Jumat, 14 Desember 2007

Brutus



Alangkah cepatnya peredaran waktu dan alangkah aneh tindak-tanduk dan peristiwanya. Apakah dalam sehari semalam saja semua harapan yang telah aku bina dengan baik, dengan mencurahkan segala penderitaan dan kepedihan, mencucurkan seluruh airmata yang aku miliki, berubah begitu cepat? Semua itu menjadi kisah usang yang dibungkus dengan cerita baru.
Beginikah rasanya hari kiamat! Beginikah rupanya dunia yang menjadi hancur lebur! Beginikah rasanya bintang-bintang yang rasanya berjatuhan di angkasa, langit terkatup seperti tertutupnya sebuah buku.
Dulu aku sempat berpikir tak ada yang dapat menghancurkan harapanku kecuali maut, Tetapi sekarang aku sendiri yang menghancurkan, daan memintal benang-benangnya dengan tanganku sendiri ketika aku masih hidup. Itulah keajaiban jaman yang tak pernah dilihat seorang pengamat, dan tak pernah di dengar oleh seorang pendengar.
Apa salahku dan apa dosaku ya Allah???? Aku telah mencintainya dengan cinta yang belum pernah dianugerahkan seorang manusiapun di muka bumi ini pada kekasihnya. Aku berjanji akan setia padanya dengan kesetiaan yang tidak dimiliki oleh seorang saudara pada saudaranya, dan seorang ayah pada anaknya. Aku menjunjungnya bagai seorang pemuja menjunjung dewanya Aku telah memenuhi seluruh kehampaan hidupku dengan membayangkan kebahagiaan bersamanya.
Aku tak melayangkan pandanganku kecuali untuk melihat wajahnya. Aku tak memiliki perasaan kecuali untuk mencintainya. Aku tak pernah bermimpi kecuali memimpikan bayangannya. Aku tak suka melihat matahari di waktu terbitnya kecuali, melainkan karena aku melihat bayangan dirinya dalam sinarnya. Aku tak sudi mendengar nyanyian burung pada dahan, kecuali karena aku mendengar suaranya. Aku tidak ingin memandang bunga-bunga yang sedang mekar dalam kelopak-kelopaknya, melainkan karena bunga-bunga itu menyerupai warna kecantikannya. Aku tak mengharapkan kebahagiaan dalam kehidupan ini melainkan untuk kebahagiaannya. Dan aku tidak ingin hidup di dunia ini melainkan untuk berada disampingnya, dan gembira karena melihat kegembiraannya.
Wahai mutiara pujaan hatiku, Jika engkau berpendapat aku tak layak mendapatkan cintamu, karena aku terlalu hina dan naif untuk memenuhi kehampaan hatimu, cintailah aku karena telah mencintaimu dengan tulus. Balaslah apa yang telah kuberikan kepadamu dari hidupku, air mata dan kepedihan, kesusahan dan derita, dengan kebaikanmu. Ketahuilah, engkau dapat menemui seorang lelaki yang akan membanjirimu dengan harta, atau membuatmu terpesona karena parasnya yang tampan, keturunan dan pengaruhnya, tapi engkau tak akan dapat menemukan seorangpun dari mereka itu yang mencintaimu, seperti cintaku yang tulus kepadamu. Mereka tidak memiliki kesetiaan yang setara dengan kesetiaanku padamu.
Duhai pujaan hatikuu, janganlah engkau percaya, bahwa di dunia ini ada kebahagiaan selain kebahagiaan cinta. Jika engkau percaya hal itu, celakalah engkau karena telah menghukum mati dirimu.
Dulu aku menganggapmu orang terakhir yang yang tak mengindahkan hal-hal lahiriah dan kosong. Hal yang membuatmu sangat agung di mataku dan membuatku sangat menghormatimu, bahkan membuatku bersedia mengabdi kepadamu, karena engkaulah satu-satunya wanita yang kutemui, yang memiliki hati suci, jernih, penuh dengan cinta yang putih dan tulus. Tak dikotori oleh kotoran angan-angan dan hawa nafsu yang rendah. Tak dikeruhkan oleh kebutuhan-kebutuhan hidup dan keserakahannya. Apakah ketika itu aku salah menduga???
Tidak,tidak! Engkau masih memiliki hati yang ku kenal hingga saat ini. Dan inilah yang membuatku khawatir dan menyesali keadaanmu.
Aku bertanya pada hatiku, apakah suaraku ini akan menembus ke lubuk hatimu? Apakah engkau bisa membayangkan bahwa aku mencintaimu lebih besar dari rasa cinta untuk diriku sendiri. Ungkapan perasaan yang aku katakan padamu dahulu karena semata-mata untuk memberi kesenangan daan kebahagiaan kepadamu, lebih besar dari keinginanku untuk memberi kebahagiaan dan kesenangan pada diriku sendiri.
Dulu aku mempunyai harapan dan cita-cita yang luhur dan mulia. Jiwaku penuh dengan sesuatu yang luhur dan mulia,. Jiwaku penuh dengan sesuatu yang agung dan tinggi. Dulu kurasakan ada kekuatan di tubuhku yang tak ada bandingannya di alam ini. Sekarang aku menjadi orang yang lemah, lesu, sakit, putus asa,hilang akal, tak berperasaan, tak berpikir, tak mengambil dan tak memberi, tidak bertujuan dan tidak punya hasrat. Aku tak dapat membawa kebaikan untuk diriku dan tak menolak kemalanganku. Keadaanku kini tak berbeda dengan keadaan tubuh yang tak bernyawa tercampak di tanah, atau seperti batu yang terbuang di tengah jalan.
Aku sering merana, dan aku kira tak seorangpun di dunia ini yang dapat memikul kepedihan seperti yang sedang aku alami, karena bunga hidupku telah layu sebelum bersemi. Masa tua seolah teleh datang, padahal aku masih muda belia. Semangat yang berkobar di hati, kecerdasan yang bersemayam di otak, dan kekuatan yang ada di tubuhku, semuanya telah hilang musnah.
Aku memanggilmu ratusan kali dalam sehari, Menjerit-jerit meminta tolong, menangis terisak-isak tanpa henti. Jika engkau pernah sekali saja dalam hidupmu melewati perempuan yang sedang bersimpuh di depan pusara suaminya, meratap dan menangis pilu, karena ia sangat mencintainya, dan suaminya telah meninggal dalam usia muda belia, miskin, dan meninggalkan anak-anak yang masih kecil, tak berdaya dan tak punya kekuatan dalam hidup, tentu engkau akan sedih karena kesedihannya dan akan menangis dengan tangisannya.
Bila engkau melihat dalam pengembaraanmu, seorang gadis yang sedang hilir-mudik, menangis tersedu-sedu dan mengemis pada orang-orang yang melewatinya untuk memberikan uang seribu rupiah, yang dibutuhkan untuk mengobati adiknya yang sedang sakit dan tak punya seorang penopang hidup dan perawat selain dirinya, tentu engkau akan mengasihani dan memberi apa yang dimintanya.
Bila engkau melewati tepi sebuah sungai dan melihat seorang perempuan sedang berdiri menangis dan menjerit-jerit, meminta pertolongan untuk anak satu-satunya yang tenggelam di sungai, didepan matanya, tetapi tak ada seorangpun yang menolongnya, hingga anak itupun terbenam kedasar sungai dan tak muncul lagi, lalu ia menjadi gila dan terjun ke sungai mengikuti sang anak, dan iapun terbenam di sungai itu bersama anaknya, tentu engkau akan merasakan pedihnya musibah itu dan menangisi.
Bila engkau telah mendengar kisah orang tua miskin yang rumahnya di datangi polisi. waktu ia sedang berlutut disamping isterinya yang sedang sekarat, serta anak perempuannya yang sedang sakit. Lalu lelaki tua itu di seret ke penjara karena telah mencuri sepotong roti, agar dapat menyambung jiwa kedua anggota keluarganya itu. Meskipun ia telah memohon kepada polisi itu agar memberi waktu, untuk menunggu kematian isterinya, namun polisi itu menolak dengan keras, hingga ia merasakan kepedihan, dan akhirnya menjadi gila. Namun polisi itu menyertnya juga, walau bukan ke penjara, tapi ke rumah sakit jiwa.
Bila engkau telah mendengar kisah seorang lelaki yang tersesat di padang pasir tandus dan ia merasa kehausan serta berlarian kian kemari mencari air, tapi tidak menemukan sumber air, hingga letih dan tak dapat berjalan lagi. Kemudian dari kejauhan ia melihat permukaan air yang berombak. Lalu ia merangkak kesana dengan kedua lututnya, mewarnai kerikil dengan darahnya yang bercucuran, hingga ia mendekati sumber air itu. Tetapi ketika mendekati air itu dengan jarak hanya selangkah, ia telah terhempas dan mati.
Bila engkau membaca kisah seorang wanita yang kelaparan, duduk di depan gubuknya dengan gumpalan daging merah yang teraduk dalam bejana di pangkuannya yang berkepulan uapnya. Namunn ketika orang-orang mendekat, mereka menjadi kaget, karena di tangan wanita itu terdapat pisau yang berlepotan darah. Mereka melihat pula potongan kaki kecil yang menyembul dalam panci itu. Mereka tahu bahwa kelaparan telah membuat wanita itu gila, hingga tega menyembelih bayinya sendiri, di potong-potong bagian tubuhnyaa dengan parang dan pedang, di masaknya untuk kemudian di makan.
Jika engkau telah mendengar kisah orang-orang yang bernasib sial itu, mendengar rintihan orang-orang yang berada dalam penjara, pekik dan jeritan orang-orang sakit di rumah sakit dan kemalangan orang-orang gila di rumah sakit jiwa, lalu engkau kasihan pada mereka, menangisi nasib mereka yang malang itu, maka ketahuilah, bahwa aku lebih menderita dari mereka semua. Lebih berhak mendapatkan bantuan, pertolongan, kasih dan sayangmu daripada mereka.
Sekarang tak ada lagi kekuatan yang tersisa lebih dari yang telah kupikul… Wallahu 'a'lam bisshawab…..!!!!!!!!!!

Shalat Khusyu



Oleh : Ainul Yaqien
Al Khusyu secara bahasa bahasa bermakna al-inkhtifaad (merendah),adz-dzul (tunduk), as-sukuun (tenteram). Dalam bahasa arab dikatakan,”Khasya’a, yakhsyau, khusyuan. Watakhasya’a arajulu,” artinya “ia mengarahkan dan menundukan pandangan ke bumi dan merendahkan suaranya.” Wakhasya’a basharu-ar-rajul artinya,”Pandangan laki-laki yang khusyu dan tenang.
Kata khusyu dipergunakan Al-Qur’an dengan makna-makna tersebut, sebagaimana firman Allah SWT,”Dan merendahlah semua suara kepada Tuhan Yang Maha Pemurah, maka kamu tidak mendengar kecuali bisikan saja.”(QS Thaha: 108).
Di dalam ayat lain Allah SWT juga berfirman,”Dan sebagian dari tanda-tanda (kekuasan)-Nya bahwa kamu melihat bumi itu kering tandus, maka apabila turunkan air di atasnya, niscaya ia bergerak dan subur.”(QS Fushshilat:39),
Yakni tanah yang kering dan tandus tak ada tetumbuhan dan hewan yang hidup di bumi. Tapi, ketika turun hujan, bergeraklah dan hiduplahj tanah tersebut. Itulah khusyu menurut bahasa. Tapi jika dilihat dari sisi penggunaannya menurut syara terdapat bermacam lafadz.
Khusyu pertama ditafsirkan dengan hati yang bersimpuh di hadapan Allah SWT dengan tenang dan tunduk. Kedua, tunduk kepada kebenaran. Cirinya, seorang hamba menerima dan tunduk terhadap nasehat dalam masalah yang diperselisihkan. Ketiga, padamnya syahwat yang membara, tenangnya gejolak dada sehingga memancarkan cahaya keagungan dalam hati. Keempat, hati yang tunduk terhadap Dzat yang mengetahui alam ghaib.
Ungkapan di atas tepusat pada satu tititk yaitu hati sebagai tempat khusyu. Sedang tanda-tandanya terpantul pada anggota tubuh. Khusyu tidak akan sempurna kecuali dengan terkumpulnya kondisi-kondisi yang saling mendukung. Ibnul Qayim berkata,”Khusyu, sebenarnya adalah sebuah makna yang menyatu antara pengagungan, kecintaan, ketundukan dan kepasrahan.”
Khusyu ketika shalat tidak terlepas dengan khusunya anggota badan. Adapun orang lalai mengerjakan shalat sepanjang waktu, lalu ingin khusyu dalam shalatnya, tentu akan mengalami kesulitan. Karena itu Allah SWT berfirman, ”Sesungguhnya sangat beruntunglah orang-orang yang beriman (yaitu) orang-orang khusyu dalam shalatnya. (QS Al-Mukminun : 1-2).

Memahami Al-Qur’an



Oleh : Ainul Yaqien
Orang yang mencintai Al-Qur’an pasti mencintai Allah, karena di dalamnya diterangkan sifat-sifat Allah SWT. Orang mencintai Al-Qur’an pasti juga mencintai Rasulullah SAW karena Al-Qur’an diwahyukan pada beliau. Rasulullah SAW bersabda, ”Barangsiapa mencintai Al_Qur’an, ia pasti mencintai Allah SWT dan Rasul-Nya (HR Bukhari).
Salah satu ciri paling jelas orang yang mencintai Al-Qur’an adalah selalu bersegera memahaminya, merenunginya, dan memikirkan makna-maknanya. Sebaliknya, tanda orang yang tidak mencintai AL-Qur’an adalah enggan merenungkannya dan memikirkan makna-maknanya. Allah SWT mencela orang-orang munafik karena mereka enggan memikirkan Al-Qur’an.”Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al-Qur’an? Kalau sekiranya Al-Qur’an itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya.” (QS An-Nisa:82).
Merenungkan Al-Qur’an dapat mengobati berbagai penyakit hati. Cahaya Al-Qur’an akan menembus ke dalam hatinya lalu menyembuhkan penyakitnya, membersihkan bahaya-bahayanya, dan memutuskan keragu-raguan dan gangguan yang dihembuskan ke dalam hati oleh setan dan jin.
Berbeda dengan kaum munafik. Mereka enggan merenungkan dan mengambil petunjuk dari Al-Qur’an. Sebab, hati mereka dijangkiti penyakit-penyakit syahwat dan keragu-raguan. Allah SWT berfirman,”Da;lam hati mereka ada penyakit, lalu Allah tambah penyakitnya itu, dan bagi mereka siksa yang pedih, disebabkan mereka berdusta.” (QS Al-Baqarah: 10).
Memperhatikan Al-Qur’an juga merupakan jalan memperoleh makna-makna dan memahami maksudnya. Hal ini merupakan pokok kewajiban agama. Mengetahui kewajiban agama merupakan salah satu dari kewajiban-kewajiban mengamalkannya. “Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al-Qur’an ataukah hati mereka terkunci.” QS Muhammad : 24).
Bagi orang yang mencintai dan memperhatikan Al-Qur’an akan mendapat kedudukan yang tinggi di sisi Allah. Mereka merupakan orang-orang yang tergolong sebagai umat yang penuh kebaikan. Dengan begitu, umat Muhammad SAW sebagai umat yang terbaik, sebagaimana firman Allah SWT,”Kamu adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia.” (QS Ali Imran: 110)
Kebaikan umat Muhammad SAW adalah karena mereka mempunyai karakter yang khas: yakni mereka ahlul Qur’an. Rasulullah SAW bersabda, “Sebaik-baik di antara kalian adalah orang yang mempelajari Al-Qur’an dan mengajarkannya.” (HR Bukhari).

Berlaku Adil




Hikmah



Ada sebuah kisah dari Al-Quran. Suatu hari dua orang laki-laki memanjat pagar istana Nabi Daud AS yang megah. Mendapati ada orang yang nyelonong begitu saja ke kediamannya, Nabi Daud amat terkejut. Salah seorang di antara mereka kemudian berkata, “Janganlah kamu takut. Kami ini adalah dua orang yang sedang terlibat sengketa. Salah satu dari kami telah berbuat zalim kepada yang lain. Maka berilah kepada kami satu vonis yang adil, janganlah kamu menyimpang. Tunjukilah kami ke jalan yang lurus.”
Kemudian orang itu mengajukan perkaranya. “Sesungguhnya saudaraku ini memiliki 99 ekor kambing betina dan aku mempunyai seekor saja. Maka saudaraku ini berkata kepadaku agar aku menyerahkan kambing yang hanya satu itu. Dan dia mengalahkanku dalam perdebatan,” ujarnya.
Nabi Daud AS segera mengerti apa yang tengah dialami dua orang itu. “Sesungguhnya dia telah berbuat zalim kepadamu dengan meminta kambingmu itu untuk ditambahkan kepada kambingnya. Dan kebanyakan dari orang-orang yang berserikat, sebagian berbuat zalim kepada sebagian yang lain, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan amat sedikit orang yang seperti itu,” ujar Nabi Daud.
Kisah yang termaktub dalam surah Shaad ayat 22-24 ini pada akhirnya adalah satu ujian. Sang raja yang juga seorang rasul, Daud AS, dihadapkan pada satu masalah yang sebenarnya bisa remeh mengingat agungnya kedudukan. Perihal kambing tentulah masalah sepele di tengah istananya yang megah. Apa pentingnya pula menyelamatkan satu ekor kambing padahal pemilik 99 ekor kambing telah berhasil menang lewat argumentasi tanpa kekerasan? Tapi di situlah soalnya, keadilan, yang memang selalu terhubung dengan kepemimpinan, tak pernah bisa benar-benar sempurna dikerjakan manusia.
Namun ia selamanya akan dihadapkan pada kita. Sebab itulah fitrah paling dalam, dalam kehidupan. Dan sang Nabi yang lulus ujian itu kontan bersujud minta ampun menyadari kelemahan dirinya yang, sekalipun telah resmi menjadi pembawa risalah dari Tuhan, tetap mesti diuji kembali keadilannya.
Allah SWT berfirman, “Kami akan memasang timbangan yang tepat pada hari kiamat, maka tiadalah dirugikan seseorang barang sedikit pun. Dan jika (amalan itu) hanya sebesar biji atom pun, Kami akan mendatangkan pahalanya. Dan cukuplah Kami menjadi pembuat perhitungan.” (QS Al-Anbiya: 47)
Makanya kemudian kita tak hanya selesai mengartikan adil sebagai satu amal di mana sesuatu (syai) ditempatkan pada porsinya: yang hak pada porsi haknya seraya menempatkan yang batil juga pada porsinya. Sebab sering sekali mulut kita terkunci, tangan kita kaku, atau hati kita berpaling dari keadilan karena tak selamanya itu membuat kita beruntung. Keadilan yang agung memang selalu disertai dengan kepahitan dan pengorbanan. Qulilhaq walau kana murron. (***)
Ainul Yaqien

Mencari Otentisitas Masa Depan Bangsa





Oleh : Ainul Yaqien

Otentisitas berasal dari bahasa bahasa barat. Dalam bahasa dalam bahasa inggris ditulis authenticity, dalam bahasa prancis authenticite, kemudian di Indonesiakan menjadi otentisitas, yang berarti keaslian, ketulenan, dan kesjatian.
Bangsa kita sekarang sedang mengalami kegalauan sistem nilai. Mampukah kita menemukan kembali keaslian nilai-nilai kebangsaan dalam suasana yang serba tidak menentu sepeerti sekarang ini? Untuk menjawab pertanyaan ini kita harus melacak kembali arah gerakan bangsa kita yang kelihatannya meluncur tanpa peta masa depan, akibat dosa kolektif yang kita lakukan selama puluhan tahun.
Dilihat dari sudut sistem nilai kita dapat mengatakan bahwa krisis yang kita derita sekarang dapat dicari akarnya pada dosa dan dusta yang sudah terlalu banyak dikerjakan, dan tak jarang dosa kolektif itu dilakukan secara berjamaah oleh aparatur negara. Semua itu dilakukan atas nama konstitusi, kepentingan rakyat, dan bangsa, serta atas nama agama atau atas nama kebenaran. Maka akibatnya bercampurlah antara kepalsuan dan kesejatian, antara jasa dan dusta, antara haq dan bathil,Suatu keadaan yang memang sangat dikutuk oleh semua Kitab suci.
Al-Qur'an dengan tegas menyatakan, "Dan janganlaah kamu mencampur adukan antara yang haq dengan yang bathil, dan kamu sembunyikan yang haq itu, sementara kamu mengetahuinya".(QS Al-Baqarah 42)
Di negeri ini telah banyak berdiri lembaga yang mengatas namakan gerakan Amar ma'ruf nahi munkar, tetapi jangkauannya baru menyentuh daerah-daerah pinggir kehidupan bangsa, sementara pusat-pusat kemunkaran (Al-Munkarat) terus saja bergerak membawa kita ke jurang kebangkrutan dan kerusakan.
Visi dan persepsi yang dikembangkan selama ini masih terbatas, dibatasi oleh ketidak berdayaan hingga belum mampu membaca realitas bangsa secara lebih utuh dalam kerja menguji dan menggumuli kebenaran dalaam melawan realitas hidup yang serba keras, korupsi, kolusi daan nepotisme. Atau meminjam istilah M Amien Abdillah, tentang adanya pertaraungan yang terus menerus antara normativitas dengan historisitas dalam wilayah kemanusiaan. Nilai-nilai normatif jauh dilangit, sementara realitas historis berada dalam suasana ketidak adilan, kekacauan, daan kegalauan. Indonesia kini memang sedang berada di ambang senja menjeeelang malam bahkan mungkin sudah menginjak malam.
Dalam sejarah tidak ada jaminan dari Tuhan, bahwa suatu negeri yang dihuni mayoritas Muslim akan bertahan dalam keadaan kuat, aman, dan damai untuk selama-lamanya, jika penduduknya telah terbiasa berkubang dalaam lumur dosa dan dusta, serta tidak memperjuangkan tegaknya keadilan dan kewajaran. Padahal salah satu filosofi negara Indonesia berbunyi "Kemanusiaan yang adil dan beradab", namun kenyataannya menunjukkan, "Kemanusiaan yang zalim dan biadab".
Kita telah kehilangan kepekaan terhadap nasib sesama. Indonesia kini ibarat kapal bocor yang sedang oleng, terapun-apung dilaut lepas menunggu karam, semetara nahkodanya seperti tidaak punya kompas.Dengan demikian betapa sesungguhnya sebagian kita telah mengalami kelumpuhan hati nurani dan kemandulan logika untuk menyelamatkan masa depan Indonesia.
Bila nurani dan logika sudah tidak lagi berfungsi dengan baik, maka adakah harapan bahwa kita akan berhasil menganyam masa depan yang lebih baik, lebih cerah, dan lebih otentik?? Ini semua disebabkan oleh egoisme politik dan sikap serakah terhadap kekuasaan serta benda (materi). Akibatnya nurani menjadi lumpuh dan logika menjadi mandul.
Sepanjang zaman dan semua unit peradaban, kekuasaan tanpa landasan moral yang kuat, pasti menyebabkan orang lupa daratan. Fenomena mabuk kekuasaan ini dapat dikatakan sebagai kecenderungan umum dalam perjalanan sejarah umat manusia, tidak peduli mereka mengaku punya agama atau tidak. Dalam perspektif agama kejatuhan suatu bangsa atau suatu umat karena mereka menggunakan kemauan dan pilihan bebasnya secara salah dan tidak bertanggung jawab.
Apakah kita dengan begitu telah kehilangan harapan dan bahkan putus asa? Sebagai umat beriman, kita dilarang putus asa. Kita tidak boleh memandang Indonesia yang akan datang melalui lensa gelap. Kita haarus membangun optimisme di tengah-tengah bayangan pesimisme yang semakin luas. Oleh sebab itu, dalam posisi kita masing-masing dan daalam batas-batas kemampuan kita, kita wajib menolong bangsa ini agar dapat keluar dari himpitan beban yang teramat beraat. Kita tidak boleh larii dari tanggung jawab, sekalipun pangung sejarah Indonesia selama sekian dasa warsa banyak ditempati dan dimanfaatkan oleh oportunis-oportunis ekonomi kaum kapitalis-feodalis para politisi yang haus akan kekuasaan. Aakubat dusta dan dosa mereka, seluruh rakyat harus menangggung beban resiko yang teramat berat.
Haarapannya dengan pengakuan yang tulus dari segenap komponen masyarakat akan mengeluarkan bangsa ini dari krisis yang sangat melelahkan. Setelah pengakuan itu, kita tingkatkan komitmen bersama untuk merealisasikan nilai-nilainya ke dalam format yang konkret. Berdssaarkan penafsiran kita yang otentik terhadap kesatuan nilai-nilai dasar kebangsaan.
Dengan cara ini diharapkan bahwa persaudaraan kita sebagai sebagai bangsa yang pluralistik ini dapat direkatkan dan dianyam kembali dalam budaya tengang rasa dan lapang dada. Hilangkan kebiasaan mau menang sendiri sebagai golongan mayoritas, tetapi juga jangan tampil sebagai tirani minoritas bila terbuka peluang untuk itu. (***)

