Rabu, 12 Desember 2007

Revolusi Akal Sehat




Oleh: Ainul Yaqien
Peradaban Islam di masa lampau berkembang sangat pesat, justru setelah mengadopsi peradaban dan filsafat Yunani.
Begitu mendengar kata filsafat, kesan pertama yang tertangkap oleh benak kita ialah permainan kata-kata sulit dan ruwet, bahkan absurd. Tapi memang ada (sedikit) orang yang menganggap filsafat sebagai “ilmu tinggi” yang memiliki pemahaman agak aneh, bahkan mungkin kadang dianggap sebagai “gila”.
Padahal, sesungguhnya filsafat adalah ibu kandung perkembangan pandangan dunia yang, disadari atau tidak, selalu mendasari perkembangan ilmu pengetahuan. Dari rahim filsafat, ilmu pengetahuan kemudian berkembang dengan pesat. Di dalam filsafatlah konsep-konsep seperti ketuhanan, keadilan, kebebasan, kebahagiaan, dan berbagai konsep lain – yang sangat sentral bagi kehidupan umat manusia – diperbincangkan dan dirumuskan.
Bahkan peradaban Islam di masa silam mengalami perkembangan pesat justru setelah mengadopsi filsafat Yunani. Setelah melalui transformasi besar-besaran dari filsafat Yunani, peradaban Islam mengalami perkembangan luar biasa. Pernah suatu ketika para ahli fikih, tafsir, ilmu kalam, dan ilmuwan muslim lainnya adalah sekaligus filosof.
Banyak kepercayaan yang telah timbul dan lenyap sepanjang zaman, banyak keyakinan yang telah dipegang dan ditinggalkan orang, karena yang sekarang dibanggakan oleh sebagian besar umat manusia berasal dari barat. Pemikiran di kembangkan dengan tanpa adanya batasan-batasan dalam berpikir, sehingga mengakibatkan banyaknya pertentangan antara boleh dan tidaknya mempelajari dan mengkaji ilmu tersebut, telah banyak filsafat yang digali dan dikembangkan di Barat diadopsi mentah-mentah (taken for granted) akibatnya banyak kerusakan yang terjadi di segala aspek kehidupan.
Berbagai macam jalan boleh ditempuh, banyak cara boleh digali, tetapi sendi keimanan yang enam perkara (rukun Iman) tidak boleh kendor, sehingga jalan dan cara yang didapat manusia harus dipergunakan untuk memperkokoh sendi keimanan itu.
Banyak orang yang membuat syarat, untuk mandapatkan suatu hasil penyelidikan yang obyektif dalam lapangan ilmu pengetahuan, orang harus benar-benar lepas dari prasangka (prejudice) Tetapi dapatkah orang benar-benar bebas itu? Tidak! Selama dia masih bernama manusia, dia tidak dapat melepaskan diri dari pengaruh-pengaruh sekitarnya, bahkan itulah yang menentukan cara bagaimana ia berpikir, berbuat dan merasa. Sedangkan batu dapat berlumut, kayu bisa lapuk, besipun dapat berkarat. Tidak ada orang yang dapat membuat penelitian (research) tanpa hipotesa lebih dahulu, bahkan suatu research dilakukan hanya untuk menetapkan atau membantah suatu hipotesa.
Demikianlah kaum Muslimin yang disuruh bertebaran dimuka bumi, menetap dan mengelana di laut dan di darat dimana saja dia berada, dan apa jua pekerjaan apapun yang dilakukannya tidak diperbolehkan mengendorkan keyakinan itu. Sementara biarlah orang menyelidiki hipotesa Darwin dan kawan-kawannya, mengenai "prinsip evolusi" dan "survival of the fittes"nya, tetapi lambat atau cepat akan timbul pula orang yang seperti Einstein dan teori relativitasnya. Di dalam surat wasiatnya ia berpesan: "….di dalam dunia ini tidak ada materi (benda), yang ada hanyalah energi (daya), yang pada akhirnya orang akan mengetahui bahwa hanya ada satu energi yang maha besar….!".
Mungkin sekarang sebagian akal manusia belum sampai kepada pembuktian tentang Allah yang wajibul-wujud, tetapi sebenarnya akal saja tidak cukup untuk menetapkan sesuatu itu benar atau salah, apalagi untuk menentukan baik atau buruk. Mungkin karena fungsi akal itu sendiri bergerak dalam bidang yang sempit, hanya sekedar membandingkan apa yang telah dialami, ataupun karena akal itu sendiri selalu dicampuri kecenderungan-kecenderungan.
Umpama maksud, kepentingan, angan-angan kejiwaan dan lain-lain sebagainya. Atau kalau akal itu sendiri telah benar, tetapi orang dapat mengalami kesilapan, kelalaian, dipengaruhi oleh waktu dan keadaan yang berbeda-beda, atau manifestasinya dipengaruhi oleh nafsu, kedengkian, kemarahan, prasangka dan lain-lain sebagainya. Sebab itu baru menjadi kebenaran yang mutlak, kalau akal itu dipimpin oleh keyakinan dan keimanan yang selanjutnya dapat menjamin kelanjutan, dan keterusan usaha.
Oleh karena itu seorang astronot yang mengarungi ruang angkasa luar dapat saja mengatakan: "Saya telah mencari "Tuhan diangkasa luar tidak bertemu". Karena dasar pemikiran tentang adanya Tuhan itu tidak tepat, maka iapun menjadi keliru. Kalau Tuhan dapat dicari dengan kapal ruang angkasa, maka itu bukanlah Tuhan Yanh Maha Esa. Paling tinggi pangkatnya ialah "Tuhan ruang angkasa" yang tidak mampu muncul kebumi ini, karena takut menghadapi senjata nuklir buatan manusia.
Dasar penilaian yang demikian itu samalah kualitasnya dengan dasar pemikiran orang-orang Yahudi yang dikisahkan oleh Allah dalam Al-Qur'an surat Al-Baqoroh 55 yang artinya: "Ingatlah wahai orang-orang Yahudi ketika nenek moyang kamu dahulu brkata: Hai Musa, kami tidak akan beriman kepadamu, sebelum kami melihat Allah dengan mata kepala, Lalu mereka musnah disambar petir sedang kamu menyaksikannya".
Akan tetapi apabila astronot itu menggunakan dasar pemikirannya untuk mencari dengan cara yang jernih, bersih serta penuh dengan kesadaran dan keinsafan untuk mencari kebenaran, maka ia pasti akan meyakinkan kebesaran kesucian Tuhan Yang Maha Esa, tanpa membutuhkan penglihatan mata, malah penglihatan mata bisa palsu serta dipalsukan. Seorang penerbang angkasa luar yang teleh dipersiapkan dengan segala macam persiapan dan perbekalan untuk pertahanan dirinya, sehingga ia bisa kembali ke bumi dengan selamat, dan menceritakan segala pengalaman yang dipetiknya dalam perlawatannya itu, tentulah dalam lubuk hatinya timbul pengertian yang dalam tentang kekuasaan Tuhan yang menciptakan seru sekalian alam. Dan dia akan mengatakan sebagaimana diterangkan Allah dalam Al-Qur'an surat Al-Imron 191 yang artinya; "Orang yang mengingat Allah sewaktu mereka berdiri, duduk dan berbaring, serta memikirkan penciptaan atas langit dan bumi, maka mereka akan berkata: 'Wahai Tuhan kami, tidaklah ciptaan-Mu ini sia-sia'. Maha Suci Engkau dan lindungilah kami dari siksa neraka".
Lagi pula secara ilmiah tidaklah dapat menentukan bahwa Tuhan itu tidak ada dengan alasan karena Ia tidak kelihatan.
Imam Ghazali di dalam kitabnya Ihya 'Ulumuddin (jilid 4 halaman 312) mengatakan : "…Penglihatan manusia itu adalah lemah, tidak dapat melihat cahaya sinar yang sangat kuat, seperti kelelawar, tidak dapat melihat di siang hari".
Pendapat lain mengatakan: "Sifat-sifat yang sangat menonjol bisa menutupi zat yang memiliki sifat itu sendiri, seperti matahari karena cahayanya yang menonjol begitu kuatnya, maka sukar melihat zatnya sendiri. Maka sifat Zat Yang Maha Kuasa yang menciptakan alam semesta yang sangat menonjolbagi umat manusia, menyebabkan kita tidak dapat melihat Zat Tuhan dengan mata kepala kita.
Mata manusia dapat di contohkan sebagai pembuatan kaca mata., Artinya kaca mata itu ada yang dibuat khusus untuk melihat jarak dekat, jarak jauh dan benda-benda yang sangat kecil. Masing-masing kaca itu hanya dapat di pergunakan untuk maksud-maksud yang khusus itu, tidak dapat dipergunakan untuk semuanya. Umpamanya kaca mata untuk jarak jauh tidak dapat dipergunakan untuk jarak dekat begitu juga sebaliknya. Demikian pula halnya dengan mata manusia ini yakni hanya di buat oleh Tuhan khusus untuk melihat benda-benda, bukan untuk melihat Zat Tuhan Yang Maha Esa, yang tidak serupa dengan sekalian makhluk.
Kalau kondisi pembuatan mata manusia ini di ubah untuk melihat Zat Allah Yang Maha Kuasa, barulah kita dapat melihatNya, sebagaimana orang-orang yang beriman kelak di hari akhirat akan dapat melihat Zat Tuhan, sebagai salah satu nikmat yang paling tinggi yang di karuniakan Allah kepada orang-orang yang beriman.
Kalau kita hendak berpegang kepada pendapat Ibnu Abbas yang menyatakan bahwa Nabi Muhammad SAW dapat melihat Allah pada malam Isra' dan Mi'raj, maka kita akan dapat menarik hikmah dari operasi yang di laksanakan oleh Malaikat Jibril dan Mika'il sebelum Isra' dan Mi'raj itu dimulai, sehingga kondisi tubuh Nabi sendiri telah berlainan dari sebelumnya, maka Nabi Muhammad dapat menempuh dan menerima hal-hal yang luar biasa.Akan tetapi Aisyah RA sendiri tidak sependapat dengan Ibnu Abbas.(***)

Tidak ada komentar: