Rabu, 12 Desember 2007

FILOSOFI TENTANG CINTA




Jika seorang gadis mengatakan pada orang tuanya bahwa ia akan menikah atau sudah memiliki pasangan, sang orang tua biasanya akan bertanya, "Dia bekerja dimana atau pekerjaannya apa?" Atau mungkin pertanyaan lain yang masih sejenis. Bila diterjemahkan. Cinta boleh-boleh saja, tapi cinta tidak cukup hanya dengan cinta, dalam cinta harus ada kejelasan mengenai nasib dan masa depan. Ada proses meterialisasi cinta, dan proses kalkukasi hati. Bukan karena si orang tua hendak mencari keuntungan seperti halnya pedagang, tapi hanya ingin melindungi sang anak.
Semua orang tua tentu ingin masa depan anaknya bahagia, jika perlu dipakai rumus : masa kecil bahagia, remaja dimanja, dewasa kaya raya, tua sejahtera, dan mati masuk surga. Ideal memang, Namun persoalannya, apakah arti kebahagiaan dan siapakah yang dapat merasakan kebahagiaan? Juga apa tolak ukur bahagia? Semua absurd. Dan karena jawaban dari pertanyaan-pertanyaan itu sifatnya pribadi, tak terukur, maka orangtua cenderung mengambil jalan pintas, Ukuran minimal kebahagiaan adalah jaminan hidup mapan, jaminan materi.
Persoalannya adalah dapatkah cinta dilihat dari sudut logika? Karena sesungguhnya logika cinta adalah tidak mengenal apa-apa. Cinta hanya mengenal cinta. Jika cinta dilogikakan dengan angka, itu adalah cintanya kaum pedagang. Dan logika pedagang adalah yang penting untung. Tetapi mana mungkin cinta dilihat dari sudut untung rugi??
Jika cinta dipaksa untuk melihat untung rugi, maka betapa banyak kerugian yang diderita oleh kaum pecinta, karena derai airmata, kantuk yang tertunda, jiwa yang nelangsa, badan yang tersiksa, demam karna asmara, ribuan kata-kata yang beterbangan di udara lalu berubah menjadi hembusan angin yang mendatangkan angan-angan, semua itu tak ternilai harganya. Dan oleh kaum pecinta, semua itu tidak dianggap sebagai pengorbanan. Karena bagi mereka dalam cinta tidak ada pengorbanan. Jika seorang pecinta masih menghitung pengorbanan, akan mengubah dirinya menjadi martir. Martir cinta, judul yang cocok untuk lagu-lagu cengeng.
Lantas dimanakah ukuran cinta sejati itu? Bisa di hati, bisa di langit atau nirwana, atau mungkin di tanah pekuburan.
Jika demikian, apa atau siapa makhluk yang bernama cinta itu? Hanya Majnun dan Layla, Romeo dan Juliet, Stevan dan Magdalena yang mampu menjawab. Tetapi toh mereka tidak akan mampu menjawab dengan kata-kata, karena seluruh alat tulis yang ada di dunia, tidak akan cukup menjelaskan makna cinta. Mereka hanya bisa merasakan kehadiran cinta, meminum manisnya anggur cinta, namun mereka tidak sanggup berbicara apa-apa tentang cinta.
Bagi mereka, harta, tahta dan seluruh isi dunia tidak ada nilainya. Semua itu tak sebanding dengan cinta yang bersemi di hati mereka, yang akarnya menancap di hati dan pikiran, lalu menumbuhkan kesadaran, semangat dan daya juang.
Sudah banyak kisah-kisah di dunia ini yang menjelaskan ketidak jelasan cinta. Sudah beribu-ribu bangsa menahan detak nafasnya untuk menunggu kehadiran cinta. Namun sayang tidak dari semua manusia di dunia ini yang memiliki cinta. Cinta telah tercerabut dari rejim otoriter, kaum kapitalis-feodalis, dan kebanyakan politisi. Dihati mereka tidak ada cinta, hingga gemar menumpahkan darah,"Memakan bangkai"manusia, menghisap tenaga manusia dengan upah rendah, mempolitisir dan mengeksploitir jiwa-jiwa manusia hanya demi ambisi, kekuasaan dan status.
Padahal cinta memusuhi ambisi, melawan kekuasaan, dan tidak peduli dengan status. Cinta adalah semangat keabadian yang tumbuh dan terus bertahan dari generasi ke generasi, dari masa lampau, kini dan mendatang. Cinta adalah bentangan sejarah yang terus dikenang dan dipikirkan serta dikisahkan.
By : Ainul Yaqien (UZ-CH)

Tidak ada komentar: