Jumat, 14 Desember 2007

Mencari Otentisitas Masa Depan Bangsa





Oleh : Ainul Yaqien

Otentisitas berasal dari bahasa bahasa barat. Dalam bahasa dalam bahasa inggris ditulis authenticity, dalam bahasa prancis authenticite, kemudian di Indonesiakan menjadi otentisitas, yang berarti keaslian, ketulenan, dan kesjatian.
Bangsa kita sekarang sedang mengalami kegalauan sistem nilai. Mampukah kita menemukan kembali keaslian nilai-nilai kebangsaan dalam suasana yang serba tidak menentu sepeerti sekarang ini? Untuk menjawab pertanyaan ini kita harus melacak kembali arah gerakan bangsa kita yang kelihatannya meluncur tanpa peta masa depan, akibat dosa kolektif yang kita lakukan selama puluhan tahun.
Dilihat dari sudut sistem nilai kita dapat mengatakan bahwa krisis yang kita derita sekarang dapat dicari akarnya pada dosa dan dusta yang sudah terlalu banyak dikerjakan, dan tak jarang dosa kolektif itu dilakukan secara berjamaah oleh aparatur negara. Semua itu dilakukan atas nama konstitusi, kepentingan rakyat, dan bangsa, serta atas nama agama atau atas nama kebenaran. Maka akibatnya bercampurlah antara kepalsuan dan kesejatian, antara jasa dan dusta, antara haq dan bathil,Suatu keadaan yang memang sangat dikutuk oleh semua Kitab suci.
Al-Qur'an dengan tegas menyatakan, "Dan janganlaah kamu mencampur adukan antara yang haq dengan yang bathil, dan kamu sembunyikan yang haq itu, sementara kamu mengetahuinya".(QS Al-Baqarah 42)
Di negeri ini telah banyak berdiri lembaga yang mengatas namakan gerakan Amar ma'ruf nahi munkar, tetapi jangkauannya baru menyentuh daerah-daerah pinggir kehidupan bangsa, sementara pusat-pusat kemunkaran (Al-Munkarat) terus saja bergerak membawa kita ke jurang kebangkrutan dan kerusakan.
Visi dan persepsi yang dikembangkan selama ini masih terbatas, dibatasi oleh ketidak berdayaan hingga belum mampu membaca realitas bangsa secara lebih utuh dalam kerja menguji dan menggumuli kebenaran dalaam melawan realitas hidup yang serba keras, korupsi, kolusi daan nepotisme. Atau meminjam istilah M Amien Abdillah, tentang adanya pertaraungan yang terus menerus antara normativitas dengan historisitas dalam wilayah kemanusiaan. Nilai-nilai normatif jauh dilangit, sementara realitas historis berada dalam suasana ketidak adilan, kekacauan, daan kegalauan. Indonesia kini memang sedang berada di ambang senja menjeeelang malam bahkan mungkin sudah menginjak malam.
Dalam sejarah tidak ada jaminan dari Tuhan, bahwa suatu negeri yang dihuni mayoritas Muslim akan bertahan dalam keadaan kuat, aman, dan damai untuk selama-lamanya, jika penduduknya telah terbiasa berkubang dalaam lumur dosa dan dusta, serta tidak memperjuangkan tegaknya keadilan dan kewajaran. Padahal salah satu filosofi negara Indonesia berbunyi "Kemanusiaan yang adil dan beradab", namun kenyataannya menunjukkan, "Kemanusiaan yang zalim dan biadab".
Kita telah kehilangan kepekaan terhadap nasib sesama. Indonesia kini ibarat kapal bocor yang sedang oleng, terapun-apung dilaut lepas menunggu karam, semetara nahkodanya seperti tidaak punya kompas.Dengan demikian betapa sesungguhnya sebagian kita telah mengalami kelumpuhan hati nurani dan kemandulan logika untuk menyelamatkan masa depan Indonesia.
Bila nurani dan logika sudah tidak lagi berfungsi dengan baik, maka adakah harapan bahwa kita akan berhasil menganyam masa depan yang lebih baik, lebih cerah, dan lebih otentik?? Ini semua disebabkan oleh egoisme politik dan sikap serakah terhadap kekuasaan serta benda (materi). Akibatnya nurani menjadi lumpuh dan logika menjadi mandul.
Sepanjang zaman dan semua unit peradaban, kekuasaan tanpa landasan moral yang kuat, pasti menyebabkan orang lupa daratan. Fenomena mabuk kekuasaan ini dapat dikatakan sebagai kecenderungan umum dalam perjalanan sejarah umat manusia, tidak peduli mereka mengaku punya agama atau tidak. Dalam perspektif agama kejatuhan suatu bangsa atau suatu umat karena mereka menggunakan kemauan dan pilihan bebasnya secara salah dan tidak bertanggung jawab.
Apakah kita dengan begitu telah kehilangan harapan dan bahkan putus asa? Sebagai umat beriman, kita dilarang putus asa. Kita tidak boleh memandang Indonesia yang akan datang melalui lensa gelap. Kita haarus membangun optimisme di tengah-tengah bayangan pesimisme yang semakin luas. Oleh sebab itu, dalam posisi kita masing-masing dan daalam batas-batas kemampuan kita, kita wajib menolong bangsa ini agar dapat keluar dari himpitan beban yang teramat beraat. Kita tidak boleh larii dari tanggung jawab, sekalipun pangung sejarah Indonesia selama sekian dasa warsa banyak ditempati dan dimanfaatkan oleh oportunis-oportunis ekonomi kaum kapitalis-feodalis para politisi yang haus akan kekuasaan. Aakubat dusta dan dosa mereka, seluruh rakyat harus menangggung beban resiko yang teramat berat.
Haarapannya dengan pengakuan yang tulus dari segenap komponen masyarakat akan mengeluarkan bangsa ini dari krisis yang sangat melelahkan. Setelah pengakuan itu, kita tingkatkan komitmen bersama untuk merealisasikan nilai-nilainya ke dalam format yang konkret. Berdssaarkan penafsiran kita yang otentik terhadap kesatuan nilai-nilai dasar kebangsaan.
Dengan cara ini diharapkan bahwa persaudaraan kita sebagai sebagai bangsa yang pluralistik ini dapat direkatkan dan dianyam kembali dalam budaya tengang rasa dan lapang dada. Hilangkan kebiasaan mau menang sendiri sebagai golongan mayoritas, tetapi juga jangan tampil sebagai tirani minoritas bila terbuka peluang untuk itu. (***)

Tidak ada komentar: