Senin, 10 Desember 2007

Menelusuri Jalan Sufi



Oleh: Ainul Yaqien


Dari sekian banyak orang yang meragukan sufisme, berasumsi bahwa sufiyyah lebih pantas dikategorikan sebagai ahli bid'ah atau ahli fasik
Kurang lebih dua dekade belakangan ini, di negeri-negeri maju ada kecenderungan di antara sebagian warganya untuk mempelajari spiritualisme. Keberhasilan peradaban modern dalam memenuhi tuntutan kemakmuran hidup ternyata justru menciptakan kegelisahan sosial. Akibatnya, sebagian orang mencoba keluar dari kebuntuan itu dengan melirik spiritualisme, yang menawarkan ketenangan dan kedamaian.
Kebutuhan spiritualisme di negeri maju itu sebenarnya sudah berlangsung lama dibanding di negara-negara berkembang. Di Amerika Serikat, misalnya, kebutuhan spiritualisme sudah kuat terasa sejak tahun 1960-an. Hal itu bisa dilihat pada maraknya budaya hippies yang memberontak terhadap nilai-nilai yang dianggap mapan. Ini menandakan, mereka tengah berusaha mencari alternatif baru dalam spiritualisme.
Dikala manusia hanya memandang materi sebagai kebutuhannya dan makin maraknya faham sekuler pada akhirnya mereka ingin kembali mencerahkan hatinya dengan kembali pada jalur religi, sebagaimana yang sering kita jumpai akhir-akhir ini banyak sekali dari pelbagai kalangan yang merasa tertarik dengan ajaran sufistik kendatipun banyak juga yang menyangsikan ajaran itu.
Dari sekian banyak orang yang meragukan sufisme, berasumsi bahwa sufiyyah tidaklah pantas dikategorikan Ahli Sunnah Wal Jama'ah melainkan sebagai ahli bid'ah atau ahli fasik, karena mereka beranggapan sufiyyah dalam keilmuannya banyak sekali mengadopsi budaya hindu dan faham filsafat yunani, keterangan ini dikutip dari maqolahnya DR. Zakki Mubarok dalam kitab Akhlak Lil Ghozaly.
Imam Murtadlo Az Zabidi dalam kitab Ittihafus Sadah menjelaskan," Golongan-golongan yang kontra dengan ajaran sufiyah berasumsi bahwa diantara ajaran sufi dengan budaya hindu terdapat banyak kesamaan dalam sisi amaliyyah dan akhlaq semisal zuhud, meninggalkan kesenangan dunia, bahkan menilai tokoh-tokoh sufiyyah seperti Abu Yazid Al Bashthomi, Syekh Ma'ruf Al Karkhi, Syekh Abil Qosim Al Junaidi merupakan orang-orang yang bodoh dalam syari'at islam."
Asumsi ini sangatlah keliru, karena persepsi mereka hanyalah berdasarkan pada dhohir amaliyyah para sufi. Mereka tidak mengetahui bahwa hakikat sufiyyah ialah orang-orang yang ilmiyyah amaliyyah dan amaliyyah ilmiyyah.
Makna Tasawuf
Imam Sya'roni dalam pembukaan kitab Thobaqotussufiyyah menuturkan "Teman, ketahuilah bahwa ilmu tasawwuf merupakan istilah dari pengejawantahan sebuah ilmu yang terdapat dalam sanubari para saint (kekasih) Alloh ketika hati tersebut bersinar akibat pengaruh amal perbuatan yang relefan dan sesuai dengan Al-qur'an dan Al-Hadits. Sehingga bagi siapapun yang mengerjakan amal amal perbuatan dengan bertendensi pada keduanya maka akan terbias berbagai macam ilmu pengetahuan, norma-norma social, ilmu-ilmu yang bersifat supranatural dan hakikat yang tak dapat dilukiskan dengan kata-kata, sebagaimana hukum-hukum yang ditetapkan oleh ulama syara' dapat menmimbulkan pengaruh-pengaruh diatas manakala diaplikasikan sesuai dengan apa yang diketahui.
Definisi Tasawuf menurut persepsi Syaikh Abu Yazid Al Bushthomi sebagai berikut " Akhlaq merupakan permulaan tasawuf dan tasawuf merupakan tujuan akhir dari akhlaq".
Pada kesempatan lain Imam Sya'roni mengatakan "Tasawuf merupakan inti perbuatan dari seorang hamba yang berdasarkan hukum syari'at dengan konsekwensi selama terhindar dari penyakit hati dan kepentingan-kepentingan pribadi ( hudhudun nafsi ) yang kontradiktif dengan sifat ikhlas". Hal tersebut sebagaimana ilmu ma'ani dan ilmu bayan yang notabene merupakan saripati dari ilmu nahwu (Gramatika arab) Sehingga dibenarkan apabila seseorang menjadikan ilmu tasawuf sebagai salah satu disiplin ilmu atau dijadikan sebagai hakikat ilmu syar'ie, Dan dibenarkan pula apabila sese'orang menjadikan ilmu bayan dan ma'ani sebagai satu mata pelajaran yang berdiri sendiriatau digolongkan sebagai bagian dari ilmu nahwu. Hanya saja yang mengetahui bahwa ilmu tasawuf merupakan hakikat ilmu syar'ie hanya orang-orang yang yang mumpuni atau menguasai syari'at secara sempurna.
Imam Sya'roni mengatakan "Para sufi sepakat bahwa seseorang belum layak menjadi pimpinan thoriqoh kecuali ia telah menguasai ilmu syari'at serta bisa membedakan antara ma'na mantuk dan mafhum (tersurat dan tersirat), khos dan 'am (khusus dan umum) juga mengetahui nasikh dan mansukh. Disamping itu juga harus mahir dalam segala sesuatu yang berhubungan dengan seluk beluk bahasa Arab' sehingga tahu antara majaz, tasybih, kinayah dan sebagainya". Kesimpulannya setiap sufi pastilah Faqih (seseorang yang ahli dalam bidang ilmu Fiqih) tapi tidak sebaliknya, sebab tasawuf tidak syah tanpa dibarengi dengan fiqh, hal ini sesuai dengan maqolahnyaa sebagian ulamu " Barangsiapa yang berfiqih (mengamalkan ajaran syaru'at) tanpa tasawuf maka dia adalah kosong, dan barangsiapa yang bertasawuf tanpa fiqih maka ia adalah yang bathil.
Imam Abu Qosim Al Junaidi Al-Baghdadi memberikan pernyataan sebagai penguat argumen diatas "Madzhab kami (sufisme) berpedoman pada Al-kitab dan Sunnah (tidak menyimpang dari keduanya).
Dalam kesempatan lain beliau menuturkan "Barangsiapa tidak memahami hukum yang terkandung dalam Al-Qur'an dan Al-Hadits maka tidak bisa dijadikan panutan dalam menempuh jalan sufi. Sebab ilmu tasawuf bersumber dari keduanya.
Imam Sya'roni memberikan penjelasan yang beliau nuqil dari syekh Izzuddin Bin Abdissalam, " Karomah ( khoriqul 'addah) merupakan salah satu bukti kongkrit bahwasannya para sufi menjalankan prinsip dasar agama secara optimal yang mana hal ini tidak terjadi pada fuqoha', kecuali jika mau menempuh jalan yang telah dilalui oleh para sufi. Statement ini beliau (syekh Izzuddin Bin Abdissalam) nyatakan setelah beliau berguru pada syekh Abu Hasan As Syadzily.
Sebelum menjadi santri Syekh Abu Hasan As Syadzily beliau mengingkari jalan yang ditempuh oleh para sufi sembari berkata : "Apakah wushul kepada Allah bisa ditempuh dengan selain Al-Qur'an dan Sunnah? Namun setelah beliau merasakan apa yang telah dialami oleh para sufi dan beliau mampu mematahkan rantai yang terbuat dari besi dengan menggunakan secarik kertas, yang hal ini merupakan salah satu keramat yang di anugrahkan Allah, barulah beliau taslim dan memuji para sufi setinggi langit.
Semua uraian di atas merupakan hakikat tasawuf dan perjalanan hidup (biografi) para shodiqin dari kaum sufi.
Untuk membahas orang-orang yang mengklaim dirinya sebagai seorang sufi yang hanya menampakkan atribut-atribut kesufiannya dan sebagainya, karena sebenarnya mereka hanya mengaku-ngaku saja dan tidak memenuhi syarat untuk menempuh jalan sufiyah.
Telah diketahui bahwasannya bila suatu perkara tidak memenuhi syarat maka tidak di anggap syah perbuatan tersebut, semisal sholat yang tidak bisa dihukumi syah apabila si pelaku tidak memiliki wudlu, Sehingga merupakan kesalahan besar apabila para sufi disamaratakan dengan para pendusta yang mengklaim dirinya sebagai ahli sufi. Hal ini sama artinya menghukumi sesuatu dengan yang lain seperti halnya orang yang melihat gambar yang terpampang di di dinding kemudian berkata : "Ini kuda (sambil menunjuk pada gambar tersebut), setiap kuda dapat meringkik, maka kesimpulannya gambar kuda yang terpampang di dinding bisa meringkik juga". Analog semacam ini dalam istilah Ilmu mantiq (ilmu logika) disebut Sabsathoh yaitu Qiyas yang terbentuk dari beberapa Qodliyah yang kadzib, yang biasanya digunakan oleh orang-orang yang mengingingkari terhadap para sufi untuk mengelabuhi orang yang tidak tahu ilmu logika.
Bahkan merupakan kekeliruan bila sufiyah diatasnamakan bagi orang-orang yang mengklaim dirinya sebagai sufi, karena memfonis sesuatu yang bersifat kully (Global) dengan hukum ba'di (Sebagian) hal ini laksana seorang yang melihat buaya sedang menggerakkan rahang bagian atasnya, kemudian ia berinisiatif bahwa hal tersebut merupakan karakter seekor binatang, maka kemudian iapun menyimpulkan bahwa setiap binatang itu pasti menggerakkan rahang atas ketika sedang melahap mengsanya.
Kesimpulan tersebut bagi orang yang sedikit bernalar tentu akan menyalahkan analogi semcam ini. Analogi di atas juga bisa di aplikasikan pada suatu kejadian disaat seseorang melihat orang gila lalu berkata " ini orang gila, sedang ia manusia", kemudian ia menyimpulkan, "setiap manusia itu gila", maka tidak diragukan lagi ia sendiri yang gila.
Ulasan diatas rasanya cukup dijadikan sebagai jawaban dan bukti bagi orang-orang yang mendapatkan taufiq dari Allah SWT, Lain halnya bagi orang yang keras kepala dan tidak mendapatkan hidayah dari Allah SWT, mareka tidaklah mau menerima dalil, hujjah ataupun bukti-bukti kongkrit, bahkan semua itu mereka anggap sebagai pemanis bibir dan penghias kata untuk mengelabui masyarakat awwam.(***)

Tidak ada komentar: