Rabu, 12 Desember 2007

Imam Ghozali dan Ihya Ulumiddin


Kitab Ihya Ulumiddin karya Imam Ghazali sarat dengan ilmu dan mutiara hikmah. Karya monumental yang dimaksudkan untuk "menghidupkan ilmu-ilmu agama."
Di Masjid Sunda Kelapa, di kawasan Menteng, Jakarta Pusat, ada pengajian mingguan yang digelar secara rutin, diasuh oleh Prof. Dr. H. Nasaruddin Umar, salah seorang pakar tasawuf. Ini memang pengajian yang lain dari pengajian biasa. Tak hanya di Masjid sunda kelapa, melainkan di banyak pesantren salaf di Indonesia Kitab tersebut menjadi materi yang wajib untuk di kaji oleh para santri senior. Mengapa? Karena kitab Ihya Ulumiddin karya Imam Ghazali yang dikenal sebagai kitab "berat."
Kitab yang terdiri dari 16 jilid tebal (3.085 halaman), dan tergolong sebagai "kitab kuning" ini boleh dikata sebagai "samudra ilmu." Segala persoalan kehidupan beragama dijelaskan secara rinci oleh pengarangnya, ulama besar yang juga mendapat julukan sangat terhormat, Hujjah Al-Islam – orang yang mampu menjawab persoalan keislaman dengan argumentasi yang kuat dan tepercaya. Mulai dari fikih (hukum dan aturan-aturan dalam peribadatan), akhlak (perilaku yang utama), aturan muamalah (kegiatan non-ibadah), sampai dengan tata cara berdoa, zikir, wirid, dan kehidupan spiritual lainnya, dikaji dan dibahas secara mendalam dan rinci.
Karya master piece ini sudah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa, termasuk dalam bahasa Indonesia. Karena dianggap terlalu tebal dan berat, Imam Ghazali kemudian meringkasnya menjadi satu jilid berjudul Minhaj Al-Abidin. Sesuai dengan namanya, Ihya Ulumiddin, ditulis Imam Ghazali dengan tujuan untuk menghidupkan kembali ilmu-ilmu agama.
Konon. karya besar ini ditulis setelah proses pengembaraan spiritual yang dimulai dari Naisyabur, Persia (kini Iran), dalam sebuah perenungan yang khidmat dan panjang, sebagai puncak karya intelektual dan spiritual, ketika Imam Ghazali berusia 50 tahun. Ia bukan hanya ulama besar tapi juga intelektual yang menguasaui banyak disiplin ilmu: ilmu fikih, filsafat, teologi, mantik (logika), retorika, sastra, dan sebagainya. Namun, kepakaran itu rupanya tidak cukup membuat hatinya tenteram. Mulalah ia menyepi, merenung, dan belakangan jadilah ia sebagai ulama yang sangat sufistik.
Menurut Ensiklopedia Islam terbitan Van Hoeve, Ihya Ulumiddin telah memberikan corak dan karakter Islam, sehingga sering disebut sebagai salah satu sumber ilmu tasawuf dan akhlak. Kitab ini memuat beberapa pembahasan mengenai ibadah dan muamalah. Uraian fikihnya berorientasi kepada mazhab Syafi’i sementara paham teologinya, Asy’ariyah. Kitab ini membagi ilmu menjadi dua, ilmu lahir dan ilmu batin.
Fardu Kifayah
Ilmu lahir mencakup ibadah dan muamalah, sementara ilmu batin mencakup ilmu untuk membersihkan hati dari sifat-sifat tercela, menghiasainya dengan sifat-sifat terpuji.
Imam Ghazali juga membagi ilmu dalam dua kategori yang lain, yaitu ilmu yang harus dipelajari sebagai fardu ain (kewajiban individual) dan ilmu dipelajari sebagai fardu kifayah (kewajiban komunal). Menurut Ghazali, ilmu yang wajib diburu ialah ilmu untuk melaksanakan kewajiban syariat yang harus diketahui secara pasti. Misalnya ilmu tentang zakat bagi seorang peternak atau pengetahuan tentang riba bagi seorang pedagang.
Kategori lainnya ialah ilmu agama (sebagai ilmu yang mahmud atau terpuji) dan ilmu non-agama (sebagai ilmu yang mazmumah atau tercela). Yang dimaksud dengan ilmu agama itu, antara lain, pertama, ilmu-ilmu ushul (pokok) yang mencakup ilmu tentang Al-Quran, hadis, dan tradisi sahabat Nabi SAW. Ilmu agama jenis kedua, ialah ilmu furuk (cabang) yang mencakup ilmu fikih, etika, dan tasawuf. Ilmu agama jenis ketiga, ialah ilmu pengantar atau ilmu alat seperti nahu dan saraf; sementara ilmu agama yang keempat, ialah ilmu pelengkap seperti ushul fiqh dan ilmu tentang hadis.
Dalam pembahasannya, Imam Ghazali membagi Ihya Ulumiddin menjadi empat bagian. Pertama, menguraikan tentang ibadah; terdiri atas 10 bahasan, yaitu ilmu tentang ibadah, kaidah tentang akidah (keyakinan), rahasia bersuci, rahasia salat, rahasia puasa, rahasia zakat, rahasia haji, keutamaan membaca Al-Quran, zikir, doa dan urutan dalam wirid. Kedua, menguraikan tentang muamalah, yang juga terdiri atas 10 bahasan, meliputi etika makan, etika nikah, etika bepergian, etika berteman, etika bekerja, etika pertemuan, etika mendengarkan dan bersenang-senang, etika amar makruf nahi munkar, tentang moral (soal halal-haram), tentang uzlah yakni menjauhkan diri dari dunia ramai untuk bermunajat kepada Allah SWT, dan tentang akhlak kenabian.
Pembahasan ketiga, menguraikan hal-hal yang dapat merusak kehidupan manusia dan hal-hal yang menyelamatkan manusia di dunia dan akhirat. Di sini diuraikan keajaiban hati, riadat (olah jiwa), bahaya nafsu perut dan kemaluan, bahaya lisan, bahaya amarah, bahaya dengki dan hasut, tercelanya urusan dunia, tercelanya harta kekayaan dan sifat bakhil, tercelanya kedudukan dan pamer, tentang sifat sombong, tentang takabur, dan tentang penipuan. Adapun yang dapat menyelamatkan manusia di dunia dan akhirat: taubat, mahabah (cinta kasih), sabar dan tawakal, bersyukur, takut dan berharap kepada Allah SWT, fakir dan zuhud, tauhid dan tawakal, kerinduan dan rida, berbuat benar dan ikhlas, murakabah (merasa diri diawasi Allah) dan muhasabah (mawas diri), tentang berpikir dan upaya mengingat mati.
Pada dasarnya, Ihya Ulumiddin dimaksudkan agar para pembacanya dapat menunaikan ibadah secara mantap, bukan hanya formalitas, mampu menangkap rahasia-rahasia ibadah. Ibadah bukan sekadar memenuhi kewajiban, melainkan untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT. Keberhasilan dalam menangkap rahasia ibadah sangat penting, sebab dari sinilah maqam makrifat (tingkat tertinggi) dalam tasawuf diperoleh.
Nilai Terbaik
Adapun dalam hal muamalah, Imam Ghazali memperingatkan agar memperhatikan akhlak yang tercela, yang harus dibersihkan dari jiwa dan hati, serta mencari penyebab dari bahaya yang ditimbulkannya. Imam Ghazali juga menunjukkan upaya mengatasi perbuatan tercela dengan bersandar pada beberapa dalil ayat Al-Quran dan sunah. Dibahas pula hal-hal yang dapat menyelamatkan manusia, yang pada dasarnya merupakan etika dalam berhubungan dengan Allah SWT. Imam Ghazali juga mengemukakan hakikat dan batasannya, faedah pemenuhan etika tersebut, tanda-tanda yang dapat diketahui serta keutamaan-keutamaannya, dengan pertimbangan agama dan akal.
Ada sisi lain yang sangat menarik yang dipersepsikan, atau bahkan terjadi, di sekitar Ihya Ulumiddin. Suatu hari, Abu Hasan Ali bin Harzaham – seorang ulama asal Maroko – mengkritik kitab yang di kemudian hari mendunia itu di hadapan sejumlah kerabatnya. Seketika itu juga, konon Allah menyingkapkan sebuah hizib (tabir) di antara mereka yang hadir. Dan, atas izin Allah, mereka menyaksikan Ibnu Harzaham dicambuk bertubi-tubi oleh beberapa lelaki tak dikenal.
Riwayat lain mengungkapkan, suatu hari Ibnu Harzaham melarang orang membaca Ihya Ulumiddin. Konon, Imam Ghazali mendatanginya dalam mimpi lalu membawanya ke hadapan Rasulullah SAW. "Ya Rasulullah, inilah orang yang tidak percaya pada apa yang saya tulis berdasarkan ajaran Rasulullah. Katanya, ini bukan dari Rasulullah," ujar Imam Ghazali. Mendengar itu, Rasulullah pun memerintahkan agar Ibnu Harazim didera.
Dalam versi lain, diceritakan Ibnu Harzaham mencoba membakar kitab tersebut. Pada malam harinya, ia mimpi seolah-olah masuk ke dalam masjid dan bertemu dengan Imam Ghazali yang duduk di samping Rasulullah SAW, Abu Bakar Ash-Shiddiq, Umar bin Khaththab. Ia melihat Nabi membenarkan kandungan kitab Ihya Ulumiddin dan menilainya dengan penilaian terbaik. Terbangun dari mimpi, Ibnu Harzaham segera bertaubat kepada Allah. Dan setelah itu, ia terus-menerus mempelajarinya, sampai Allah SWT membukakan hatinya sampai ke maqam makrifat. Sejak itu, ia dikenal sebagai pakar ilmu lahir dan batin sebagaimana terkandung dalam karya besar Imam Ghazali.
Di zamannya, bahkan sampai kini pun, Ihya Ulumiddin merupakan sebuah kitab yang sangat fenomenal. Para ulama meyakini, dengan mendalami dan mengamalkan kandungannya akan memperoleh rida dan cinta kasih dari Allah SWT. Dengan mendalami dan mengamalkan karya besar ini, orang akan lebih memahami segala sesuatu mengenai ajaran Islam yang hakiki, meliputi syari’ah (syariat, agama), thariqah (tarekat, jalan menuju pendekatan kepada Allah), haqiqah (hakikat kebenaran) dalam kehidupan di dunia dan akhirat. Bisa dimaklumi jika pada kemudian hari, mahakarya ini diterjemahkan ke berbagai bahasa.
Tapi, tak sembarang santri "diizinkan" mempelajarinya – meskipun kitab ini serta merta menjadi bacaan wajib di pesantren-pesantren. Meskipun ada anggapan, seorang santri belum lengkap sebagai santri bila belum mempelajari Ihya Ulumiddin, tak sembarang santri "diizinkan" mempelajarinya. Mengingat kandungannya yang "berat," kitab ini diajarkan para kiai dalam kelas khusus, sementara pesertanya pun hanyalah para santri senior.(***)Ainul Yaqien

Tidak ada komentar: