Rabu, 12 Desember 2007

Obor dan Ember Rabi’ah


Oleh: Ainul Yaqien


"Jika aku menyembahMu karena aku takut api nerakaMu, maka bakarlah aku di dalamnya!
Dan jika aku menyembahMu karena tamak kepada syurgaMu maka haramkanlah aku daripadanya.
Maka jika aku menyembahMu karena kecintaanku kepadaMu maka berikanlah aku balasan yang besar, berilah aku melihat wajahMu yang Maha Besar dan Maha Mulia itu.
Bait-bait diatas adalah sekelumit kerinduan manusia akan cinta pada Tuhan. Untaian kalimat itu terucap dari mulut Rabi’ah Adawiyah. Ia merupakan sufi perempuan masyhur dari tanah Irak. Kerinduannya akan Tuhan menempatkannya pada sebuah pencapaian yang luar biasa. Citarasanya akan cinta pada Tuhan menempatkannya menjadi salah satu ikon mistik Islam sepanjang zaman. Ia adalah panutan para sufi sesudahnya. Tentang Rabi’ah ini, sastrawan besar Fariduddin Al-Aththar melukiskannya dengan tepat. "Rabi’ah adalah wanita yang menyendiri dalam keterasingan suci, wanita yang bercadarkan ketulusan, wanita yang oleh cinta dan kerinduan luluh dalam penyatuan dengan Tuhan, wanita yang diterima oleh para lelaki sebagai Maria tanpa noda."
Dalam jagat sufisme, namanya setara dengan wali-wali agung. Konsep mahabbahnya menjadi inspirasi bagi umat selanjutnya. Seperti bunga, harumnya membentang dari dulu hingga sekarang. Perindu Tuhan itu adalah pecinta paling sejati. Di tangannya,konsep mahabbah (cinta Tuhan) menjadi lebih diterima. Dalam pandangannya hakekat tasawuf adalah Hibbullah atau mencintai Allah tanpa kecuali. Semua perbuatan yang dilakukan tidak dikarenakan rasa penuh harap akan pahalaNya atau rasa takut akan siksaNya. Tetapi perbuatan tersebut terdorong akan rindunya kepada Sang Khalik. Ada tiga tingkatan Mahabbah untuk mencapai jalan sufi. Pertama, zuhud. edua, ridha dan ketiga ihsan. Kesemuanya ini akan menghantarkan cinta manusia kepada Allah.
Banyak penulis-penulis cemerlang yang pernah menulis tentang sosok sufi ini. Gagasan mahabbahnya mampu menyihir banyak sufi, sastrawan dan pemikir sesudahnya. Mulai dari Abu Nasr As-Sarraj sampai Margareth Smith menggalinya dalam sebuah buku. Bahkan pemikir Muktazilah, Al Jahiz dalam bukunya Al-Bayan wat Tabyin menganggap penting pemikiran Rabi’ah bagi perkembangan pemikiran Islam. Tokoh ini menjadi sufi pertama yang diperkenalkan di negeri Barat. Legendanya dibawa oleh Joinville, seorang duta Louis IX ke Perancis. Bahkan sastrawan mutakhir Jerman masa kini, Max Mell menuliskannya dalam cerpen Die Schonen Hande.
Masa Yang Penuh Kesulitan
Perempuan mulia ini bernama lengkap Rabi’ah Adawiyah binti Ismail. Ia lahir pada tahun 95 H atau 185 M di kota Basrah, Irak. Ayahnya bernama Ismail Al-Adawiy Al-Qassy. Rabi’ah yang berarti keempat mempunyai masa kecil yang kelam. Dalam beberapa catatan sejarah disebutkan bahwa keluarganya tergolong miskin. Sampai-sampai pada masa persalinannya, Ismail tidak mempunyai uang sama sekali. Novelis Mesir Widad El-Sakakini melukiskannya dengan sangat mengharukan. Hanya sang ayah yang menemani isterinya saat kelahiran. Prosesi kelahirannnya berjalan tanpa lampu penerang. Segan dan malu telah mencegah Ismail untuk meminta tolong tetangganya. Rasa sakit semakin menjadi-jadi menimpa istrinya. Maka ia memohon kepada suaminya untuk mencari mentega dan minyak. Mulailah Ismail mengetuk pintu para tetangganya. Namun tak ada sambutan ramah.
Di tengah kebingungan ini, Ismail kembali ke pangkuan istrinya. Wajahnya lesu. Melihat situasi ini, sang istri hanya berdoa. Karena dengan doa ia aman dan damai. Tidak lama kemudian tangis bayi memekakkan dinding rumah. Seorang bayi perempuan telah lahir. Tetapi harapan Ismail kembali terkubur. Keinginannya memiliki seorang bayi laki-laki kandas. Sebuah doa meluncur dari mulutnya: "Tuhan mengabulkan sejumlah anak laki-laki kepada siapapun yang dikehendaki Nya."
Banyak cerita unik seputar kelahirannya. Sufi besar Persia Fariduddin Aththar menulis dalam Tadzkiratul Awliya sebagai berikut: "Ayahnya pernah bermimpi bertemu dengan Rasulullah menjelang kelahiran Rabi’ah. Dalam mimpinya itu Nabi bersabda: Janganlah bersedih hati sebab anak perempuanmu yang baru lahir ini adalah seorang suci yang agung yang pengaruhnya akan dianut oleh tujuh ribu umatku." Dengan mimpi ini, kemiskinan yang dihadapi keluarganya dinikmatinya dengan penuh keasyikan.
Jalan hidup Rabi’ah sangatlah muram. Apalagi setelah ditinggal mati Ayah dan ibunya. Pada waktu kekeringan melanda Basrah, Rabi’ah kemudian berpencar dengan kakak-kakaknya. Ia menjadi seorang budak. Hidupnya penuh penderitaan. Masa kecil dan remajanya dihabiskan dalam lilitan pekerjaan yang berat. Kepandaiannya bermain musik menjadikan Rabi’ah sebagai alat majikannya untuk menghimpun kekayaan. Perilaku kasar tuannya itu diterima dengan tabah.
Lilitan kesulitan dilalui Rabiah dengan kecintaan pada sang Khalik. Suatu ketika majikannnya mendengar Rabi’ah berdoa. Seberkas cahaya memancar dari dari rona wajahnya. Doa ini digambarkan Abdul Muni’m Al-Qindil dalam kitab Rabiah Al-Adawiyah, Adzarul Basrah Al Bathul: "Ya Allah, Engkau tahu bahwa hasrat hatiku hanyalah untuk memenuhi perintahMu. Jika aku dapat mengubah nasibku ini, niscaya aku tidak akan lekang sejenakpun untuk mengabdi kepadaMu." Kalimat itu menggetarkan sang majikan. Tidak lama kemudian Rabiah dibebaskan. Pengelanaan akan cinta abadinya pada Tuhan adalah jalan hidup Rabi’ah selanjutnya. Rabi’ah meninggal pada tahun 185 H dan dimakamkan di Basrah Irak.
Doa dan Kekeramatan
Laiknya pecinta sejati, kata-katanya menusuk langsung ke jantung jiwa. Bagi seorang sufi lafadz cinta pada Tuhan menjadi doa. Tak hanya indah dan puitik. Di dalamnya mengandung makna yang dalam tentang semesta ini. Rabi’ah mengalunkan tembang cintanya melebihi sufi di zamannya. Tentang cinta ini Rabiah pernah menulis:
"Kucintai Dikau dengan dua cinta: cinta yang sunguh-sungguh dan cinta yang tidak patut. Dari cinta yang sungguh-sungguh aku akan menikmati dalam mengingatMU untuk mengenang selain-Mu. Dan untuk cinta yang tak patut kubutuhkan rahasiaMu sendiri untuk kulihat. Jangan sampai tak ada rasa syukur bagiku dalam kedua cinta itu; rasa syukur hanya kepadaMu.
Tentang "pujaannya" itu ia menulis: "Oh kekasih hati, aku tak akan memberikan apapun kecuali bagiMu. Karenanya kasihanilah hari ini si pendosa yang datang kepada Mu. Oh harapanku dan istirahku dan kenikmatanku, hatiku tak bisa mencintai apapun kecuali Kau, Satu." Di lain catatan ia melukiskan rasa cintanya ini dalam sebuah syair: "Oh Tuhan, malam telah berlalu dan fajarpun tiba. Betapa ingin aku mengetahui, apakah Kau telah menerima atau telah menolak doa-doaku. Karenanya hiburlah daku karena kata-kataMulah yang dapat menghibur keadaanku ini. Kau telah memberiku hidup dan menjagaku, dan kaka-kataMu itulah kejayaan itu. Jika Kau hendak mengusirku dari pintuMu, aku akan meninggalkannya, karena cinta yang kusimpan dalam hatiku terhadapMu."
Disamping penyair handal, Rabi’ah dikenal penuh dengan kekeramatan. Pernah suatu kali ia ingin memasak. Ternyata bawang yang akan dibuat bumbu tidak ada. Tiba-tiba saja jatuh sebutir bawang dari langit. Di lain waktu rumahnya pernah dimasuki pencuri. Saat si pencuri masuk ke rumah, ia sedang melaksanakan salat dan berdoa. Pencuri itu tidak mengambil barang-barang Rabi’ah. Tetapi yang dilakukannya hanyalah menunggu perempuan suci itu berdoa. Tetapi ketika selesai, Rabi’ah tahu dan mengajaknya berdoa. Setelah selesai berdoa, pencuri itu diperbolehkan pulang ke rumah.
Cerita aneh juga menimpa Rabi’ah ketika naik haji. Barang bawaannya diletakkan dipundak seekor keledai. Dalam perjalanan binatang itu mati. Rabiah kemudian berhenti dan menolak melanjutkan perjalanannya. Kemudian Rabi’ah berdoa: "Ya Allah engkau undang hamba ke RumahMu. Tetapi keledai hamba mati di tengah perjalanan, dan hamba seorang diri di tengah keganasan ini..." Sesaat kemudian setelah memanjatkan doa, keledai itu berdiri tegak. Rabi’ah naik ke atas punggung dan menyusul rombongannya.
Rabi’ah juga dikenal sebagai wali majdzub yang aneh. Satu saat ia pernah membawa obor keliling kota Basrah. Ketika ditanya, jawabanya mengagetkan. Rabi’ah akan membakar Ka’bah di Mekah. Kenapa? Karena semua orang hanya datang ke Mekah tanpa cinta kepada Allah. Pernah juga ia berkeliling Basrah dengan membawa ember berisi air. Ia beteriak lantang bahwa ia akan memadamkan api neraka jahanam yang menjadi ketakutan umat Islam. Umat Islam hanya takut kepada neraka bukan kepadaAllah.(***) Ainul Yaqien

Tidak ada komentar: