Jumat, 07 Desember 2007

Menghadang Aliran Sesat

Beberapa waktu yang lalu umat Islam Indonesia digemparkan dengan merebaknya faham-faham aliran sesat. Banyaknya aliran sesat itu dikarenakan kurangnya pemahaman tentang Islam secara utuh. Sehingga para penganut aliran sesat memahami Islam secara sempit. Mereka pun akhirnya hidup penuh dengan serba ketertutupan dari dunia luar dan mereka skeptis (ragu-ragu) dalam hal yang seharusnya mereka yakini.
Dalam hal ini para ulama cenderung kurang tanggap dalam memberikan solusi yang bijaksana. Suatu contoh, ketika ada aliran sesat cara melawannya dengan cara kekerasan. Padahal dakwah yang benar adalah dengan mau'idlatul hasanah (cara-cara yang baik) sebagaimana yang dicontohkan Baginda Rasulullah SAW.
Sepeninggal Baginda Nabi Muhammad SAW, kita kehilangan publik figur sebagai penata kepribadian dan penyelamat umat dari jurang kelaliman. Kita tidak bisa berpangku tangan saja, membelai jauh masa keemasan Islam dibawah pimpinan Baginda Rasulullah SAW. Kita harus bangkit meneruskan roda perjuangan sebagai bentuk manifestasi dari rasa kepedulian dan cinta kita kepada agama Islam tempat kita menggantungkan setiap harapan. Begitu banyak dalil-dalil 'aqli (akal) ataupun naqli (Al-Qur'an atau Hadits) yang memotivasi kita untuk menjadi pemain dalam bidang "Amar Ma'ruf Nahi Munkar".
Tapi mengapa kita diam seolah kita tidak tahu bahwa ajaran sang pengikis demoralisasi (kerusakan moral) semakin lama semakin menghilang, raib dari kepribadian insan, tergilas ajaran-ajaran tak beradab karya orang-orang biadab, fenomena ini sangat memilukan, keutuhan umat Islam mulai pecah, terlebih pada dewasa ini, begitu banyak ideologi atau ajaran-ajaran valium (golongan) tertentu yang tidak seirama dengan esensi ajaran murni Baginda Nabi, walaupun dengan segala upaya kebodohan yang melatarbelakangi ideologi atau ajaran-ajaran tersebut, mereka tutupi dengan berbagai macam argumentasi progresif.
Merebaknya faham desktruktif yang mewarnai aspek kehidupan dibelahan penjuru dunia ini merupakan bukti nyata akan kelengahan kita dalam mempertahankan ideologi warisan Baginda Nabi, wahabiyah misalnya, sekilas pandang mungkin kita terkesima dengan panorama yang ditampilkan mereka, tapi bila kita berupaya mengeksplorisasi dan menginspeksi keberadaan golongan ini secara intensif, kita akan menemukan satu titik kesimpulan bahwa mereka hanyalah orang-orang bodoh, pembual dan pendewa nafsu bahkan mereka tak pantas menyandang gelar pengikut Nabi atau Ahli Sunnah Waljama'ah (Aswaja) dan sebenarnya bukan hanya wahabiyyah saja yang mengkonsumsi ajaran - ajaran sesat.
Bukan hanya pengaruh duniawi saja yang mengantarkan kita pada kelalaian tapi lebih mengarah pada ketidakpedulian, ketidaksadaran dan kebodohan kita sendiri akan betapa pentingnya ideology atau faham-faham agamis dalam menapaki kehidupan ini karena dari ideology atau faham-faham tersebut kita akan mendapatkan gelar sejati dihadapan Ilahi Robby, apakah kita termasuk golongan yang faizin (beruntung) atau khosirin (celaka)? Padahal Allah SWT telah berfirman, "Dan hendaklah ada diantara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan dan menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar; mereka itulah orang-orang yang beruntung. (QS Ali Imron: 104).
Sehingga tidak salah bila Baginda Nabi Muhammad SAW sangat gigih dalam mempertahankan kalimat tauhid "Laa ilaaha illallah". Sudah saatnya kita bangun dari keterlenaan kita akan sajarah dan mimpi semu temporal yang hanya akan membelenggu jiwa dalam ketidakpastian (absurditas).
Rasanya tidak ada alasan bagi siapa saja diantara kita pengikut Baginda Nabi, untuk menutup mata dan tidak mau peduli dengan ideology yang kita yakini selama ini karena pada dasarnya, yakni golongan Ahlussunnah Wal Jama'ah. Istilah Aswaja populer di kalangan umat Islam, terutama didasarkan pada sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Abu Daud, At-Tirmidzi, dan Ibn Majah dari Abu Hurairah yang menegaskan bahwa umat Yahudi akan terpecah menjadi 71 golongan, umat Nashrani akan terpecah menjadi 72 golongan dan umat Islam akan terpecah menjadi 73 golongan. Semua golongan tersebut masuk ke dalam neraka, kecuali satu golongan, yaitu orang-orang yang mengikuti Rasulullah dan para sahabatnya.
Dalam pandangan As-Syihâb Al-Khafâjî dalam Nasâm ar-Riyâdh, bahwa satu golongan yang dimaksud (tidak masuk neraka) adalah golongan Ahl as-Sunnah wa al-Jamâ'ah. Pendapat ini dipertegas oleh Al-Hâsyiah Asy-Syanwâni, bahwa yang dimaksud dengan Ahl as-Sunnah wa al-Jamâ'ah adalah pengikut Imam kelompok Abûl Hasan Asy'ari dan para ulama madhab (Imam Hanafi, Imam Syafi'I, Imam Maliki dan Imam Hanbali).
Karena itulaah untuk memahami Al-Quran dan sunnah perlu dilakukan penggalian (al-istinbâth) yang mendalam dan sungguh-sungguh (ijtihâd). Sementara untuk melakukan proses istinbâth secara langsung kepada Al-Quran dan sunnah, diperlukan berbagai kualifikasi keilmuan yang mendalam. Atau dengan kata lain, untuk menjadi seorang mujtahid, diperlukan berbagai penguasaan ilmu yang tidak sedikit. Maka, di sinilah relevansi dan kontekstualitas seorang muslim dalam mengikuti metodologi (madzhab manhaji) maupun produk pemikiran (madzhab qauli, natâij al-Ijtihâd) yang telah dikembangkan oleh para ulama madzhab
Dengan demikian, istilah Aswaja dimaknai sebagai suatu konstruksi pemikiran (pemahaman) dan sekaligus praktek keagamaan (Islam) yang didasarkan pada tradisi (sunnah) Rasulullah SAW, para sahabatnya dan para ulama mazhab, sekalipun yang terakhir ini lebih bersifat sekunder. Dengan lain kata, yang dimaksud dengan Aswaja tidak selalu identik dengan suatu mainstream aliran pemahaman tertentu dalam tradisi pemikiran Islam.
Oleh karena itu, penyebutan beberapa aliran dalam tulisan ini, tidak secara otomatis menunjukkan paham-paham yang paling benar atau paling identik dengan Aswaja. Justru di sini perlu ditegaskan, bahwa yang terpenting dari pemikiran keagamaan Aswaja adalah konsistensinya dengan tradisi keagamaan yang dipraktekkan Rasulullah dan para sahabatnya. Sementara dalam konteks taqlid, di sini lebih bersifat instrumental. Artinya, signifikansi taqlid, baik dari sisi metodologis (madzhab manhaji) maupun produk pemikiran-keagamaannya (madzhab qauli, natâij al-Ijtihâd) lebih dimaksudkan untuk membantu dalam memahami Al-Quran dan sunnah, ketimbang diletakkan sebagai satu-satunya sumber.
Sebab kepedulian itulah akan wujud suatu perjuangan dan hanya orang bodohlah yang menetapkan bahwa perjuangan itu tidak bisa hasil kecuali dengan meriam atau pedang, padahal dengan cara-cara yang lemah lembut dan tentu saja tanpa kekerasan pun perjuangan untuk menegakan kalimat Tauhid bisa berhasil. Semoga Allah SWT senantiasa menuntun kita kejalan yang diajarkan nabi sehingga dapat memperoleh ridla dari-Nya. Amiiiiiin.

Tidak ada komentar: