menuntut ilmu adalah perjalanan panjang yang menuntut perjuangan, ketabahan hati dan pengorbanan. Ia seringkali dalam situasi dan kondisi yang memprihatinkan. Salah seorang sahabatnya ketika belajar di Ponpes Tasmirit Tholabah, KH Mu’allim Syarkowi menuturkan keadaannya,”KH Syafa’at(Alm) ketika belajar di Pondok Tasmirit Tholabah, Jalan Genteng Banyuwangi, sangatlah menderita. Ia sering jatuh sakit, terutama penyakit kudis (gudik). Disamping itu, ia tidak mendapat kiriman dari orang tuanya sehingga harus belajar sambil bekerja. Apabila musim tanam dan musim panen tiba, kami harus mendatangi petani untuk bekerja. Pagi-pagi benar kami harus sudah berangkat dan menjelang Dzuhur kami baru pulang. Sedangkan malam hari kami gunakan untuk belajar mengaji.”Walaupun dalam kondisi yang memprihatinkan, Kyai Syafa’at tetap bersikeras untuk mendalami ilmu-ilmu agama Islam. Semasa masa pendudukan Jepang antara tahun 1942-1945, ia juga turut berperan aktif dalam bela negara dan merebut kemerdekaan RI.Oleh teman-teman seperjuangan, ia diangkat sebagai juru fatwa dan sumber ide dalam penyerangan. Setiap akan melangkah, mereka meminta pertimbangan dahulu kepada Syafa’at. Pada jaman pendudukan Jepang, Syafa’at tidak luput dari gerakan Dai Nippon Jepang yang bernama Hako Kotai, yaitu gerakan pemerasan terhadap harta, jiwa dan harta bangsa Indonesia demi kemenangan Perang Asia Timur Raya. dalam gerakan ini, Syafa’at diwajibkan mengikuti kerja paksa selama 7 hari di Tumpang Pitu (pesisir laut pantai selatan teluk Grajagan dan Lampon). Ia dipekerjakan sebagai penggali parit perlindungan tentara Jepang.Saat Belanda mendarat di pelabuhan Meneng, Sukowati, Banyuwangi Syafa’at tidak tinggal diam. Ia bergabung dalam Barisan Keamanan Rakyat yang dipimpin Kapten Sudarmin. Syafa’at juga turut aktif melakukan penyerbuan ke kamp-kamp tentara Belanda saat perang gerilya dengan bergabung dalam Font Kayangan Alas Purwo dan Sukamande kecamatan Pesangaran yang dipimpin Kyai Muhammad dan Kyai Musaddad. Lepas dari alam penjajahan Jepang dan Belanda, tepatnya pada tahun 1949 ia mulai merintis berdirinya Pesantren Darussalam. Setelah melalui perjuangan yang berat, pesantren Darussalam akhirnya berkembang dari waktu ke waktu dan jumlah santrinya pun semakin bertambah banyak. Ini tak lepas dari sosok pendiri dan pengasuh pesantren KH Syafa’at yang menjadi sosok teladan sekaligus panutan umat. Ia juga kerap dimintai pertolongan untuk melakukan pengobatan masyarakat. Dengan cara menulis lafadz Ya’lamuuna, selepas itu pada huruf ‘Ain ditancapkan paku sambil dipukul palu. Sesekali KH Syafa’at menanyai pasien, apakah masih sakit atau tidak. Kalau masih sakit, dipukul lagi dan jika makin parah maka pada huruf Mim juga akan ditancapkan paku dan dipukul lagi sebagaimana huruf ‘Ain. Konon, pengobatan tradisional ini banyak melegakan pasien. Selain itu, ia juga sering dimintai untuk mengobati dan menangkal gangguan santet dan sejenisnya. Sehingga rumahnya kerap dikunjungi para tamu dari berbagai daerah. “Kalau kalian mengetahui ada tamu, maka beri tahu saya. Kalau saya tidak ada atau bepergian, silahkan tamu tersebut singgah ke rumah barang sejenak dan hormatilah mereka dengan baik. Kemudian, pintu rumah jangan ditutup sebelum jam 22.00,” demikian pesan KH. Syafa’at kepada keluarga dan para santri.KH Syafaat juga dikenal sebagai pribadi yang penuh kesedehanaan, qanaah, teguh menjaga muru’ah (harga diri) dan luhur budinya. Ia tidak pernah merasa rendah di hadapan orang-orang yang kaya, apalagi sampai merendahkan diri pada mereka dan ia tidak malas beribadah karena kefakirannya. Bahkan jika disedekahi harta, ia tidak mau menerima. Sekalipun diterima itu pun hanya sebatas yang diperlukan saja, tidak tamak untuk mengumpulkannya. Bahkan Kyai Sya’aat dikenal punya semangat memberi dan memuaskan setiap orang yang datang kepadanya. Pernah suatu saat Kyai Syafa’at akan berangkat Haji, terlebih dahulu ia berziarah ke makam Sunan Ampel di Surabaya. Lepas dari komplek makam, ia bertemu dengan ratusan pengemis dan ia memberikan shodaqah kepada para pengemis di sekitar makam sampai uangnya habis. Bahkan karena sebagian pengemis itu tidak kebagian, ia kemudian menyuruh salah satu santrinya untuk mencarikan hutangan sejumlah empat juta rupiah kepada Masyhuri di Surabaya untuk disedekahkan kepada para pengemis yang tidak kebagian.Tidak hanya itu, sering uang bisyaroh selepas mengisi pengajian di banyak tempat di berikan langsung kepada orang-orang yang tidak dikenalnya, tanpa menghitung jumlah uang yang diterimanya. Selain dermawan akan harta dan ilmu, KH Syafa’at dikenal seorang ulama yang wira’i ( menjaga kehormatan). Suatu ketika Kyai bepergian dengan ditemani oleh salah satu sopir, H Mudhofar, sampai di Karangdoro mobilnya rusak (mogok). Akhirnya mobil dibenahi dan oleh H. Mudhofar diambilkan batu bata untuk mengganjal mobil, di salah satu perumahan penduduk. Setelah selesai, mobil berjalan dan KH Syafa’at bertanya,”Batu bata itu milik siapa? Kalau punya orang, kembalikan!” Akhirnya mobil berhenti dan batu bata tersebut oleh H. Mudhofar dikembalikan ke tempatnya semula.Selain aktif dalam kegiatan kemasyarakatan, KH. Syafa’at juga aktif dalam Jami’ah Keagamaan Nahdlatul Ulama. Tercatat, ia pernah menjadi pengurus dari tingkat ranting sampai cabang. Jabatan terakhirnya adalah sebagai salah satu Mustasyar wilayah Banyuwangi, Jawa Timur.KH Syafaat pada hari Jumat malam, 1 Februari 1991 (17 Rajab 1411 H) dengan meninggalkan 14 anak (10 putra, 4 putri) dari perkawinannya dengan Nyai Siti Maryam dan 7 anak (4 putra, 3 putri) dari perkawinannya dengan Nyai Hj Musyarofah. Jenazah setelah disemayamkan di rumah duka dan dishalati oleh mu’aziyin sampai 17 kali kemudian dimakamkan komplek makam keluarga, sekitar 100 meter arah utara dari Pesantren Darussalam, Blokagung, Banyuwangi.

KH Ahmad Jazuli Utsman


Dialah Mas’ud, yang mendapat julukan Blawong dari KH. Zainuddin. Kelak dikemudian hari ia lebih dikenal dengan nama KH. Achmad Djazuli Utsman, pendiri dan pengasuh I Pondok Pesantren Al-Falah, Ploso, Kediri. Diam-diam KH. Zainuddin memperhatikan gerak-gerik santri baru yang berasal dari Ploso itu. Dalam satu kesempatan, sang pengasuh pesantren bertemu Mas’ud memerintahkan untuk tinggal di dalam pondok.“Co, endang ning pondok!”“Kulo mboten gadah sangu, Pak Kyai.”“Ayo, Co...mbesok kowe arep dadi Blawong, Co!”Mas’ud yang tidak mengerti apa artinya Blawong, hanya diam saja. Setelah tiga kali meminta, barulah Mas’ud menurut perintah Kyai Zainuddin untuk tinggal di dalam bilik pondok. Sejak itulah, Mas’ud kerap mendapat julukan Blawong.Ternyata Blawong adalah burung perkutut mahal yang bunyinya sangat indah dan merdu. Si Blawong itu dipelihara dengan mulia di istana Kerajaan Bawijaya. Alunan suaranya mengagumkan, tidak ada seorang pun yang berkata-kata tatkala Blawong sedang berkicau, semua menyimak suaranya. Seolah burung itu punya karisma yang luar biasa. Ia lahir di awal abad XIX, tepatnya tanggal 16 Mei 1900 M. Ia adalah anak Raden Mas M. Utsman seorang Onder Distrik (penghulu kecamatan). Sebagai anak bangsawan, Mas’ud beruntung, karena ia bisa mengenyam pendidikan sekolah formal seperti SR, MULO, HIS bahkan sampai dapat duduk di tingkat perguruan tinggi STOVIA (Fakultas Kedokteran UI sekarang) di Batavia.Belum lama Mas’ud menempuh pendidikan di STOVIA, tak lama berselang Pak Naib, demikian panggilan akrab RM Utsman kedatangan tamu, KH. Ma’ruf (Kedunglo) yang dikenal sebagai murid Kyai Kholil, Bangkalan (Madura). “Pundi Mas’ud?” tanya Kyai Ma’ruf.“Ke Batavia. Dia sekolah di jurusan kedokteran,” jawab Ayah Mas’ud.“Saene Mas’ud dipun aturi wangsul. Larene niku ingkang paroyogi dipun lebetaken pondok (Sebaiknya ia dipanggil pulang. Anak itu cocoknya dimasukan ke pondok pesantren),” kata Kyai Ma’ruf. Mendapat perintah dari seorang ulama yang sangat dihormatinya itu, Pak Naib kemudian mengirim surat ke Batavia meminta Mas’ud untuk pulang ke Ploso, Kediri. Sebagai anak yang berbakti ia pun kemudian pulang ke Kediri dan mulai belajar dari pesantren ke pesantren yang lainnya yang ada di sekitar karsidenan Kediri. Mas’ud mengawali masuk pesantren Gondanglegi di Nganjuk yang diasuh oleh KH. Ahmad Sholeh. Di pesantren ini ia mendalami ilmu-ilmu yang berkaitan dengan Al-Qur’an, khususnya tajwid dan kitab Jurumiyah yang berisi tata bahasa Arab dasar (Nahwu) selama 6 bulan.Setelah menguasai ilmu Nahwu, Mas’ud yang dikenal sejak usia muda itu gemar menuntut ilmu kemudian memperdalam pelajaran tashrifan (ilmu Shorof) selama setahun di Pondok Sono (Sidoarjo). Ia juga sempat mondok di Sekarputih, Nganjuk yang diasuh KH. Abdul Rohman. Hingga akhirnya ia nyantri ke pondok yang didirikan oleh KH. Ali Imron di Mojosari, Nganjuk dan pada waktu itu diasuh oleh KH. Zainuddin. KH. Zainuddin dikenal banyak melahirkan ulama besar, semacam KH. Wahhab Hasbullah (Pendiri NU dan Rais Am setelah KH. Hasjim Asy’ari), Mas’ud yang waktu itu telah kehabisan bekal untuk tinggal di dalam pondok kemudian mukim di langgar pucung (musala yang terletak tidak jauh pondok).Selama di Pondok Mojosari, Mas’ud hidup sangat sederhana. Bekal lima rupiah sebulan, dirasa sangat jauh dari standar kehidupan santri yang pada waktu rata-rata Rp 10,-. Setiap hari, ia hanya makan satu lepek (piring kecil) dengan lauk pauk sayur ontong (jantung) pisang atau daun luntas yang dioleskan pada sambal kluwak. Sungguh jauh dikatakan nikmat apalagi lezat.Di tengah kehidupan yang makin sulit itu, Pak Naib Utsman, ayah tercinta meninggal. Untuk menompang biaya hidup di pondok, Mas’ud membeli kitab-kitab kuning masih kosong lalu ia memberi makna yang sangat jelas dan mudah dibaca. Satu kitab kecil semacam Fathul Qorib, ia jual Rp 2,5,-(seringgit), hasil yang lumayan untuk membiayai hidup selama 15 hari di pondok itu. Setelah empat mondok di Mojosari, Mas’ud kemudian dijodohkan dengan Ning Badriyah putri Kyai Khozin, Widang, Tuban (ipar Kyai Zainuddin). Namun rupa-rupanya antara Kyai Khozin dan Kyai Zainuddin saling berebut pengaruh agar Mas’ud mengajar di pondoknya. Di tengah kebingungan itulah, Mas’ud berangkat haji sekaligus menuntut ilmu langsung di Mekkah. H. Djazuli, demikian nama panggilan namanya setelah sempurna menunaikan ibadah haji. Selama di tanah suci, ia berguru pada Syeikh Al-‘Alamah Al-Alaydrus di Jabal Hindi. Namun, ia di sana tidak begitu lama, hanya sekitar dua tahun saja, karena ada kudeta yang dilancarkan oleh kelompok Wahabi pada tahun 1922 yang diprakasai Pangeran Abdul Aziz As-Su’ud.Di tengah berkecamuknya perang saudara itu, H. Djazuli bersama 5 teman lainnya berziarah ke makam Rasulullah SAW di Madinah. Sampai akhirnya H. Djazuli dan kawan-kawannya itu ditangkap oleh pihak keamanan Madinah dan dipaksa pulang lewat pengurusan konsulat Belanda.Sepulang dari tanah suci, Mas’ud kemudian pulang ke tanah kelahirannya, Ploso dan hanya membawa sebuah kitab yakni Dalailul Khairat. Selang satu tahun kemudian, 1923 ia meneruskan nyantri ke Tebuireng Jombang untuk memperdalam ilmu hadits di bawah bimbingan langsung Hadirotusy Syekh KH. Hasjim Asya’ri. Tatkala H. Djazuli sampai di Tebuireng dan sowan ke KH. Hasjim Asya’ri untuk belajar, Al-Hadirotusy Syekh sudah tahu siapa Djazuli yang sebenarnya, ”Kamu tidak usah mengaji, mengajar saja di sini.” H. Djazuli kemudian mengajar Jalalain, bahkan ia kerap mewakili Tebuireng dalam bahtsul masa’il (seminar) yang diselenggarakan di Kenes, Semarang, Surabaya dan sebagainya. Setelah dirasa cukup, ia kemudian melanjutkan ke Pesantren Tremas yang diasuh KH. Ahmad Dimyathi (adik kandung Syeikh Mahfudz Attarmasiy). Tak berapa lama kemudian ia pulang ke kampung halaman, Ploso. Sekian lama Djazuli menghimpun “air keilmuan dan keagamaan”. Ibarat telaga, telah penuh. Saatnya mengalirkan air ilmu pegetahuan ke masyakrat. Dengan modak tekad yang kuat untuk menanggulangi kebodohan dan kedzoliman, ia mengembangkan ilmu yang dimilikinya dengan jalan mengadakan pengajian-pengajian kepada masyarakat Ploso dan sekitarnya. Hari demi hari ia lalui dengan semangat istiqamah menyiarkan agama Islam.Hal ini menarik simpati masyakarat untuk berguru kepadanya. Sampai akhirnya ia mulai merintis sarana tempat belajar untuk menampung murid-murid yang saling berdatangan. Pada awalnya hanya dua orang, lama kelamaan berkembang menjadi 12 orang. Hingga pada akhir tahun 1940-an, jumlah santri telah berkembang menjadi sekitar 200 santri dari berbagai pelosok Indonesia.Pada jaman Jepang, ia pernah menjabat sebagai wakil Sacok (Camat). Di mana pada siang hari ia mengenakan celana Goni untuk mengadakan grebegan dan rampasan padi dan hasil bumi ke desa-desa. Kalau malam, ia gelisah bagaimana melepaskan diri dari paksaan Jepang yang kejam dan biadab itu.Kekejaman dan kebiadaban Jepang mencapai puncaknya sehingga para santri selalu diawasi gerak-geriknya, bahkan mereka mendapat giliran tugas demi kepentingan Jepang. Kalau datang waktu siang, para santri aktif latihan tasio (baris berbaris) bahkan pernah menjadi Juara se-Kecamatan Mojo. Tapi kalau malam mereka menyusun siasat untuk melawan Jepang. Demikian pula setelah Jepang takluk, para santri kemudian menghimpun diri dalam barisan tentara Hisbullah untuk berjuang.Selepas perang kemerdekaan, pesantren Al-Falah baru bisa berbenah. Pada tahun 1950 jumlah santri yang datang telah mencapai 400 santri. Perluasan dan pengembangan pondok pesantren, persis meniru kepada Sistem Tebuireng pada tahun 1923. Suatu sistem yang dikagumi dan ditimba Kyai Djazuli selama mondok di sana.Sampai di akhir hayat, KH. Ahmad Djazuli Utsman dikenal istiqomah dalam mengajar kepada santri-santrinya. Saat memasuki usia senja, Kyai Djazuli mengajar kitab Al-Hikam (tasawuf) secara periodik setiap malam Jum’at bersama KH. Abdul Madjid dan KH. Mundzir. Bahkan sekalipun dalam keadaan sakit, beliau tetap mendampingi santri-santri yang belajar kepadanya. Riyadloh yang ia amalkan memang sangat sederhana namun mempunyai makna yang dalam. Beliau memang tidak mengamalkan wiridan-wiridan tertentu. Thoriqoh Kyai Djazuli hanyalah belajar dan mengajar “Ana thoriqoh ta’lim wa ta’allum,”katanya berulangkali kepada para santri.Hingga akhirnya Allah SWT berkehendak memanggil sang Blawong kehadapan-Nya, hari Sabtu Wage 10 Januari 1976 (10 Muharam 1396 H). Beliau meninggalkan 5 orang putra dan 1 putri dari buah perkawinannya dengan Nyai Rodliyah, yakni KH. Achmad Zainuddin, KH. Nurul Huda, KH. Chamim (Gus Miek), KH. Fuad Mun’im, KH. Munif dan Ibu Nyai Hj. Lailatus Badriyah. Ribuan umat mengiringi prosesi pemakaman sosok pemimpin dan ulama itu di sebelah masjid kenaiban, Ploso, Kediri.Konon, sebagian anak-anak kecil di Ploso, saat jelang kematian KH. Djazuli, melihat langit bertabur kembang. Langit pun seolah berduka dengan kepergian ‘Sang Blawong’ yang mengajarkan banyak keluhuran dan budi pekerti kepada santri-santrinya itu.

Pulau Sempu 2005

Alangkah indah sebuah pertemuan yang menjanjikan langkah yang terpadu

Menatap alam
Membakar semangat baru
Menatap masa depan

Wahai pemuda
Bangkitlah dari tidur panjang mu

(anak-anak nusantara_2005)



Selasa, 06 November 2007

Ngupil

Ini tes aja, kok repot

Minggu, 04 November 2007

PAHAM AHLUSSUNNAH WALJAMA’AH (ASWAJA)

A. Pengertian dan Asal Usul Aswaja
Istilah Aswaja (Ahlussunnah Waljama’ah – ahl as-sunnah wa al-jama’ah) bagi umat Islam pada umumnya dan terutama di Indonesia khususnya, bukanlah istilah baru. Sekalipun demikian, tidak jarang istilah ini dipahami secara berbeda, bahkan menimbulkan kekeliruan yang cukup fatal. Di sini, paling kurang istilah Aswaja dipahami pada dua pemahaman (verstehen).
Pertama, dalam kaca mata sejarah Islam, istilah ini merujuk pada munculnya wacana tandingan (counter-discours) terhadap membiaknya paham Muktazilah· di dunia Islam, terutama pada masa Abbasiyah. Pada akhir abad ke-3 Hijriyah, hampir bersamaan dengan masa berkuasanya Khalifah Al-Mutawakkil, muncul dua orang tokoh yang menonjol waktu itu, yaitu Abû Hasan al-'Asy'âri (260 H - + 330 H) di Bashrah dan Abû Manshûr al-Maturidi di Samarkand. Meskipun pada taraf tertentu pemikiran kedua tokoh ini sedikit ditemukan perbedaan, namun mereka secara bersama-sama bersatu dalam membendung kuatnya gejala hegemoni paham Muktazilah yang dilancarkan para tokoh Mu'tazilah dan pengikutnya (Prof. DR. Muhammad Abu Zahrah, 1996: 189). Dari kedua pemikir-ulama ini, selanjutnya lahir kecenderungan baru yang banyak mewarnai pemikiran umat Islam waktu itu. Bahkan, hal ini menjadi maistream (arus utama) pemikiran-keagamaan di dunia Islam yang kemudian mengkristal menjadi sebuah gelombang pemikiran-keagamaan—sering dinisbatkan pada sebutan ahl al-Sunnah wa al-Jama'ah, yang kemudian populer disebut Aswaja.
Kedua, istilah Aswaja populer di kalangan umat Islam, terutama didasarkan pada sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Abu Daud, At-Tirmidzi, dan Ibn Majah dari Abu Hurairah yang menegaskan bahwa umat Yahudi akan terpecah menjadi 71 golongan, umat Nashrani akan terpecah menjadi 72 golongan dan umat Islam akan terpecah menjadi 73 golongan. Semua golongan tersebut masuk ke dalam neraka, kecuali satu golongan, yaitu orang-orang yang mengikuti Rasulullah dan para sahabatnya". Dalam pandangan As-Syihâb Al-Khafâjî dalam Nasâm ar-Riyâdh, bahwa satu golongan yang dimaksud (tidak masuk neraka) adalah golongan Ahl as-Sunnah wa al-Jamâ'ah. Pendapat ini dipertegas oleh Al-Hâsyiah Asy-Syanwâni, bahwa yang dimaksud dengan Ahl as-Sunnah wa al-Jamâ'ah adalah pengikut Imam kelompok Abûl Hasan Asy'ari dan para ulama madhab (Imam Hanafi, Imam Syafi'I, Imam Maliki dan Imam Hanbali). (Syekh Hasyim Asy'ari, Risâlah Ahl as-Sunnah wa al-Jamâ'ah, 1418: 23).
Pandapat Asy-Syanwâni ini memang cukup beralasan, karena untuk memahami Al-Quran dan sunnah perlu dilakukan penggalian (al-istinbâth) yang mendalam dan sungguh-sungguh (ijtihâd). Sementara untuk melakukan proses istinbâth secara langsung kepada Al-Quran dan sunnah, diperlukan berbagai kualifikasi keilmuan yang mendalam. Atau dengan kata lain, untuk menjadi seorang mujtahid, diperlukan berbagai penguasaan ilmu yang tidak sedikit. Maka, di sinilah relevansi dan kontekstualitas seorang muslim dalam mengikuti metodologi (madzhab manhaji) maupun produk pemikiran (madzhab qauli, natâij al-Ijtihâd) yang telah dikembangkan oleh para ulama madzhab (Baca: KH. A. Muchith Muzadi, TT, 33).
Dengan demikian, istilah Aswaja dimaknai sebagai suatu konstruksi pemikiran (pemahaman) dan sekaligus praktek keagamaan (Islam) yang didasarkan pada tradisi (sunnah) Rasulullah, para sahabatnya dan para ulama mazhab, sekalipun yang terakhir ini lebih bersifat sekunder. Dengan lain kata, yang dimaksud dengan Aswaja tidak selalu identik dengan suatu mainstream aliran pemahaman tertentu dalam tradisi pemikiran Islam. Oleh karena itu, penyebutan beberapa aliran dalam tulisan ini, tidak secara otomatis menunjukkan paham-paham yang paling benar atau paling identik dengan Aswaja. Justru di sini perlu ditegaskan, bahwa yang terpenting dari pemikiran keagamaan Aswaja adalah konsistensinya dengan tradisi keagamaan yang dipraktekkan Rasulullah dan para sahabatnya. Sementara dalam konteks taqlid, di sini lebih bersifat instrumental. Artinya, signifikansi taqlid, baik dari sisi metodologis (madzhab manhaji) maupun produk pemikiran-keagamaannya (madzhab qauli, natâij al-Ijtihâd) lebih dimaksudkan untuk membantu dalam memahami Al-Quran dan sunnah, ketimbang diletakkan sebagai satu-satunya sumber.

B. Aliran-Aliran Teologi Aswaja
Aliran kalam (teologi) Muktazilah merupakan sebuah aliran yang kental dengan tradisi rasionalismenya (baca: sebuah aliran pemikiran yang menempatkan akal di atas segala-galanya, termasuk nash, red-). Dalam proses penyebarannya, paham Muktazilah kerap diwarnai dengan praktek pemaksaan dan diskriminasi, seperti terlihat pada kasus mihnah. Sehingga, pada gilirannya paham Muktazilah menuai tantangan hebat dari berbagai golongan tradisionalisme Islam: paham yang lebih menonjolkan Al-Quran dan hadis ketimbang akal, terutama yang dilancarkan oleh golongan Hanbaliyah. Setelah Khalifah Al-Makmun wafat pada tahun 833 M, politik kekerasan Muktazilah mulai semakin berkurang. Bahkan, sebagai mazhab resmi negara waktu itu pada tahun 856 M aliran ini dibubarkan oleh Khalifah Al-Mutawakil (Nasution, 1986: 9). Dengan demikian, kaum Muktazilah kembali kepada posisi semula dan menghadapi banyak lawan dari kalangan umat Islam.
Dengan skala yang berbeda-beda, munculnya aliran teologi Asy'ariah di Bagdad, Maturidiyah di Samarkand, Thahawiyah di Mesir dan Bazdawiyah di Bukhara, dianggap sebagai titik kulminasi dari penentangan terhadap aliran yang pernah menjadi anak emas salah satu penguasa Abbasyiah itu. Asy'ari yang pada mulanya merupakan penganut Muktazilah selama puluhan tahun, justru berbalik dan menganggap ajaran Muktazilah sesat dan menyesatkan. Asy’ari akhirnya membentuk ajaran baru yang kemudian terkenal dengan teologi Asy’ariah. Begitu pula Al-Maturidiyah di Samarkand, meski dalam penentangannya terhadap Mu’tazilah memakai bendera Asy'ariah, namun perkembangan selanjutnya, pada batasan tertentu membuktikan bahwa teologi ini menyamai teologi Muktazilah. Sebagai cabang aliran Maturidiyah yang berpusat di Bukhara, Bazdawiyah termasuk bagian dari barisan penentang Muktazilah. Namun, dalam pembahasan para ahli, nampaknya aliran ini tidak banyak mendapat perhatian khusus. Hal itu disebabkan karena mereka menyatukan pemikiran Maturidiyah baik yang berbasis di Samarkand dengan Maturidiyah yang berbasis di Bukhara.

1) Asy’ariyah
Sejak periode awal penyebaran aliran (paham) Muktazilah, campur tangan para pemimpin (tokoh-tokoh) dan para pengikutnya cukup kental mewarnai arena perpolitikan pada zamannya. Hal ini terlihat dari figur Washil ibn ’Atha (80H – 131 H)—eksponen awal (founding fathers) paham ajaran Muktazilah—yang mendukung gerakan oposisi Bani Alawiyin terhadap pemerintahan Bani Muawiyah. Gejala semacam ini diperlihatkan Zaid ibn ’Ali dalam menghadapi Washil yang tidak pernah menentangnya, kecuali pada persoalan ”manzilah bayn al-manzilatayn’” (Ghurabi, TT: 99).
Pada generasi kedua, Abu Huzail (135 H - 225 H) berhasil menyebarkan paham Muktazilah dalam lingkungan pemerintahan Abasiyah. Hal ini diperkuat, misalnya dengan peranan Al-Ma'mun—salah seorang khalifah pada Dinasti Abbasiyah yang nota bene murid Washil ibn ’Atha—yang secara sukarela menyediakan fasilitas majelis untuk menyebarkan paham-paham Muktazilah. Sebagai pengaruh dari paham Muktazilah, Al-Ma'mun bahkan sempat mengeluarkan surat perintah untuk melakukan mihnah (inquisition) terhadap para hakim-hakim yang hidup pada kekuasaannya. Pelaksanaan mihnah yang berjalan selama enam belas tahun (218 H sampai 234 H), dan merupakan cacat sejarah dalam proses penyebaran paham Muktazilah. Sebab, sebagai paham yang mendewa-dewakan akal, Muktazilah pada saat yang bersamaan justru memperlihatkan gejala irrasionalitas (tidak masuk akal) dalam proses penyebarannya. Hal ini diperlihatkan pada pelaksanaan mihnah yang ditandai dengan pemaksaan, bahkan seringkali dibarengi juga dengan aksi-aksi penyiksaan para imam dan ahli hadis. Salah satu tokoh Aswaja yang merasakan penyiksaan mihnah adalah Imam Ahmad ibn Hanbal (124H – 241H). Pada gilirannya peristiwa inkuisisi ini kemudian memunculkan antipati bagi pengikutnya sendiri. Menurut Muhammad Abu Zahrah, kondisi demikian membuat masyarakat awam lebih mendukung kelompok Sunni, daripada paham Muktazilah (1996: 189).
Pada generasi ketiga, penyebaran Muktazilah banyak diperankan oleh Abu ‘Ali Al-Jubba’i (235H – 303H). Salah seorang murid Al-Jubba’i adalah Al-Asy’ari (260H – 324H). Bahkan, karena kemahirannya dalam ilmu kalam, Asy’ari sering mewakili gurunya tersebut dalam kesempatan diskusi (perdebatan mengenai Kalam). Meskipun demikian, dalam perkembangan selanjutnya, Asy'ari justru menjauhi paham Muktazilah, bahkan lebih condong kepada pemikiran fuqaha dan ahli hadis (Muhammad Abu Zahrah, 1996: 189). Di usia empat puluh tahun, Asy'ari meninggalkan paham Muktazilah. Hal ini diakibatkan karena selama ini Asy'ari merasa telah banyak mengungkapkan dalil-dalil Muktazilah, tetapi selama itu pula ia tidak mendapatkan kepuasan dari argumentasi yang dibangunnya selama ini (Nasution, 1983: 65). Setelah keluar dari Muktazilah, pemikiran Asy’ari cenderung bertentengan dengan paham Muktazilah. Dari argumentasinya terlihat, bahwa pemikiran Asy’ari terkesan ortodok. Sebab, ia nampaknya lebih setia kepada sumber Islam, yaitu Al-Quran dan hadis yang ditempatkannya pada posisi primer. Sedangkan akal dan takwil diletakkannya pada posisi sekunder (Madjid, 1992:271). Sosok Asy'ari sebetulnya tidak bermaksud mendirikan suatu aliran atau madzhab baru, akan tetapi justru ia berusaha membuat sintesa antara pandangan orotodok—didasarkan pada pemikiran fuqaha dan ahli hadis—yang waktu itu belum dirumuskan, dengan pandangan Muktazilah (Rahman, 1984: 126).

1a. Biografi Imam Abul Hasan Al-Asy’ari
Al-Asy’ari mempunyai nama lengkap 'Ali ibn Ismâ’il ibn Ishâk ibn Sâlim ibn Ismâil ibn ‘Abdullâh ibn Musa ibn Bilâl ibn Abi Burdah ibn Abi Musa Al-Asy’âri atau sering disebut dengan Abu Hasan Al-Asy'ari. Garis nasabnya sampai ke As'arabi—salah satu kabilah di Yaman. Ia lahir di Basrah pada tahun 260 Hijriyah (873M) dan meninggal di Baghdad pada tahun 324 Hijriyah (935 M), disemayamkan di antara Karkh dan pintu Basrah. Asy'ari dibesarkan di Basrah dan dididik dari kecil dengan basis ilmu Agama, bahasa Arab dan seni orasi. Ia belajar hadis dari Al-Hafidz ibn Yahya Al-Sa’aji, Abi Khalifah Al-Jauhi, Sahl ibn Nuh, Muhammad ibn Ya’kub Al-Mukril, dan Abdurrahman bin Khalaf Al-Dabhi. Sementara itu, ia mempelajari ilmu kalam dari tokoh-tokoh Muktazilah, seperti Abu Ali Al-Jubba’i (235H – 303H), Al-Saham dan Al-Thawi.
Dalam periwayatan hadis, kita tidak menemukan periwayatan yang bersumber dari Asy'ari. Hal itu disebabkan salah satunya karena perhatian Asy'ari tidak dicurahkan dalam hal tersebut. Ia lebih tertarik dan berkonsentrasi dalam mempelajari paham aliran dan madzhab yang waktu itu sedang berkembang. Sehingga dalam hal ini, ia menguasai dan mengetahui kelemahan-kelemahan yang terdapat pada setiap aliran dan mazhab.
Bahkan, Asy'ari ketika itu mampu meredam ketegangan yang seringkali muncul di permukaan, baik di kalangan umat Islam sendiri maupun ketegangan yang diakibatkan karena faktor dari luar Islam. Mengenai mazhab fikih yang diikuti Asy’ari, masih diperselisihkan antara Mazhab Maliki atau Mazhab Syafi’i. Sekalipun demikian, Ibnu Subki menyatakan dalam buku Tabâqâtus Syafi'i, bahwa Abu Hasan Al-Asy’ari menganut madzhab Syafi’i, karena ia belajar dari Abu Ishak Al-Maruzi (w. 340 H).
Pendapat serupa dapat ditemukan dari Abu Bakar ibn Faruk dalam kitab Tabaqatul Mutakallimîn dan Abu Ishak Al-Isfarini dalam Syarh ar-Risâlah (Husain, 1991: 11). Sementara Qadi Iyad menyebutkan dalam Al-Madârik, bahwa Asy'ari merupakan penganut Mazhab Maliki. Dari berbagai pendapat yang berbeda itu, Asy'ari tidak pernah menulis tentang hukum, sebagai rujukan mazhab yang dianutnya.

1b. Resistensi Al-Asy'ari terhadap Paham Muktazilah
Secara internal seringkali muncul perbedaan pendapat di antara mereka. Hal ini diperlihatkan dari perbedaan pendapat antara Al-Nizdam (w. 210 H) dengan Abu Huzail (w. 226 H). Dari pengakuan Al-Jubba'i, Al-Nizdam berbeda pendapat dengan Abu Huzail dalam empat puluh masalah (Ghurabi, TT:223). Sekalipun perbedaan pendapat kerapkali terjadi di internal kalangan Muktazilah, namun hal itu nampaknya tidak menjadikan mereka meninggalkan paham itu. Berbeda dengan yang terjadi pada Asy’ari, bahwa berbelotnya Asy’ari dari Muktazilah, menjadi tanda tanya. Salah satu yang menyebabkan Asy’ari keluar dari paham yang selama puluhan tahun dipelajarinya ini antara lain karena ketidakpuasan terhadap argumen atau alasan-alasan yang selama ini dipelajarinya dari Muktazilah (Nasution, 1983: 65). Menurut pendapat Husain, ketidakpuasan Asy’ari tak lain karena Al-Jubba’i (guru Asy'ari) tidak dapat memberi jawaban yang memuaskan terhadap pertanyaan-pertanyaannya. Pertanyaan-pertanyaan itu antara lain berkaitan dengan orang mukmin, orang kafir, dan anak kecil di akhirat (Husain, 1991:12).
Alasan lain adalah mimpi bertemu dengan Nabi Muhammad. Dalam mimpi itu Nabi Muhammad berkata bahwa ahl al-Hadîts yang benar dan Mu’tazilah yang salah. Tapi, Sementara dalam pandangan Ahmad Mahmud Subki, keraguan Asy'ari terhadap ajaran Muktazilah karena Asy’ari bermazhab fikih Syafi’i (Nasution, 1983: 63). MacDonal dalam hal ini berpendapat, bahwa pembelotan Asy’ari dari paham Mu'tazilah karena darah Arab padang pasir yang mengalir dalam tubuh Asy’ari. Arab padang pasir bersifat tradisional dan fatalis, sedangkan Mu’tazilah bersifat rasional dan percaya pada kebebasan dalam kemauan dan perbuatan (Nasution, 1983: 67). Ahmad Hanafi dalam buku Pengantar Teologi, menambahkan; selain ketidakpuasan Asy’ari terhadap ajaran Muktazilah, Asy’ari melihat adanya perpecahan di kalangan umat Islam yang bisa melemahkan mereka (Hanafi, TT: 105).
Penolakannya terhadap paham Muktazilah ini kemudian menyebabkan Asy’ari melakukan pengasingan diri selama 15 hari. Setelah itu, ia pergi ke masjid Basrah, pada hari Jumat. Ia naik ke mimbar dan berkata: “Hadirin sekalian, setelah saya meneliti nyata dalil-dalil yang dikemukakan oleh masing-masing pendapat, ternyata dalil-dalil tersebut menurut hemat saya sama kuatnya. Saya memohon kepada Allah agar diberikan petunjuk yang benar. Maka, atas petunjuk-Nya, saya sekarang meninggalkan keyakinan-keyakinan lama dan menganut keyakinan baru yang saya tulis dalam buku ini. Keyakinan lama saya lepaskan sebagaimana saya melepaskan baju yang saya kenakan ini.” (Gurabi, TT. 221).
Satu hal yang tidak boleh diabaikan adalah ketika Asy’ari meninggalkan Muktazilah, golongan ini sedang berada dalam fase kemunduran dan kelemahan. Ini diindikasikan dari sikap penghargaan dan penghormatan Khalifah Al-Mutawakkil kepada Ibnu Hanbal (Nasution, 1983: 63).

1c. Mutiara Pemikiran Al-Asy'ari
I. Melihat Tuhan
Asy’ari berpendapat, bahwa di akhirat kelak Allah dapat dilihat. Hal ini didasarkan pada dalil-dalil Al-Quran (وجوه يومئذ ناظرة إلى ربها ناظرة). Apabila nadhar (melihat) berkarinah dengan wajah, maka berarti nadhar dapat dilakukan dengan mata (Husain, 1991:30). Dalam Al-Quran, kata nadhara mempunyai beberapa pengertian, yaitu:
Surah Al-Ghâshiyah, ayat 17: أفلا ينظرون إلى الإبل كيف خلقت
Kata ينظرون pada ayat ini berarti I'tibar
Surat Yasin ayat 49: وما ينظرون إلا صيحة واحدة
Kata ينظرون pada ayat ini berati menunggu.
Surat Ali Imran ayat 77: ولا ينظرون إليهم يوم القيامة
Kata ينظرون pada ayat ini berarti ruqyah.

Asy’ari menerangkan ayat-ayat tersebut dengan: [1] Ayat pertama berlaku di dunia, sedangkan i'tibar tidak ada di akhirat, [2] Ayat kedua, sama dengan ayat pertama, dan [3] Ayat ketiga, ruqyah dinisbatkan kepada Allah dan tidak bisa dinisbatkan kepada manusia. Apabila arti ketiga ayat tersebut batal, berarti ayat keempat: (وجوه يومئذ ناظرة إلى ربها ناظرة) dapat menjadi dalil, bahwa Allah dapat dilihat di akhirat (Al-Asy'ari, 1991: 30).
Dalam persoalan ini, Muktazilah bertolak-belakang dengan pendapat Asyari. Dalam pandangan Muktazilah, Allah tidak dapat dilihat, baik di dunia maupun di akhirat, karena interpretasi tersebut mensejajarkan Allah dengan makhluknya. Suatu yang dapat dilihat membutuhkan ruang dan waktu. Sementara yang membutuhkan ruang dan waktu bersifat temporal. Sedangkan Allah abadi (Syarif, 1961:234). Dalam menanggapi sangkalan kaum Muktazilah tersebut, Asy'ari menjelaskan, bahwa sifat-sifat yang tidak dapat diberikan kepada Tuhan hanya sifat-sifat yang akan membawa arti kepada diciptakannya Tuhan. Oleh karena itu, sekalipun Tuhan mempunyai sifat dapat dilihat, tetapi hal ini tidak membawa pada makna diciptakannya Tuhan. Sebab, sekalipun Tuhan dapat dilihat, hal itu tidak mesti berarti bahwa Tuhan bersifat diciptakan (Nasution, 1983:66). Muktazilah berdalih dengan firman Allah (Al-An'am; 103): (لاتدركه الأبصار وهو يدرك الأبصار). Ayat ini memastikannya bahwa Allah tidak dapat dilihat dengan mata, baik di dunia maupun di akhirat.
Dalam menjelaskan ayat ini, Asy’ari memberikan dua pengertian, yaitu: [1] Allah dapat dilihat di dunia dan dapat dilihat di Akhirat, karena melihat Allah itu suatu nikmat besar (afdhalul lazzât). Kelezatan (kenikmatan) itu tidak dapat dirasakan, kecuali di tempat yang afdâl (nikmat) pula. [2] khitâb pada ayat tersebut tertuju kepada orang kafir. Karena ayat-ayat Al-Quran satu sama lain saling membenarkan. Dalam surah Al-Qiyâmah diterangkan, bahwa wajah (mata) dapat melihat Allah. Sedangkan pada ayat yang lain justru sebaliknya. Maka, sampai di sini dapat disimpulkan, bahwa yang tidak dapat melihat Allah di akhirat adalah mata yang dimiliki oleh orang-orang kafir (Al-Asy'ari, 1991:33).

II. Al-Quran
Dalam pandangan Asy’ari, Al-Quran merupakan kalâm Allah. Kalâm dipahami sebagai salah satu dari sifat Allah, sifat Allah yang qâdim. Dengan demikian, Al-Quran bersifat qâdim. Muktazilah bertolak belakang dengan pendapat Asy’ari tersebut. Bagi Kalangan Muktazilah, Al-Quran itu diciptakan (makhluk). Paham Mu'tazilah tidak membenarkan adanya sifat-sifat Allah yang di antaranya adalah kalâm. Sebab, dengan mengakui sifat-sifat tersebut, pada gilirannya akan menjadikan qâdim yang banyak (ta'addud qudamâ). Oleh karena itu, dalam pandangan golongan Muktazilah, mempercayainya sama artinya dengan melakukan perbuatan syirik (politeisme).
Dalil yang dipakai oleh Asy'ari adalah untuk menunjukkan bila Al-Quran itu makhluk maka akan bertentangan dengan iradah Allah (اردناه) pada surah An-Nahl ayat 40: (إنما قولنا لشيء إذا أردناه أن نقول له كن فيكون). Untuk penciptaan itu perlu kata "kun" dan untuk terciptanya "kun" ini perlu kata "kun" yang lain; begitulah seterusnya sehingga terdapat rentetan kata "kun" yang tak berkesudahan. Dan ini tak mungkin, karena itu Al-Quran tidak mungkin diciptakan (Nasution, 1983: 69).

III. Antropomorfisme
Menurut Asy'ari, Tuhan bersemayam di 'Arsy, Tuhan mempunyai wajah tangan, mata, telinga, tetapi tidak dapat digambarkan dan didefinisikan (bilâ kayfa). Dengan lain kata, perwujudan dari unsur fisikal Tuhan tidak bisa disamakan dengan bentuk-bentuk fisik yang terdapat pada makhluk-Nya, seperti yang dimiliki manusia atau makhluk lainnya. Argumentasi yang diajukan Asy'ari adalah, manusia lemah dan akalnya tak sanggup memberikan interpretasi terlalu jauh tentang sifat-sifat jasmani Tuhan yang terdapat dalam Al-Quran. Pandangan demikian meyakini bahwa Tuhan mempunyai anggota tubuh, seperti yang disebut oleh kaum Antromorphisme (Nasution, 1986: 138).

IV. Sifat-Sifat Allah
Asy'ari berpendapat, bahwa Allah mempunyai sifat-sifat. Allah hidup dengan hayâh, mendengar dengan sama', mengetahui dengan 'ilm, dan berkuasa dengan qudrah. Sifat-sifat itu melekat pada dzat-Nya dan tak dapat terpisahkan. Bagi Asy'ari, sifat-sifat Allah tidak identik dengan zat-Nya. Dengan demikian, karena Allah (bersifat) qâdim, berarti sifat-sifat Allah juga 'azali dan qadîm. Dalam memandang persoalan ini, Pendapat Asy'ari bertolak belakang dengan pendapat Muktazilah. Dalam pandangan Muktazilah, Tuhan tidak mempunyai sifat, karena Tuhan tidak berhajat kepada suatu sifat, demikian kata Al-Jubba'i (Nasution, 1986:135). Sebab, apa yang disebut sifat sebenarnya adalah zat (esensi) Tuhan itu sendiri. Abu Huzail mengatakan bahwa Allah mengetahui dengan pengetahuan-Nya dan pengetahuan-Nya adalah zat-Nya. Tuhan berkuasa dengan kekuasaan-Nya dan kekuasaan-Nya adalah zat-Nya. Tuhan hidup dengan hayat-Nya dan hayat itu sendiri adalah zat-Nya.
Asy'ari menyangkal hal tersebut dengan mengatakan, bahwa Allah tidak mungkin mengetahui dengan pengetahuan-Nya, sebab apabila Allah mengetahui dengan pengetahuan-Nya dan pengetahuan-Nya adalah zat-Nya, berati Allah adalah pengetahuan. Allah bukan pengetahuan, tetapi yang mengetahui dan Allah mengetahui dengan sifat 'ilmu-Nya. Kemudian Asy'ari membalikkan dengan pertanyaan, apakah kita layak berdoa dengan kalimat: Ya 'Ilma Allâh, ampunilah dosa-dosaku dan berilah rahmat padaku (Al-Asy'ari, 1991:66).

V. Perbuatan Manusia
Dalam membahas perbuatan manusia, Asy'ari berpendapat bahwa perbuatan manusia itu diciptakan Tuhan. Untuk menerangkan dan menggambarkan hubungan perbuatan manusia dengan kehendak Tuhan dan kekuasaan-Nya, Asy'ari memakai istilah al-kasb (perolehan). Al-Kasb adalah sesuatu yang timbul dari al-muktasîb. Yang dimaksud dengan al-kasb di sini adalah berbarengnya kekuasaan manusia dengan perbuatan Tuhan" (Nurdin, 1996: 95). Hal ini menerangkan adanya dua daya dalam perbuatan manusia. Daya pertama yang diciptakan oleh Allah kemudian menjadi perolehan (kasb) bagi orang-orang yang dengan dayanya perbuatan itu timbul.
Menurut Harun Nasution (1983: 107); "Term-term "diciptakan" dan "memperoleh” mengandung kompromi antara kelemahan manusia, diperbandingkan dengan kekuasaan mutlak Tuhan". Kasb atau perolehan mengandung keaktifan, dan dengan demikian manusia bertanggung jawab atas perbuatannya. Tetapi keterangan kata kasb adalah ciptaan Tuhan, menghilangkan keaktifan, sehingga akhirnya manusia pasif dalam perbuatan-perbuatannya.
Menurut Nurcholish Madjid (1992: 283), "Sesungguhnya Al-Asy'ari bukan seorang Jabari (penganut paham Jabariyah, red-), juga bukan seorang Qadari (penganut paham Qadariyah, red-), ia ingin menengahkan kedua paham tersebut. Para pemikir Islam sendiri mengakui, bahwa pemikiran Al-Asy'ari ini cukup sulit diposisikan pada level pemikiran mana. Untuk mahamami teori kasb yang dikemukakan oleh Al-Asy'ari, Ibnu Taimiyah memandang, bahwa teori ini merupakan suatu keanehan dan obsurditas ilmu kalam. Sehingga, bagi Ibnu Taimiyah, teks kasb perlu diubah. Dalam memahami istilah atau teori kasb, berikut ini dikemukakan tiga bait syair yang dikutip dari kitab Jauhar at-Tauhîd, yaitu: “Bagi kita (manusia) memiliki kasb, namun ketahuilah kasb itu sendiri tidak akan berpengaruh. Maka manusia tidaklah terpaksa dan tidak pula bebas serta tidak pula masing-masiing itu berbuat dengan kebebasan. Jika Dia (Allah) memberi pahala kepada kita, maka semata-mata karena kemurahan-Nya. Dan jika Ia menyiksa kita, maka semata karena keadilan-Nya.” (Majid, 1983: 283).
Argumentasi Asy’ari adalah Al-Quran surah Shaffât ayat 96. Asy'ari mengartikan ayat tersebut dengan, "apa yang kamu perbuat", bukan apa yang kamu buat. Jadi, arti ayat diartikan dengan, "Allah menciptakan kamu dan perbuatan-perbuatan kamu." (Nasution, 1983:106).

VI. Keadilan Tuhan
Paham keadilan banyak berhubungan dengan paham kebebasan manusia dan paham sebaliknya, yaitu kekuasaan mutlak Allah untuk memasukkan orang baik ke dalam surga dan memasukkan orang yang berdosa ke dalam neraka. Asy'ari membantah paham tersebut dengan menyatakan, bahwa tidak ada satupun yang wajib bagi Tuhan, sebab Tuhan berkuasa secara mutlak. Andaikata Tuhan memasukkan seluruh manusia ke dalam surga, hal ini bukan berarti Ia tidak adil dan sebaliknya, andaikata Tuhan memasukkan manusia ke dalam neraka, maka bukan berarti Tuhan bersifat zâlim (Nurdin, 1996: 97). Konsep keadilan menurut Asy'ari adalah menempatkan sesuatu pada tempat yang sebenarnya, yaitu mempunyai kekuasaan mutlak terhadap harta yang dimiliki serta mempergunakannya sesuai dengan kehendak dan pengetahuan pemiliknya. Ketidakadilan berati sebaliknya, yaitu menempatkan sesuatu tidak pada tempatnya, yaitu berkuasa mutlak terhadap hak milik orang (Nasution, 1983: 126).
****
Asy'ari keluar dari paham ajaran Muktazilah disebabkan reaksinya terhadap ajaran yang diperolehnya. Hal ini bukan berarti ia menepis fungsi akal dalam mencapai suatu kebenaran. Asy'ari mendudukkan posisi sumber agama (Al-Quran dan hadis) di atas akal, terutama dalam persoalan-persoalan yang tidak terjangkau oleh akal. Pemikiran-pemikiran yang dilontarkan Asy'ari merupakan reaksi terhadap pemikiran dan paham yang ada waktu itu. Sebagai ajaran teologi (baca: ke-Tuhanan atau ilmu kalâm), ia berusaha membersihkan ke-Tuhanan dari sifat-sifat yang tidak layak bagi-Nya. Kekuasaan Tuhan mutlak terhadap manusia. Manusia tidak berdaya dalam memperoleh hasil perbuatannya. Pandangan seperti ini dekat dengan paham Jabariyah.
Walaupun pemikiran-pemikiran Asy'ari tidak baru dalam pemikiran Islam, namun hal itu tidak mengurai simpati umat. Asy'ari dapat mengklaim banyak penganutnya yang menyebarkan pemikirannya ke seluruh dunia Islam. Hal ini berkat hasil usahanya membentuk pola pikir ortodok, yang belum terbentuk pada waktu itu.
2) Maturidiah Samarkand
Al-Maturidiyah merupakan salah satu sekte Ahl al-Sunnah wa al-Jama'ah yang tampil bersama dengan Al-Asy'ariyah. Maturidiyah dan Asy'ariyah dilahirkan pada kondisi sosial dan pemikiran yang serupa. Kedua aliran ini datang untuk memenuhi kebutuhan mendesak yang menyerukan untuk menyelamatkan diri dari ekstrimitas kaum rasionalis—yang berada di barisan paling depan adalah Muktazilah—dan ektrimitas yang dilancarkan kaum tekstualis—yang berada di barisan paling depan adalah kaum Hanbaliyah (para pengikut Imam Ahmad Ibnu Hanbal). Sehingga, kelahiran Asy'ariyah dan Maturidiyah dilatari oleh upaya untuk mengambil sikap tengah (tâwâsuth) di antara kedua aliran ekstrim tersebut. Mereka secara bersama-sama membendung dua kecenderungan ekstrimitas dalam pemikiran Islam yang melanda waktu itu. Keduanya hampir mempunyai pandangan yang sama, kalaupun berbeda pendapat, hal itu hanya dalam hal menyangkut masalah cabang dan detailitas (Madkour, 90: 81).
Pada awalnya, kedua aliran ini dipisahkan oleh jarak. Aliran Asy'ariyah di Irak dan Syam kemudian meluas ke Mesir, sedangkan Maturidiyah di Samarkand dan di daerah seberang sungai Oxus. Kedua aliran ini bisa hidup dalam lingkungan yang kompleks. Pengikut aliran Maturidiyah terbatas kepada pengikut Imam Hanafiyah saja, sementara para pengikut Imam Syafi'i dan Maliki mendukung Asy'ariyah. Mereka berjuang keras untuk menyebarkannya, sehingga aliran ini bisa meluas ke Andalusia dan Afrika Utara, yang segera menjadi akidah resmi bagi semua golongan Ahl al-sunnah wa al-Jama’ah. Aliran Asy'ariyah ini lebih tersohor dibanding dengan rival-rivalnya karena adanya karya para pengikutnya, seperti Al-Ghazali, sehingga aliran ini meluas sampai ke Parsi dan Maghrib yang didirikan oleh Ibn Tumart murid Al-Ghazali (Nasr, 1991: 24).
Ada aliran yang simetris muncul di Mesir, yaitu At-Tahawiyah yang didirikan oleh Abu Ja'far At-Tahawi (w. 321). Sebagai ulama besar dalam bidang hadis dan fikih, At-Tahawi telah mengembangkan teologi yang lebih besar. Sedangkan Maturidiyah melahirkan teologi spekulatif yang berlebihan. Keduanya bercorak Hanafiyah dan mengikuti sebaik pandangan-pandangan hukum Imam Abu Hanifah.
Munculnya aliran-aliran tersebut di atas adalah ketidakpuasan atas kebijaksanaan Khalifah Al-Ma'mun yang menjadikan Muktazilah menjadi mazhab resmi dan memperkenalkan sebuah tes keimanan yang disebut mihnah. Sehingga hal ini menimbulkan reaksi keras terhadap kaum rasionalis Muktazilah. Golongan yang keras adalah pengikut Imam Ibnu Hanbal. Ia menganggap Muktazilah sebagai teologi yang direkayasa dengan alasan-alasan rasional.
Abu Mansur Al-Maturidi (859 – 944) adalah seorang teolog terkemuka. Tokoh ini mempunyai nama lengkap Abu Mansur Muhammad ibn Muhammad ibn Mahmud ibn Mahmud Al-Hanafi Al-Mutakallimin Al-Maturidi Al-Samarkandi. Ia lahir di Maturid dekat Samarkand wilayah Transoxiana Asia Tengah (sekarang termasuk Uzbeksitan, dulu Negara bagian Uni Sovyet). Dalam pandangan sebagian penulis, Maturidi dinyatakan sebagai keturunan Abu Ayyub Al-Anshari—seorang sahabat Rasulullah di Madinah. Pernyataan mereka diperkuat dengan fakta bahwa sebagian kerabat Maturidi yang tinggal di Samarkand adalah orang-orang yang berasal dari Madinah. Meskipun Maturidi salah seorang tokoh di bidang teologi Islam yang terkenal dan cukup banyak pengikutnya, tetapi riwayat hidupnya secara lengkap tidak banyak diketahui orang. (Agama, 1992: 728).
Memang, ada suatu kejanggalan dalam sejarah tokoh Maturidi, yaitu mengenai kronologi lahirnya. Sebagai bukti, Ibnu Nadim yang wafat tahun 379 H, setengah abad sesudah Mathuridi tidak membuat catatan. Padahal ia pembela fanatik Maturidi. Sementara itu ia tidak melupakan Asy'ari. Begitu juga dalam Al-Faisal, Ibnu Hazm tidak menguraikan tentang Maturidi, padahal ia memaparkan tentang Abu Hanifah (Madkour, 1990: 82). Menurut Ayub Ali, hal itu disebabkan karena seluruh penulis biografi hanya memberikan gambaran kehidupannya secara singkat saja. Tahun kelahiran Maturidi tidak diketahui dengan pasti. Ayyub Ali memperkirakan Maturidi dilahirkan sekitar tahun 238 H/853 M. Pertimbangannya, salah satu guru Maturidi, yaitu Muhammd Al-Muqatil Al-Razi meninggal dunia tahun 247 H. Abu Ayyub Ali memperkirakan, bahwa penentangan Maturidi terhadap golongan Muktazilah telah dilakukan sebelumnya oleh Asy'ari. Karena pada saat Asy'ari berusia 40 tahun (sekitar 913 M), Asy’ari masih menganut dan mengembangkan paham Mu'tazilah, sedangkan Maturidi ketika itu berusia 60 tahun.
Pada zaman pemikiran Maturidi sedang berkembang, suasana ilmu dalam bentuk menghangatnya diskusi dan polemik antar-ulama fikih dengan ulama hâdis serta antara keduanya dengan ulama Muktazilah. Maturidi memperoleh pendidkan dari ulama yang terkenal di zamannya, antara lain Syeikh Abu Bakar Ahmad Ibn Ishak, Abu Nasr Ahmad bin Abbas, Nusa'i bin Yahya Al-Bakhi, Muhammd Ibnul Muqatil Al-Razi, yang kesemuanya merupakan murid Abu Hanifah.
Keadaan masyarakat dan latar belakang pendidikan Maturidi tersebut telah mempengaruhi alam fikirannya, khususnya di bidang teologi Islam. Walaupun menentang Muktazilah, tetapi pahamnya lebih dekat terhadap Muktazilah daripada terhadap Asy'ariyah. Aliran fikih yang dianut Maturidi, sebagaimana dianut pula oleh gurunya, yaitu aliran fikih Hanafi yang banyak menggunakan rasio dan beraliran Murji'ah moderat.
Atas dasar keahlian Maturidi yang mendalam di bidang teologi Islam, masyarakat telah memberi gelar kepadanya dengan sebutan "Imâm al-Huda" dan "Imâm al-Muttaqîn". Mahmud Al-Kuwâfi menyebut Maturidi sebagai pemimpin, pembimbing, cerminan kaum sunni dan pembimbingnya, pembawa standard Ahlu Sunnah wa al-Jama'ah, pembongkar kesesatan yang lahir dari kekacauan dan bidah, dan pemimpin skolistik dan ahli perbaikan keimanan umat Islam. Maturidi telah menulis beberapa karya ilmiah yang kesemuanya masih dalam bentuk manuskript (makhtûthah) antara lain Kitabut Ta'wilil Quran, Kitâbul Jadâl, Kitab al-Ushûl Fî Ushûluddin, Kitâb Fîl-Kalâm, Kitab Ar-raddi 'alâl-Karâmithah, Kitab al-Bayân Wahm al-Mu'tazilah, Syarhu Fiqh al-Akhbar (Departemen Agama, 1992: 729).

2a. Beberapa Pandangan Teologis Maturidiah
I. Fungsi Akal
Sumbangan pemikiran Maturidi terhadap teologi Islam cukup besar. Dalam pandangan Maturidi, untuk mencapai pengetahuan yang benar diperlukan adanya tiga macam sumber; panca indera (al-'ayn), berita (al-Akhbar) dan akal (al-Nazdâr). Akal merupakan sumber terpenting antara tiga sumber tersebut, sebab adanya panca indera dan berita tidak memperoleh kepastian tentang suatu pengetahuan, tanpa fungsionalisasi akal. Bagi Maturidi, akal sebagai panca indera memiliki keterbatasan yang tidak dapat dielakkan.
Karenanya, manusia masih memerlukan bimbingan wahyu Allah. Dalam Al-Quran tidak terdapat ayat-ayat yang berlawanan antara satu dengan lainnya. Kalaupun ada, ayat-ayat tersebut haruslah diberikan takwil yang pengertiannya diserahkan kepada Allah sendiri. Jika akal bertentangan dengan hukum syara', maka akal harus tunduk kepada hukum syara', bukan sebaliknya. Akal tidak berstatus sebagai penguasa terakhir untuk menetapkan kewajiban manusia dan agama. Dasar kewajiban haruslah berasal dari wahyu dan bukan dari akal. Tentang sunnah rasul, Maturidi mengakui sebagai salah satu sumber pengetahuan. Akan tetapi dalam hal ini, ia menekankan sikap kritis terhadap isi (matan) dan rangkaian periwayatan sanad sunnah Rasul tersebut. (Departemen Agama, 1992:729).
Menurut Maturidi, akal dapat mengetahui tentang kewajiban manusia untuk berbuat baik dan menjauhi yang buruk. Tentang pemikiran teologi, Maturidi meletakkannya pada dua dasar, yaitu tanzih dan hikmah. Prinsip dasar tanzih (Freedom of similitude), yaitu pembebasan dari persamaan rupa atau bentuk bagi Tuhan. Sedangkan prinsip dasar hikmah (devine of wisdom) yaitu hikmah atau kebijaksanaan Tuhan. Prinsip Dasar tanzih pada hakekatnya bertolak dari sumber dan bersumber pada tauhid dan ke-Mahaesaan Allah. Karenanya, masalah teologi haruslah mencerminkan tentang masalah-masalah pokok teologinya, yaitu karena akal dapat mencapai pengetahuan akan kewajiban mengetahui Allah, iman bukanlah sekedar pembenaran (tashdîq) tentang adanya Allah semata, tetapi haruslah lebih dari itu, yaitu ma'rifât atau amal dalam arti mengetahui Allah dengan segala sifat-sifat-Nya. (Departemen Agama, 1992:729).
Maturidi menganggap akal mampu mengetahui kewajiban, mampu untuk mengetahui baik dan buruk. Sifat yang baik terdapat dalam yang baik dan sifat buruk yang terdapat dalam yang buruk. Tapi yang masih menjadi pertanyaan, apakah akal mampu mengetahui kewajiban berbuat baik dan menjauhi kejahatan (larangan dan perintah)?
Kalau kita tinjau pendapat Maturidi Bukhara, akal tidak dapat mengetahui kewajiban-kewajiban dan hanya dapat mengetahui sebab-sebab yang membuat kewajiban-kewajiban menjadi sebuah kewajiban. Akibat dari pendapat demikian ialah, bahwa mengetahui Tuhan dalam arti berterima kasih kepada-Nya, sebelum turunnya wahyu, tidaklah wajib bagi manusia (Nasution, 1986: 91).
Sedangkan Maturidi Samarkand tidak demikian, bahwa untuk kehidupan sehari-hari pun, akal dapat mengetahui keharusan berterima kasih kepada yang memberi nikmat. Untuk mengetahui baik dan buruk segala sesuatu juga bisa dijangkau dengan akal. Dalam hal ini, Maturidi membagi dalam tiga hal, yaitu: [1] Sesuatu yang dapat dijangkau oleh akal manusia secara mandiri mengenai kebaikannya, [2] sesuatu yang dapat dijangkau akal mengenai keburukannya kecuali syara'.
Pendapat Maturidi memang bisa identik dengan Imam Abu Hanifah, sesuai dengan yang ia katakan “Sekalipun akal dapat menjangkaunya, tetapi tidak ada taklif, kecuali dari Allah pembuat Syari’at Yang Maha Bijaksana. Dan menurutnya, akal sama sekali tidak mungkin secara mandiri dapat menemukan taklif keagamaan, karena yang memutuskan hal ini adalah Allah” (Zahrah, 1996:212).
Dalam konteks penggunaan akal pun, golongan Maturidiah sebetulnya didasari karena adanya perintah Allah untuk melakukan penalaran dalam sejumlah ayat Al-Quran. Allah memerintahkan manusia untuk berfikir mengenai kerajaan langit dan bumi. Di samping itu, Allah telah memberikan pengarahan kepada manusia, bahwa sekiranya akal fikiran diarahkan secara konsisten, terlepas dari pengaruh hawa nafsu dan taklid, niscaya ia akan sampai kepada iman dan ma'rifah tentang Allah.
Hal itu pun merupakan pengamalan terhadap nash-nash Al-Quran (Zahrah, 1996: 213). Secara paradoksi (mafhum mukhâlafah,), bisa kita pahami bahwa tidak menggunakan akal sebagai sarana untuk mengetahui Allah merupakan penyia-nyiaan terhadap berbagai ketetapan yang telah diatur oleh Allah melalui penalaran. Sekiranya pengetahuan tentang Allah itu tidak terkait dengan penalaran, niscaya hal itu merupakan pemutusan terhadap berbagai ketetapan yang telah ditegaskan oleh Allah sebagai hasil penalaran.

II. Fungsi Wahyu
Dalam banyak hal, Maturidiyah mempertahankan cara yang condong kepada Asy'ariyah. Tetapi pada saat yang bersamaan ia juga lebih memberikan penekanan pada fungsionalitas penalaran. Misalnya, ia menganggap semua manusia dengan nalarnya berkewajiban untuk mencoba mengetahui Tuhan. Sekte ini tidak secara mutlak menggunakan akal seperti Muktazilah. Maturidi mengakui bahwa akal mempunyai keterbatasan. Oleh karenanya, manusia memerlukan bimbingan dari Tuhan yang disebut wahyu. Fungsi wahyu menurut aliran ini adalah sebagai peletak sendi-sendi kewajiban manusia. Dengan demikian, wahyu ditempatkan sebagai sumber primer dalam mengetahui suatu kewajiban (agama), bukan dari akal. Karena, akal menurutnya bukanlah penguasa dan wahyu berfungsi menundukkan akal. Mengapa bisa disebut demikian? Bisa kita lihat pernyataannya, “Bahwa bila terjadi pertentangan dengan hukum syara’, akal harus tunduk kepada syara’. Sebab syara’ berasal dari wahyu Tuhan.”
Kedudukan wahyu (ayat-ayat Al-Quran) menurut Maturidiyah diterima secara bulat-buat. Oleh karena itu, ketika terjadi pertentangan antara wahyu dan akal, akal harus berperan aktif dalam mentakwilkannya. (Departemen Agama, 1992: 729-730). Disebutkan pula, sekiranya Al-Quran bukan berasal dari Allah, niscaya mereka akan menemukan banyak pertentangan di dalamnya” (QS. 4: 82). Konsekwensi mereka seperti ayat-ayat tajsîm atau tasybîh harus ditafsirkan dengan arti majazi (kiasan), karena mereka tidak setuju dengan menggambarkan Tuhan dengan tubuh manusia, sebagai kontradiksinya dengan aliran Asy’ariyah.
Dengan demikian bisa dibedakan, bahwa fungsi wahyu bagi Maturidiyah Samarkand lebih minimal daripada Bukhara. Tetapi kalau dibandingkan dengan Asy’ariyah, Maturidiyah Samarkand menempatkan akal pada kedudukan terpenting. Sedangkan bila dihadapkan dengan Muktazilah, paham Maturidiyah Samarkand meletakkan akal pada fungsi kecil. Dari keterangan ini juga bisa kita buat koefisien variasinya, bahwa semakin bertambah besar fungsi yang diberikan kepada wahyu dalam suatu aliran, maka semakin bertambah kecil daya akal dalam aliran itu. begitu pula sebaliknya (Nasution, 1986: 101).

III. Sifat-sifat Tuhan
Sebagaimana telah diketahui bahwa posisi Maturidi terletak di antara Mutazilah dan Asy'ariyah. Oleh karena itu, dalam hal menundukkan sifat-sifat Allah, Maturidiyah berada di antara kedua belah pihak tersebut. Apabila Muktazilah menegasikan sifat-sifat dan Asyariyah mengakuinya, Maturidiyah juga ikut mengakui dengan sifat-sifat tersebut, tetapi bukanlah sifat-sifat itu sesuatu di luar zat-Nya, bukan pula sifat-sifat yang berdiri pada zat-Nya dan tidak pula terpisah dari zat-Nya. Sifat-sifat tersebut tidak mempunyai eksistensi yang mandiri dari zat, sehingga tidak dapat dikatakan banyaknya sifat-sifat itu akan membawa kepada banyaknya qâdim (kekal). Pernyataan ini lebih dekat kepada Muktazilah (Zahrah, 1996:218). Jadi, sifat-sifat itu tidaklah identik dengan zat, melainkan juga tidak lain dari-Nya (Eliade, 1987: 846). Tuhan mempunyai sifat, dan sifat-sifat Tuhan bukanlah berarti zat Tuhan, tetapi juga tidak lain dari Tuhan. Jika dikatakan Tuhan Maha Mengetahui, artinya bahwa Tuhan mengetahui bukanlah dengan zat-Nya, akan tetapi dengan pengetahuan-Nya.
Sementara itu, mengenai al-tasybîh atau al-tajsîm (Antromorfhisme), Maturidi menolaknya. Karena menurutnya, paham menyerupakan Tuhan dengan makhluk, berarti telah menodai ke-Mahaesaan Allah, yang berarti pula paham tersebut bertentangan dengan akal. Yang dimaksud dengan al-tasybîh atau al-tajsîm adalah penggambaran Tuhan dengan makhluk. Misalnya menyatakan Tuhan mempunyai wajah, tangan, mata dan sebagainya. Menurut Maturidi, kalau dalam Al-Quran terdapat kata wajah, tangan, mata dan lain-lainya yang berkaitan dengan Allah, maka hal itu haruslah ditakwilkan (diartikan secara kiasan atau majazi). Bahkan, ayat yang berbunyi, "nahnu aqrabu min hablil warîd" (QS. 50: 16)—secara harfiah bermakna kami (Tuhan) lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya—haruslah dipahami sebagai pertanda akan ke-Mahasempurnaan kekuasaan Allah SWT.
Menurut Maturidi, Tuhan dapat dilihat, karena mempunyai wujud. Yang tidak dapat dilihat adalah yang tidak berwujud. Setiap yang berwujud pasti dapat dilihat, dan karena Tuhan berwujud maka Tuhan pasti dapat dilihat. Di samping itu, Tuhan Maha melihat segala apa yang ada, termasuk diri-Nya sendiri. Dalam Al-Quran Tuhan berfirman (yang artinya), "Wajah-wajah (orang-orang mukmin) pada hari itu berseri-seri. Kepada Tuhannya mereka melihat" (QS. 75: 22-23).
Tentang Al-Quran, Maturidi berpendapat bahwa ia merupakan sifat-sifat Allah. Karena Al-Quran adalah kalâm Allâh dalam arti makna yang melekat pada zat Allah, bukan yang tersusun dari huruf dan kata-kata. Karena Al-Quran adalah sifat Allah, maka Al-Quran itu qadim dan tidak terpisah dari esensi Allah, tetapi Al-Quran tidak identik dengan Allah. Yang tersusun dalam bentuk huruf dan kata-kata adalah baru, tidak qadim (Departemen Agama, 1992: 730).
Sedangkan Mengenai hikmah, Maturidi menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan hikmah adalah kebijaksanaan Tuhan, dalam arti perpaduan dua keadaan yang disebut 'Adil (justice), rahmat, dan utama (fadl). Tuhan memiliki kekuasaan absolut, namun keabsolutan-Nya itu bukanlah sebagai subyek yang terdapat pada kaidah-kaidah hukum yang berada di luar, melainkan berada pada kebijaksanaan-Nya sendiri.
Maturidi menjelaskan bahwa kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan dibatasi oleh batasan-batasan yang telah ditetapkan Tuhan sendiri. Di antara batasan-bataan yang telah diciptakan Tuhan adalah kebebasan dalam melakukan suatu perbuatan. Dalam arti, dapat menggunakan daya dan kehendak untuk memilih apa yang baik dan yang buruk. Meskipun dinyatakan bahwa Tuhan telah menciptakan batasan-batasan terhadap diri-Nya, namun Tuhan tidak dipaksa atau terpaksa berbuat apa yang dinginkan-Nya. Hal yang mendorong Tuhan menciptakan batasan-batasan terhadap diri-Nya, tidak berasal dari luar diri-Nya. Allah menciptakan segala sesuatu, termasuk di dalamnya perbuatan manusia. Hal ini tercermin dalam firman Allah yang menyatakan "Wallâhu khalaqakum wa mâ ta'malûn" (Q.S. 37: 96), artinya "Allah menciptakan kebebasan untuk manusia berupa perbuatan agar dapat menggunakan daya dan kehendak dalam hal memilih yang baik dan yang buruk.” Mengenai persoalan ini, Harun Nasution menyatakan bahwa Maturidi mengambil jalan tengah antara paham Qadariyah dan Jabariyah. (Departemen Agama, 1992: 731).
Tentang keadilan Tuhan, bagi Maturidi, yang membatasi kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan adalah adanya kewajiban-kewajiban bagi Tuhan terhadap manusia, sekurangkurangnya berupa kewajiban untuk menepati janji-janji-Nya tentang pahala dan siksa. Sekali lagi perlu ditegaskan, bahwa kewajiban Tuhan itu datangnya bukan berasal dari luar diri Tuhan, tetapi berasal dari Tuhan sendiri, dan kewajiban Tuhan itu diciptakan atas kewajiban untuk menepati janji-janji-Nya tentang adanya pahala dan siksa. Sedangkan manusia oleh Tuhan diberikan kebebasan menggunakan daya untuk memilih antara yang baik dan yang buruk, dengan demikian Tuhan bersifat adil ('âdil). Karena Tuhan Maha bijaksana, berarti Tuhan Maha adil. Dan karena Tuhan bersifat adil, tidak mungkin ada suatu beban yang diberikan kepada manusia yang berada di luar kemampuan daya manusia.

IV. Perbuatan Manusia
Dalam menjelaskan perbuatan manusia, Maturidi mendasarkan pada teori niat (unsur kesengajaan) dan kemampuan—yang tidak bisa terlepas dari unsur-unsur psikologi maupun fisiologi. Menurutnya, manusia adalah pelaku yang bebas memilih dalam arti yang sebenarnya. Masing-masing orang di antara kita tahu, bahwa dirinya adalah bebas memilih apa yang dilakukannya. Ia adalah pelaku yang kâsib (punya kasab). Perbuatan-perbuatan manusia, walaupun merupakan kasab baginya, tetapi juga diciptakan oleh Allah. Pendapat seperti ini diperkuat oleh bayak ayat dalam Al-Quran. Tegasnya, perbuatan manusia merupakan "karya bersama" antara manusia dengan Tuhan. Allah yang mencipta dan manusia yang meng-kasab-nya (Madkour, 1995: 194). Pandangan seperti ini persis sama dengan Muktazilah dengan penalarannya, bahwa satu qudrat berkumpul pada dua maqdur, karena aspeknya berbeda. Qudrat Allah mencipta, sedangkan qudrat manusia mengkasab. Menurut Maturidi, kasab berarti kesengajaan (qashd) dan ikhtiar, karena kasb merupakan proses (amal) positif yang mendahului aksi.
Analisa yang dikemukakan Maturidi adalah, bahwa al-qashd (unsur kesengajaan) merupakan salah satu unsur penting bagi kebebasan kehendak. Qashd merupakan pangkal bagi taklif (perintah agama), prinsip bagi pahala dan dosa, juga pujian dan celaan. Perbuatan-perbuatan itu tergantung pada niat. Hasil yang akan diperoleh oleh masing-masing orang tergantung pada niatnya. Seorang berniat melakukan perbuatan baik, maka Allah pun menciptakan qudrat pada dirinya agar bisa melakukannya, dan seseorang tersebut berhak menerima pahala atas niatnya itu. Atau ia berniat melakukan perbuatan jelek, maka Allah pun menciptakan qudrat pada dirinya agar bisa melakukannya, dan ia berdosa karena niatnya itu. Memang, al-qashd merupakan amal hati, tetapi mengakibatkan pengaruh-pengaruh eksternal. Perbuatan itu tidak mengkonsekwensikan pahala dan dosa. Dengan bukti bahwa orang yang tidak memiliki al-qashd tidak terkena taklif, seperti anak kecil dan orang yang sedang tidur. Perbuatan itu baik jika dimaksudkan untuk melakukan kebaikan. Sebaliknya, ia menjadi perbuatan buruk jika dimaksudkan untuk melakukan kejelekan. Hadis Rasulullah berbunyi: "Baragsiapa hijrah kepada Allah dan Rasulnya, maka hijrahnya kepada Allah dan rasulnya, sebaliknya barangsiapa hijrah kepada dunia dan wanita, maka ia akan mendapatkannya atau menikahinya, karena hijrahnya tergantung apa yang ia tuju".
Al-qashd harus disertai dengan kemampuan untuk berbuat (istithâ'ah). Maturidi telah merinci masalah ini dengan menjelaskan pula hakikat dan sumbernya. Istithâ'ah ada dua macam. Pertama, istitha'ah mumkinah (kemampuan yang mungkin), yang berarti keselamatan sebab, alat dan anggota tubuh yang kesemuanya merupakan pemberian dari Allah yang berfungsi untuk membantu seseorang untuk melakukan perbuatan. Ia harus ada sebelum seseorang melakukan perbuatan, tidak taklif tanpa ada istitha'ah ini. Oleh sebab itu, seorang muslim tidak harus menunaikan ibadah haji, misalnya tanpa terpenuhinya faktor biaya dan transportasi. Kedua, istitha'ah muyassarah (kemampuan memudahkan), yaitu qudrat hadîtsah (kemampuan temporal) yang menyebabkan manusia bisa berbuat. Qudrat ini diberikan oleh Allah ketika ia berniat melakukan suatu perbuatan qudratnya sendiri. Jadi ada istithâ'ah yang mendahului perbuatan dan ada pula yang bersamaan dengan perbuatan (Madkour, 1996: 196).
Dengan demikian, pendapat Maturidi mengenai permasalahan berhubungan dengan taklif ini berarti bertentangan dengan pendapat Asy'ariyah. Allah tidak akan mentaklif perbuatan manusia, selama manusia tidak sanggup melakukannya. Karena mentaklif orang yang tidak mampu keluar dari ketentuan hikmah. Dia tetap bersiteguh, bahwa setiap perbuatan manusia pada saat itu juga adalah hasil dari kemampuan manusia dan dengan kekuatan Tuhan (Eliade, 1987: 286). Sementara dalam konteks persoalan perbuatan manusia, ditemukan persamaan pandangan antara Maturidiyah dengan Muktazilah, bahwa manusia bisa dan mengetahui Tuhan dan wajib berterima kasih kepada-Nya, melalui alasan independen dan tidak tergantung kepada risalah Nabi (Brill, 1986: 846).
Tentang orang yang beriman dan berdosa besar, Maturidi berpendapat, bahwa orang yang beriman dan yang berdosa besar tetap dinyatakan sebagai orang mukmin. Adapun bagaimana nasibnya kelak di akhirat, terserah kepada kehendak Tuhan. (Departemen Agama, 1992: 731). Masih dalam pendapat Maturidi, walaupun akan dihisab dan akan mendapat siksa, tetapi Allah dapat saja mencurahkan rahmat kepadanya. Dengan demikian, pelaku dosa besar tidak kekal di neraka, sekalipun ia meninggal dunia tanpa bertaubat. (Zahrah, 1996:222). “Barangsiapa membawa perbuatan yang jahat, maka dia tidak akan diberi balasan, melainkan seimbang dengan kejahatannya. Sedangkan mereka sedikitpun tidak dianiaya.” (QS. 6: 160). Tidak disangsikan, bahwa orang yang tidak mengingkari Allah dan tidak menyekutukan-Nya, dosanya berada di bawah orang kafir dan musyrik.
Dengan apa yang telah dibahas di atas, bisa disimpulkan bahwa Maturidiyah adalah sekte teologi yang posisinya antara aliran tekstualis (Asy'ariyah) dan rasionalis (Muktazilah). Tentunya, berbagai permasalahannya pun tidak lepas dari posisi tengah di antara keduanya. Posisi tengah tersebut bukan berarti netral tanpa ada kecenderungan, baik kepada Muktazilah maupun Asy'ariyah. Akan tetapi justru kadang-kadang terjadi suatu permasalahan yang lebih cenderung kepada Muktazilah dan terkadang juga kepada Asy'ariyah.

3) Maturidiah Bukhara
Sebagai cabang aliran Maturidiyah yang berpusat di Bukhara atau juga dikenal dengan nama Bazdawiyah termasuk juga bagian dari barisan penentang Muktazilah. Namun, dalam pembahasan para ahli, nampaknya aliran ini tidak banyak mendapat perhatian khusus. Hal itu disebabkan karena pada umumnya mereka menyatukan Maturidiyah yang berbasis di Samarkand dengan Maturidiyah yang berbasis di Bukhara dengan hanya menyebut Maturidiyah saja.
Dalam berbagai studi yang dilakukan para pakar teologi Islam, paling tidak terdapat dua tokoh agama yang dinisbatkan kepada nama Al-Bazdawi. Pertama, Al-Imam Abû Muhammâd ‘Abd al-Karim ibn Mûsâ Al-Bazdâwi. Tokoh pertama ini wafat pada tahun 390 H (999 M). Ia termasuk ulama yang menjadi murid al-Maturidi. Kedua, Abû Yusr Muhammad al-Bazdâwi (w. 493 H/1099 M di Bukhara). Tokoh yang kedua inilah yang dianggap sebagai tokoh Maturidiyah Bukhara. Ia dilahirkan pada tahun 421 H.
Tidak ada data konkret yang menginformasikan peran dan kiprah Al-Bazdawi sebelum menjadi Qadhi di Samarkand pada tahun 481 H, kecuali diskusi dengan para filosof di kota Indikan (Abu Yusr Muhammad Al-Bazdawi dalam Hans Peter Lings., ed.: 1963, 13). Pada tahun 478 H / 1085 M, ia mulai berada di Bukhara dan memanfaatkan sebagian besar masa hidupnya untuk mengarang dan menjadi guru. Hal ini dilakukannya hingga wafat pada tahun 493 H /1099 M di kota yang sama.
Dalam mengenyam pendidikan agama, Bazdawi tidak mendapatkan secara langsung dari Maturidi, tetapi ia memperolehnya dari bapaknya yang belajar dari kakeknya Abdul Karim. Kakek beliau inilah yang sempat mengenyam pendidikan secara langsung dari Maturidi. Kemudian untuk menambah pengetahuannya, Bazdawi berguru pada ulama Hanafiyah,· seperti Ya’qub ibn Yusuf ibn Muhammâd An-Nisaburi dan Syeikh Imam Abu Khatib. Kelak, Bazdawi mempunyai murid yang bernama Najm ad-Din Muhammad An-Nasfi yang menulis kitab al-'Aqâid an-Nasfiyah, As-Shanâ'i yang menulis kitab Al-Mukhtashar dan lain sebagainya yang membuat harum nama Bazdawi.
Bazdawi tertarik untuk mempelajari karya-karya ulama pendahulunya, seperti filsafat Al-Kindi, kitab-kitab Muktazilah karya Abdul Jabbar, Al-Jubba'i, dan An-Nadham. Di samping, ia juga mempelajari sebagian besar kitab-kitab Asy'ari, terutama kitab yang dikarang oleh Maturidi, sebagai guru kakeknya, yaitu Kitabut Tauhid dan kitab Ta'wilâtul Qurân. Karya-karya Bazdawi antara lain Ushuludin—komentar terhadap kitab Al-Jami' al-Saghir karangan Al-Syaibani, Al-Waqi'ât dan Al-Mabsut . (Abu Yusr Muhammad Al-Bazdawi, ibid.,: 1963, 14).
Bazdawi tidak selamanya sepaham dengan Maturidiyah. Sehingga, di antara dua pemuka aliran Maturidiyah, terdapat perbedaan. Sehingga dapat dikatakan bahwa aliran Maturidiyah mempunyai dua golongan, yaitu: golongan Samarkand (pengikut-pengikut Maturidiyah sendiri) dan golongan Bukhara (pengikut Bazdawi) (Nasution, 78).

3a. Pemikiran Al-Bazdawi
Seperti yang telah disinggung di atas, bahwa pada batas tertentu, pemikiran teologi di antara dua aliran Maturidiyah (Samarkand dan Bukhara) ini mempunyai perbedaan. Kalau corak pemikiran teologi Maturidiyah Samarkand lebih dekat kepada Muktazilah, maka corak pemikiran Maturidiyah Bukhara—yang dimotori oleh Bazdawi—lebih dekat kepada Asy'ari. Di bawah ini akan dikemukan beberapa pemikiran Bazdawi disertai dengan perbandingannya dengan beberapa aliran lainnya.

I. Akal dan Wahyu
Dalam mengetahui Tuhan dan kewajiban-kewajiban manusia terhadap Tuhan, antara akal dan wahyu masing-masing mempunyai daerah otoritasnya yang berbeda. Akal sebagai daya pikir insani berusaha keras sampai kepada (pemahaman) Tuhan. Sementara wahyu merupakan pesan Ilahi yang turun kepada manusia. Ia membawa keterangan-keterangan tentang Tuhan dan kewajiban manusia terhadap Tuhan. Pada umumnya, polemik yang terjadi antara aliran-aliran teologi Islam mengenai akal dan wahyu dipicu oleh empat masalah pokok, yaitu: [1] mengetahui adanya Tuhan, [2] mengetahui kewajiban manusia untuk berterima kasih kepada Tuhan, [3] mengetahui apa yang baik dan apa yang buruk, dan [4] mengetahui kewajiban manusia untuk berbuat baik dan kewajiban menjauhi berbuat jahat (Nasution, 1986, 76).
Kaum Muktazilah berpendapat, bahwa keempat masalah tersebut dapat diketahui akal. Bagi kaum Muktazilah, melalui pemikiran yang mendalam, akal dapat memperoleh semua pengetahuan dan kewajiban-kewajiban manusia. Akal dapat mernbedakan antara yang baik dan buruk, sebab hal itu merupakan sifat esensi bagi kebaikan dan kejahatan.
Oleh karena itu, kebaikan dan kejahatan wajib diketahui melalui akal. Demikian pula mengerjakan yang baik dan menjauhi yang jahat (Nasution, 1986, 76). Sementara itu, golongan Asy'ariah mengatakan, bahwa akal hanya dapat mengetahui satu dari keempat masalah di atas, yaitu Tuhan. Sedangkan semua kewajiban lainnya dapat diketahui melalui wahyu. Akal tidak dapat menentukan sesuatu menjadi wajib. Dengan demikian, akal tidak dapat mengetahui, bahwa mengerjakan perbuatan baik dan menjauhi perbuatan jahat adalah wajib. Sampai di sini terlihat jelas, bahwa antara Muktazilah dan Asy'ariah terdapat perbedaan besar, terutama mengenai kesanggupan akal manusia. Kalau bagi aliran Muktazilah daya pikir manusia adalah kuat, sedangkan bagi aliran Asy'ariyah, akal adalah lemah.
Sementara bagi kaum Maturidiyah Samarkand, di antara keempat persoalan di atas, yang tidak diketahui oleh akal hanya satu, yaitu kewajiban berbuat baik dan menjauhi perbuatan jahat. Ketiga masalah lainnya dapat dijangkau oleh akal. Tampaknya Bazdawi sepaham dengan Maturidi, bahwa akal manusia mampu untuk mengetahui adanya Tuhan dan mengetahui baik dan buruk. Akan tetapi, ia berpendapat bahwa sebelum datangnya wahyu, tidak ada kewajiban mengetahui Tuhan dan berterima kasih kepada-Nya. Manusia tidak wajib mengerjakan perbuatan baik dan menjauhi perbuatan jahat. Lanjut Bazdawi, kewajiban-kewajiban hanya ditentukan oleh Tuhan dan ketentuan-ketentuan Tuhan itu hanya dapat diketahui melalui wahyu (Al-Bazdawi, 209, Nasution, 88-91). Bazdawi mendasarkan pendapatnya ini pada firman Allah:

ولو أنا أهلكناهم بعذاب من قبله لقالوا ربنا لولا أرسلت إلينا رسولا فنتبع آياتك من قبل أن نذل ونخزى
Mengenai fungsi wahyu, Bazdawi berpendapat, bahwa wahyu diperlukan untuk mengetahui kewajiban-kewajiban manusia. Sementara Maturidi berpendapat, wahyu diperlukan untuk mengetahui kewajiban baik dan buruk. Asy'ari memberikan fungsi yang sangat besar kepada wahyu. Wahyu baginya menentukan segala hal. Sekiranya wahyu tidak ada, manusia akan bebas berbuat apa yang dikehendakinya dan sebagai akibatnya, manusia terjebak dalam kekacauan (chaos) (Nurdin: 1996, 136). Sedangkan Muktazilah memberikan fungsi terkecil kepada wahyu dibandingkan dengan tiga aliran lainnya.
Sehingga, kesan yang tertangkap dari pemikiran Muktazilah adalah, bahwa fungsi wahyu lebih bersifat konfirmatif daripada informatif (Nasution, 99). Dari keterangan di atas bisa dikatakan, bahwa Bazdawi berada dalam urutan ketiga dalam menilai kekuatan dan fungsi akal. Urutan pertama dan kedua berturut-turut dipegang oleh Muktazilah dan Maturidiyah Samarkand. Sedangkan yang menduduki urutan yang terakhir adalah Asy'ariyah.

II. Sifat Tuhan
Menurut Bazdawi, Tuhan mempunyai sifat-sifat, yaitu: 'ilmu, hayât, qudrah, dan quwwah. Tuhan mengetahui dengan ilmu-Nya dan hidup dengan hayat-Nya. Sifat-sifat Allah itu kekal, tetapi dengan kekekalan yang terdapat dalam esensi Tuhan, bukan dengan kekekalan sifat itu sendiri. Untuk menghindari ta'addud al-qudamâ dikatakan, bahwa Allah itu kekal dengan segala sifat-sifatnya. Sedangkan sifat-sifat Allah itu bukan baru dan tidak diciptakan (Ahmad Mahmud Subhi: 1969, 193). Sementara menurut Muktazilah, Tuhan itu tidak mempunyai sifat. Dia hidup dengan dzat-Nya dan mengetahui dan berkuasa denganm dzat-Nya. Kalau dikatakan Tuhan mempunyai sifat, sedang sifat itu bisa dikategorikan qâdim atau hâdits, maka akan mengakibatkan pengertian banyak qadim Tuhan itu ditempati oleh suatu yang hadits (baru). Kedua pengertian itu tidak benar, oleh karena itu harus dihindari. Bazdawi tetap tidak bisa menerima pendapat Muktazilah seperti ini, karena menghilangkan sifat Allah berarti mengingkari pemiliknya. Maturidi nampaknya lebih sepaham dengan Asy'ari—keduanya mengatakan terutama Maturidi—bahwa sifat-sifat itu bukanlah Tuhan, tetapi juga tidak lain juga dari Tuhan (Al-Bazdawi, 34).
Tentang antropomorfisme, seperti tangan Tuhan dan kursi Tuhan, Bazdawi berpendapat, bahwa tangan Tuhan itu adalah sifat dan bukan anggota badan Tuhan. Ia merupakan sifat yang sama dengan sifat-sifat lain yang dimiliki Tuhan, seperti pengetahuan, daya dan kemauan. Bahkan, lebih jauh dari itu, Bazdawi cenderung untuk menakwilkan ayat-ayat yang mengandung pengertian antropomorfisme. Sebagai contoh ketika mengartikan ayat:

ثم استوى على العرش ... (الأعراف : 54)
وهو الذي في السماء إله وفي الأرض إله ... (الزحرف ... 84)

Mengenai ayat di atas, Bazdawi mengatakan, bahwa Allah itu menguasai seluruh alam (Al-Bazdawi, 29).

III. Perbuatan Manusia
Dalam pandangan Bazdawi, perbuatan manusia adalah ciptaan Allah. Allah mewujudkan perbuatan manusia, sedangkan manusia adalah pelaku sebenarnya. Perbuatan manusia timbul dari dirinya dengan kebebasan dan kemampuan yang baru. Perbuatan manusia tersebut bukan perbuatan Allah. Perbuatan Allah hanyalah menjadikan dan mewujudkan. Sedangkan perbuatan manusia adalah melakukan, bukan mewujudkan (Al-Bazdawi, 99). Ini berarti bahwa perbuatan manusia mempunyai wujud atas kehendak Tuhan dan bukan atas kehendak manusia, dan selanjutnya mengatur arti paksaan. Manusia melakukan perbuatan baik dan buruk atas kehendak Tuhan, tapi tidak selamanya dengan kerelaan Tuhan. Tuhan tidak menyukai manusia ketika berbuat jahat. Tegasnya, manusia berbuat baik atas kehendak Tuhan dan dengan kerelaan hati Tuhan. Sebaliknya, manusia berbuat buruk atas kehendak Tuhan, tetapi tidak atas kerelaan Tuhan (Al-Bazdawi, 42).
Sementara dalam pandangan Muktazilah, perbuatan manusia merupakan perbuatannya sendiri. Manusia berbuat baik, buruk dan tidak patuh kepada Tuhan atas kehendak dan kemauan sendiri. Sedangkan daya (istithâ'ah) untuk mewujudkan kehendak itu telah terdapat dalam diri manusia sebelum adanya perbuatan. Perbuatan manusia bukanlah diciptakan Tuhan pada diri manusia, tetapi manusia sendirilah yang mewujudkan perbuatan (Nasution, 106). Dengan kata lain, manusia adalah pencipta (khâliq) dari semua perbuatannya sendiri.
Bazdawi berpendapat, bahwa untuk perwujudan perbuatan perlu ada dua daya, yaitu menciptakan perbuatan dan melakukan perbuatan. Manusia hanya mempunyai daya untuk melakukan perbuatan, tetapi tidak mempunyai daya untuk menciptakan perbuatan. Hanya Tuhan yang dapat mencipta termasuk perbuatan manusia (Nasution, 114-115).
Dengan demikian, manusia hanya dapat melakukan perbuatan yang telah diciptakan Tuhan baginya. Bazdawi juga mengatakan, bahwa perwujudan suatu perbuatan mempunyai dua perbuatan, yaitu perbuatan Tuhan dan perbuatan manusia. Bagi Bazdawi, perbuatan Tuhan merupakan penciptaan perbuatan manusia dan bukan penciptaan daya.
Selanjutnya, perbuatan itu disebut maf'ul. Perbuatan manusia hanyalah melakukan perbuatan yang diciptakan itu, dan perbutaan ini disebut fi'il. Duduk misalnya, menciptakan perbuatan duduk, dengan daya kekal Tuhan adalah perbuatan atau maf'ul Tuhan. Melakukan perbuatan yang telah diciptakan itu dengan daya yang diciptakan adalah perbuatan atau fi'il manusia. Dari sini Bazdawi menyimpulkan, bahwa perbuatan manusia, sungguhpun diciptakan, bukanlah perbuatan Tuhan. Manusia adalah pembuat dari perbuatan dalam arti kata yang sebenarnya. Tetapi pendapat yang terakhir ini mendapat kritikan, sehingga ia ragu dalam mengatakan bahwa perbuatan manusia adalah perbuatan dalam arti kata sebenarnya. Oleh karena itu, Harun Nasution lebih cenderung mengatakan bahwa menurut Bazdawai, perbuatan itu adalah perbuatan Tuhan, walaupun sebenarnya merupakan perbuatan manusia. Hal ini hanya merupakan kiasan. Jadi bagi Maturidiyah Bukhara, daya manusia tidaklah efektif dalam mewujudkan perbuatannya.
Pemikiran teologis sampai pada masa Bazdawi terus mengalami perkembangan, meskipun perkembangan tersebut bernada oposan terhadap pemikiran terdahulu. Ini kemudian tidak menutup kemungkinan bagi perkembangan-perkembangan baru di masa mendatang. Pemikiran-pemikiran teologis Bazdawi sesungguhnya lebih dekat kepada Asy'ari daripada kepada Muktazilah, karena Bazdawi memberikan tekanan yang lebih kecil kepada akal.

C. Respon Umat Islam terhadap Munculnya Paham Aswaja
1) Asy'ariyah: Aliran Teologi Mayoritas Umat Islam
Ketika Khalifah Al-Mutawakkil membatalkan al-mihnah pada tahun 841 M yang ditetapkan oleh Khalifah Al-Makmun (827 M) dan dikuti dengan pembatalan secara resmi mazhab Muktazilah sebagai mazhab negara, paham ini segera memasuki tahap kemunduran dan kelemahan, apalagi setelah Khalifah Al-Mutawakkil menunjukkan sikap penghormatan dan penghargaan terhadap Ibnu Hanbal dan penggikut-pengikutnya. Keadaan menjadi terbalik, Ibnu Hanbal dan para pendukungnya menjadi golongan yang dekat dengan penguasa. Beberapa pemikir kontra Muktazilah memperoleh kesempatan untuk menyerang ajaran teologi Muktazilah. Bahkan sebagian pemuka-pemukanya mulai meninggalkan barisan Muktazilah, seperti yang dialami Abu Muasa Al-Warraq, dan Abul Husain Ahmad Ibnu Al-Rawandi.
Abu Hasan Al-Asy'ari mengemukakan pandangan-pandangan teologinya dengan berpegang pada kitâb Allah, sunnah rasul-Nya, keluarga nabi dan para sahabatnya, para tabi'in, ulama ahli hadis (termasuk pandangan Ahmad Ibn Hanbal). Atas dasar pemikirannya yang lebih bercorak tradisional (ortodoks) inilah, kemudian pada perjalanan selanjutnya menimbulkan term Aswaja, yaitu golongan yang lebih berpegang teguh pada sunnah dan pendapat mayoritas. Asy’ariyah merupakan lawan dari golongan Muktazilah yang kurang perpegang teguh pada sunnah, kecuali sunnah yang mutawâtir.
Pandangan Asy’ariyah tidak hanya bercorak antitesis terhadap Muktazilah. Lebih dari itu, ia berupaya memoderasi paham Jabriyah dan Qadariyah atau dengan istilah lain, ia mengambil jalan tengah (tawâsuth) antara dogmatisme golongan kaum sunni yang konservatif dan rasionalisme Muktazilah yang cenderung liberal.
Asy'ari telah berhutang budi kepada Abu Ali Al-Jubba'i. Sebab dalam memperkenalkan ajaran-ajarannya di tengah publik, ia tetap menggunakan pendekatan filosofis dan ilmu Kalam yang telah dipelajarinya dari salah seorang tokoh paling penting di Muktazilah. Syahrastani mengidentifikasi paham Asy'ariyah sebagai golongan Sifatiyah, karena paham ini termasuk yang tidak membedakan zat dan sifat Allah dan menerapkan sifat Khabâriyah bagi Allah, seperti tangan dan wajah Allah, tanpa interpretasi. Berbeda dengan Muktazilah yang dengan tegas menegasikan sifat Allah—yang dalam terminologi Syahrastani disebut dengan Mu'athilah.
Paham-paham yang dikemukakan Asy'ari, setelah menyatakan keluar dari Muktazilah, memperoleh dukungan dari beberapa orang yang keluar bersamanya dari Muktazilah yang di antaranya Abu Abdillah Ibn Mujtahid Al-Bashri, Abu Hasan Al-Bahili, Abu Husain Bandar Ibn Husain Al-Syairazi (353 H), Abu Bakar Al-Qifal Syafi'i Al-Faqih, Abu Sahal Shaqluki (w. 369 H), Abu Yazid al-Marwazi (w. 371 H) dan lain-lain. Kemudian silih berganti pemuka-pemuka ajaran Asy'ari muncul mengikuti jejaknya.
Sehingga kita melihat, bahwa teologi ini menjadi mazhab sebagian besar umat Islam di seluruh dunia. Di antara pengikut Asy'ari yang terkenal dan berjasa dalam mengembangkan ajaran-ajarnnya ialah Abu Bakar \l-Baqillani (w. 10103 H), Imam Al-Juwaini (w. 478 H) dan Imam Abu Hamid Al-Ghazali (w. 1111 M). Meskipun, tercatat juga bahwa Baqillani dan Juwaini tidak sepenuhnya sepaham dengan Asy'ari, terutama dalam persoalan al-kasb dan dalam pengertian sifat Allah. Sedangkan Al-Ghazali dikenal sebagai pewaris setia ajaran Asy'ari. Meskipun dalam pandangan Muhammad Abu Zahrah (1996: 203), pada hakikatnya Al-Ghazali tidak mengikuti Asy'ari atau juga Maturidi. Ia justru melakukan pengkajian secara liberal dan intensif, tidak seperti kajian orang-orang yang bertaklid. Inilah salah satu sebab, banyak di antara pendukung Asy'ari menuduhnya kafir dan penganut paham zindîq.
Fase pembentukan, pertumbuhan dan perkembangan Asy'ariyah sebagai suatu aliran teologi, memiliki corak dan dinamikanya masing-masing, baik dari segi doktrin, pemikiran tokoh-tokohnya maupun sejarah penyebarannya.

2) Proses Perkembangan Pemikiran Teologis Asy'ariyah
Perbedaan paradigma dalam melihat berbagai persoalan dalam bangunan teologi Asy'ariyah telah mengakibatkan terjadinya perbedaan pendapat antara tokoh-tokoh pentingnya yang datang di kemudian hari. Al-Baqillani misalnya, ketika membahas masalah al-kasb berpendapat, bahwa manusia mempunyai sumbangan yang efektif dalam mewujudkan perbuatannya. Gerak dalam diri manusia memang ciptaan Tuhan, tetapi bentuk atau sifat dari gerak itu dihasilkan oleh manusia sendiri. Gerak sebagai genus (jenis) adalah ciptaan Tuhan, tetapi duduk, berdiri, berbaring dan sebagainya merupakan xpecies (naw) dari gerak adalah hasil perolehan manusia.
Al-Juwaini yang lebih dikenal dengan Imam Al-Haramain, seorang pemikir Asy'ariyah penting lainnya, berpendapat bahwa daya yang ada pada manusia mempunyai efek seperti yang terdapat dalam sebab dan musabbab (kausalitas). Wujud perbuatan manusia tergantung pada daya yang ada pada manusia. Wujud daya tergantung pula pada sebab lain lagi dan oleh karenanya daya bergantung pada sebab itu, sebagaimana perbuatan bergantung pada daya. Begitulah seterusnya, suatu sebab bergantung pada sebab yang lain, hingga sampai kepada sebab dari segala sebab, yaitu Tuhan. Sementara Al-Ghazali berpendapat, bahwa perbuatan manusia itu nyata, namun dihasilkan dari dua daya, yaitu daya yang berasal dari Tuhan dan daya yang berasal dari manusia sendiri yang nota bene juga diciptaan Tuhan, karena itu ia lebih menyerupai 'ajiz.
Produk-produk pemikiran Asy'ari lain, nampaknya tidak begitu banyak diperdebatkan oleh penerus-penerus, misalnya mengenai Tuhan dapat dilihat di akhirat nanti. Menurutnya, segala sesuatu yang ada dapat dilihat dan penyebab yang membenarkan penglihatan itu adalah sesuatu yang ada, namun penglihatan ini tidak dapat diartikan menunggu (nadhirah), seperti pemahaman Muktazilah. Yang tertutup matanya untuk melihat Allah hanyalah orang-orang kafir. Paham tentang penglihatan ini mendapatkan pembenaran (jusification) dari beberapa riwayat yang berasal dari Nabi, misalnya sebuah hadis yang mengatakan, "kamu sekalian akan melihat Tuhanmu dengan nyata, bagaikan melihat bulan di malam purnama, tanpa sedikitpun berbahaya bagimu".
Bagi Asy'ari, iman merupakan pembenaran dalam hati (bil-qalb). Sedangkan pengejawantahannya dengan ucapan (bil-qaul) dan perbuatan (bil-arkân), merupakan cabangnya. Dalam memandang pelaku dosa, Asy'ari berpendapat, bahwa pelaku dosa penentuan besar hukumnya diserahkan pada kekuasaan Allah, apakah diampuni dengan kasih-Nya atau diberi syafaat Nabi, "syafa'atku bagi para pelaku dosa besar dari segenap umatku".
Pelaku dosa besar tidak selamanya menetap di neraka, karena dalam dirinya masih terdapat iman. Sekalipun demikian, Tuhan tidak wajib menerima taubat manusia, karena tidak ada kewajiban sedikitpun bagi Allah. Allah hanya menerima taubat dan doa hamba yang terdesak. Dia pemilik semua ciptaan, berlaku sekehendak-Nya dan menetapkan sesuatu apa yang diinginkan-Nya. Seandainya semua manusia dimasukkan ke surga, tidak berati Dia salah, atau bila semua manusia dimasukkan ke dalam neraka, bukan berati Tuhan berbuat aniaya. Bukankah aniaya adalah menempatkan sesuatu bukan pada tempatnya? Allah penguasa Mutlak, tiada tercermin dalam diri-Nya kezaliman dan tiada pula melekat pada-Nya kesalahan.
Segala kewajiban dapat diketahui dengan wahyu. Sebab akal tidak dapat mewajibkan sesuatu, tidak juga menilai sesuatu baik atau buruk. Mengetahui Allah dapat dicapai dengan akal, dan mengetahui wajib dengan wahyu. Firman Allah: “Dan kami tidak mengazab (suatu kaum) hingga kami mengutus seorang rasul". Begitu pula perkara mensyukuri rahmat, pahala orang taat, balasan maksiat dan sebagainya, semua itu hanya dapat diketahui melalui wahyu. Segala jenis kewajiban (taklif) mengandung esensi manfaat. Allah kuasa memberi pahala dan siksa dan merupakan keutamaan Allah, sedang azab dan ganjaran merupakan keadilan-Nya. Firman Alah: "Dia (Allah) tidak akan ditanya apa yang diperbuat-Nya, sedangkan mereka ditanya apa-apa yang mereka kerjakan."
Diutusnya para rasul merupakan perkara jâiz, tidak wajib dan tidak pula mustahil. Namun setelah diutusnya para rasul, wajib dikuatkan dengan mukjizat dan perlindungan dari kesalahan. Sebab, para penerima seruan harus mengetahui kenenaran penyerunya. Karamah bagi para wali benar adanya, karena hal itu merupakan pembenaran atas para Nabi, sebagai data dalam memperkuat mukjizat.
Iman dan taat adalah taufiq dari Allah, sedangkan kufur dan maksiat adalah kehinaan dari-Nya. Taufiq bagi Asy'ari adalah daya yang diciptakan untuk taat. Sebaliknya, kehinaan merupakan daya yang diciptakan untuk maksiat. Apapun yang didengar dari wahyu, seperti al-Qalam, Lauh, 'Arsy, dan Kursiy wajib diimani apa adanya. Sebagaimana pemberitaan wahyu tentang pertanyaan di alam kubur, pahala, siksa, timbangan, jembatan, surga dan neraka, semuanya wajib diimani apa adanya.
Pandangan Asy'ari tentang Imâmah, ditetapkan berdasarkan kesepakatan dan pemilihan, tanpa ada penjelasan dari nash dan ketetapan syar'i. Kesepakatan yang pernah dibuat umat Islam untuk memilih Abu Bakar dan Utsman, dan 'Ali, dilakukan setelah melalui proses musyawarah. Dalam pandangan Asy'ari, urutan mereka dalam keutamaan, sebagaimana urutan mereka dalam Imamâh. Sedangkan mengenai 'Aisyah, Thalhah dan Zubair yang melawan Khalifah Ali bin Abi Thalib dalam perang Onta, dianggap hanya berbuat salah. Thalhah dan Zubair termasuk di antara sepuluh sahabat yang diberi kabar gembira akan masuk surga. Adapun Muawiyah dan Amr Ibn 'Ash disebut sebagai pembangkang terhadap pemimpin yang syah. Oleh karena itu mereka diperangi dan diposisikan sebagai pembangkang (bughat).

3) Penyebaran Asy'ariyah ke berbagai Wilayah Islam
Dalam periode antra tahun 320 - 447 H, keluarga Buwaihi dari kota Dalâm dekat Khurasan memperoleh pengakuan kekuasaan dari pusat kekuasaan Islam di Baghdad yang ketika itu dipimpin Khalifah Al-Mustakfi (334 H). Mereka menyokong kelompok Syi'ah dan menghidupkan panji-panjinya serta merendahkan wibawa orang-orang Turki. Hal ini menjadikan kelompok Muktazilah kembali menduduki posisi penting dalam pemerintahan. Hal itu terjadi karena antara paham Syi'ah dan Muktazilah mempunyai doktrin dalam beberapa hal yang sama, atau memiliki kedekatan.
Pada tahun 1055 M/447 H, Thurghil Bek dari dinasti Saljuk memasuki Baghdad dari negeri Jabal atas permintaan Khalifah Al-Qalm dari Bani Abbas untuk menumpas despotisme (kesewenang-wenangan) Al-Malik Al-Rahim, Amir Al-Umara Bani Buwaihi yang terakhir. Dengan demikian, berakhirlah kekuasaan bani Buwaihi dan bermulalah kekuasaan Bani Saljuk. Pergantian kekuasaan ini juga menandakan awal periode keempat khilafah Abbasiyah. Meskipun kekuasaan telah berganti, Muktazilah tetap jaya. Hal ini terutama karena Muktazilah mendapatkan dukungan dari Perdana Menteri Thughril, Abu Nasr Muhammad Ibn Mnansur Al-Kunduri (416-456 H). Ketika itu, para pemuka aliran Asy'ariyah ditangkap dan dipenjarakan. Sehingga, hal ini menjadikan Al-Juwaini dan pengikutnya melarikan diri ke Hijaz. Ia menetap di Mekah dan Madinah, sehinga membuatnya mendapat julukan Imam Al-Haramain. Lebih dari itu, dinasti tersebut menghidupkan beberapa tradisi Syi'ah, seperti upacara peringatan meninggalnya Husain, menyebut nama khalifah dalam khutbah dan lain-lain.
Sepeninggal Thughril Bek, Dinasti Saljuk diperintah oleh Alp Arselan (455-465 H) dan Malikiyah (465-485 H). Pada kurun ini, orang-orang Sunni mulai memperoleh kesempatan lagi untuk berkembang. Malikiyah ketika itu dibantu oleh perdana menterinya Nizham Al-Mulk. Atas bantuan ini, Malikiyah berhasil memprakarsai pendirian Universitas Nizhamiyah di tahun 1065 M, dan Madrasah Hanafiyah di Baghdad yang hanya mengajarkan mazhab Asy'ariyah serta bergabungnya beberapa tokoh penting aliran ini di kedua perguruan tinggi itu, seperti Al-Ghazali dan Al-Juwaini.
Sementara itu di Mesir dan Maroko, pengaruh aliran Syi'ah yang dianut oleh Dinasti Fatimiyah (297-567 H) sangat kuat. Sehingga kelompok Sunni memperoleh tekanan berat yang tidak memungkinkannya untuk berkembang. Penguasa Syi'ah mendirikan Universitas Al-'Atieq (Al-Jamiah Al-Amru) dan Universitas Al-Azhar di Mesir. Di kedua perguruan tinggi tersebut diajarkan fikih Syi’ah yang disusun oleh Ya'qub ibn Kais, Perdana Menteri Aziz Billah Fatimiy. Mereka pun memburu dan menyiksa orang-orang Sunni yang memiliki dan mempelajari buku Al-Muwatha' yang dikarang oleh Imam Malik dan memamerkannya keliling kota Kairo. Supremasi Daulat Fatimiyah di Mesir akhirnya dijatuhkan oleh Dinasti Shalahuddin Al-Ayubi di tahun 1174 M. Dengan datangnya dinasti ini, aliran Sunni kemudian masuk kembali ke Mesir. Aliran Syi'ah di sana hilang bersama dengan tumbangnya Dinasti Fatimiyah. Shalahuddin dikenal dalam sejarah sebagai sultan yang banyak membela Islam, terutama pada saat pecahnya perang salib.
Sementara di Andalusia dan Maroko (Afrika Utara), aliran Sunni dikembangkan oleh seorang ulama yang banyak dipengaruhi pemikiran Al-Ghazali, yaitu Muhamad Ibn Tumart (1080-1130 M). Setelah ia menghancurkan Dinasti Al-Murâbithun (1085-1090 M) yang menganut paham antromorfhisme, kemudian Ibn Tumart mendirikan Dinasti Al-Muwahhidin (1130-1269 M). Di wilayah Timur, paham Asy'ariyah turut dikembangkan oleh raja-raja Afghan yang pernah menguasai Persia, yaitu Dinasti Qanjar (1386-1925 M). Selain itu, Mahmud Al-Ghaznawi dari Dinasti Ghaznawiyah (962-1189 M) yang berpusat di Afghanistan (Khurasan), juga berjasa dalam menyebarkan paham Asy'ariyah ke beberapa wilayah di sekitarnya, seperti Punjab dan Irak.
Sejarah umat Islam mencatat, bahwa aliran Asy'ariyah mempunyai masa kejayaan terlama dan berlangsung hingga sekarang. Hal ini disebabkan oleh banyak faktor. Menurut Dr. Harun Nasution, faktor yang terpenting adalah kebiasaan rakyat mengikuti mazhab yang dipakai dinasti penguasa. Dengan kata lain, paham ini mendapat dukungan penuh dari penguasa. Di satu pihak, pemerintah mempunyai andil dalam pengembangan aliran ini terutama untuk memenuhi watak dan keadaan masyarakat. Sementara di lain pihak, untuk menghimpun kesetiaan rakyat, penguasa menggunakan doktrin Asy'ariyah yang berkecenderungan Jabariyah (fatalistik), sehingga daya kritis umat terhadap penguasa—dalam hal kebijakan dan prilaku rezim—kurang tajam, bahkan cenderung memberikan kelonggaran dan toleransi terhadap penguasa. Faktor pendukung lainya adalah disejajarkannya aliran teologi Asy'ariyah dengan mazhab fikih Syafi'i. Hal ini mejadikan aliran teologi Asy'ariyah identik dengan Aswaja, sehingga wibawa para ulama Syafi’iyyah ikut menjadi daya tarik tersendri, terutama pada masyarakat tradisional.
Penyetaraan aspek doktrin teologi Asy'ariyah dengan fikih Syafi'iyah sangat dimungkinkan karena, dalam merekonstruksi sebuah paham, keduanya sama-sama berlandaskan pada pendekatan salafi, yaitu menggunakan hadis dan mengintrodusir dalil-dalil syar'i dari sumber-sumber selain Al-Quran dan sunnah Rasul, berupa Ijma' al-Ulamâ, al-qiyâs dan sebagainya. Bahkan, Ibnu Taimiyah berpendapat bahwa mazhab ini mereka peroleh dari Rasulullah. Sehingga menyepelekan ajaran-ajaran yang dibawanya menyebabkan seseorang termasuk kategori ahli bidah.
Dalam rentang waktu yang cukup panjang, corak pemikiran sebagian besar kaum Asy'ariyah diwarnai oleh pemikiran Ghazali yang memang berjasa besar dalam menyebarluaskan teologi ini melalui sejumlah pemikiran yang tersebar dalam berbagai karyanya di bidang fikih, tasawuf, dan ilmu kalam. Ghazali lahir dari produk sejarah abad ke-11 yang ditandai oleh kebingungan spiritual dan kekacauan politik pada masa imperium Abbasiyah. Medan intelektual-spiritual selama abad ke-11 berlangsung pula perdebatan yang sengit antara filosof dan teolog dalam menafsirkan ajaran-ajaran agama.
Ghazali adalah figur teolog yang juga seorang sufi, di samping menguasai berbagai illmu lainnya. Dalam pergumulannya itu, kemudian ia mengambil keputusan untuk menentukan posisi piihannya dengan sikap yang mantap. Ia menempuh jalan sufi sebagai pondasi teologisnya, di samping berhasil memadukan prinsip-prinsip filsafat dan mistis dalam sistem teologinya. Pemikiran teologis Ghazali ini banyak mendapat sorotan dari pemikir-pemikir Islam kontemporer. Di antara sorotan yang paling tajam adalah, Ghazali dianggap sebagai orang yang paling bertanggung jawab atas kemunduran intelektualisme Islam di kalangan umat dewasa ini, terutama yang menggejala di kalangan Muslim Sunni. Bahkan, Sayed Ameer Ali melihat, bahwa kemerosotan bangsa-bangsa Islam dewasa ini disebabkan oleh formalisme Asy'ariyah dan praktek-praktek sufistik yang cenderung menjauhi pergumulan duniawi.
Secara metodologis, paham Asy'ariyah memilih jalan tengah antara berbagai ekstrimitas. Dalam menjelaskan doktrin-doktinnya, paham ini menggunakan metedologi logika Aristotelian (baca: silogisme). Sekalipun demikian, penggunaan logika Aristotelian diletakkan sebatas metode atau cara (instrumental), bukan materi kebenaran itu sendiri yang diterapkan pada segala objek. Sebab, kebenaran hanya dapat ditemukan melalui pendekatan terhadap Al-Quran dan hadits. Sementara pada sisi yang berbeda, banyak yang menuding konsep al-kasb Asy'ariyah telah membawa pengikutnya kepada sikap fatalistik (jabariy), walaupun pada hakikatnya doktrin ini tidak sepenuhnya menjadikan pengikutnya pasif. []
Sumber : http://pengrajinkata.blogspot.com/