Rabu, 12 Desember 2007

Obor dan Ember Rabi’ah


Oleh: Ainul Yaqien


"Jika aku menyembahMu karena aku takut api nerakaMu, maka bakarlah aku di dalamnya!
Dan jika aku menyembahMu karena tamak kepada syurgaMu maka haramkanlah aku daripadanya.
Maka jika aku menyembahMu karena kecintaanku kepadaMu maka berikanlah aku balasan yang besar, berilah aku melihat wajahMu yang Maha Besar dan Maha Mulia itu.
Bait-bait diatas adalah sekelumit kerinduan manusia akan cinta pada Tuhan. Untaian kalimat itu terucap dari mulut Rabi’ah Adawiyah. Ia merupakan sufi perempuan masyhur dari tanah Irak. Kerinduannya akan Tuhan menempatkannya pada sebuah pencapaian yang luar biasa. Citarasanya akan cinta pada Tuhan menempatkannya menjadi salah satu ikon mistik Islam sepanjang zaman. Ia adalah panutan para sufi sesudahnya. Tentang Rabi’ah ini, sastrawan besar Fariduddin Al-Aththar melukiskannya dengan tepat. "Rabi’ah adalah wanita yang menyendiri dalam keterasingan suci, wanita yang bercadarkan ketulusan, wanita yang oleh cinta dan kerinduan luluh dalam penyatuan dengan Tuhan, wanita yang diterima oleh para lelaki sebagai Maria tanpa noda."
Dalam jagat sufisme, namanya setara dengan wali-wali agung. Konsep mahabbahnya menjadi inspirasi bagi umat selanjutnya. Seperti bunga, harumnya membentang dari dulu hingga sekarang. Perindu Tuhan itu adalah pecinta paling sejati. Di tangannya,konsep mahabbah (cinta Tuhan) menjadi lebih diterima. Dalam pandangannya hakekat tasawuf adalah Hibbullah atau mencintai Allah tanpa kecuali. Semua perbuatan yang dilakukan tidak dikarenakan rasa penuh harap akan pahalaNya atau rasa takut akan siksaNya. Tetapi perbuatan tersebut terdorong akan rindunya kepada Sang Khalik. Ada tiga tingkatan Mahabbah untuk mencapai jalan sufi. Pertama, zuhud. edua, ridha dan ketiga ihsan. Kesemuanya ini akan menghantarkan cinta manusia kepada Allah.
Banyak penulis-penulis cemerlang yang pernah menulis tentang sosok sufi ini. Gagasan mahabbahnya mampu menyihir banyak sufi, sastrawan dan pemikir sesudahnya. Mulai dari Abu Nasr As-Sarraj sampai Margareth Smith menggalinya dalam sebuah buku. Bahkan pemikir Muktazilah, Al Jahiz dalam bukunya Al-Bayan wat Tabyin menganggap penting pemikiran Rabi’ah bagi perkembangan pemikiran Islam. Tokoh ini menjadi sufi pertama yang diperkenalkan di negeri Barat. Legendanya dibawa oleh Joinville, seorang duta Louis IX ke Perancis. Bahkan sastrawan mutakhir Jerman masa kini, Max Mell menuliskannya dalam cerpen Die Schonen Hande.
Masa Yang Penuh Kesulitan
Perempuan mulia ini bernama lengkap Rabi’ah Adawiyah binti Ismail. Ia lahir pada tahun 95 H atau 185 M di kota Basrah, Irak. Ayahnya bernama Ismail Al-Adawiy Al-Qassy. Rabi’ah yang berarti keempat mempunyai masa kecil yang kelam. Dalam beberapa catatan sejarah disebutkan bahwa keluarganya tergolong miskin. Sampai-sampai pada masa persalinannya, Ismail tidak mempunyai uang sama sekali. Novelis Mesir Widad El-Sakakini melukiskannya dengan sangat mengharukan. Hanya sang ayah yang menemani isterinya saat kelahiran. Prosesi kelahirannnya berjalan tanpa lampu penerang. Segan dan malu telah mencegah Ismail untuk meminta tolong tetangganya. Rasa sakit semakin menjadi-jadi menimpa istrinya. Maka ia memohon kepada suaminya untuk mencari mentega dan minyak. Mulailah Ismail mengetuk pintu para tetangganya. Namun tak ada sambutan ramah.
Di tengah kebingungan ini, Ismail kembali ke pangkuan istrinya. Wajahnya lesu. Melihat situasi ini, sang istri hanya berdoa. Karena dengan doa ia aman dan damai. Tidak lama kemudian tangis bayi memekakkan dinding rumah. Seorang bayi perempuan telah lahir. Tetapi harapan Ismail kembali terkubur. Keinginannya memiliki seorang bayi laki-laki kandas. Sebuah doa meluncur dari mulutnya: "Tuhan mengabulkan sejumlah anak laki-laki kepada siapapun yang dikehendaki Nya."
Banyak cerita unik seputar kelahirannya. Sufi besar Persia Fariduddin Aththar menulis dalam Tadzkiratul Awliya sebagai berikut: "Ayahnya pernah bermimpi bertemu dengan Rasulullah menjelang kelahiran Rabi’ah. Dalam mimpinya itu Nabi bersabda: Janganlah bersedih hati sebab anak perempuanmu yang baru lahir ini adalah seorang suci yang agung yang pengaruhnya akan dianut oleh tujuh ribu umatku." Dengan mimpi ini, kemiskinan yang dihadapi keluarganya dinikmatinya dengan penuh keasyikan.
Jalan hidup Rabi’ah sangatlah muram. Apalagi setelah ditinggal mati Ayah dan ibunya. Pada waktu kekeringan melanda Basrah, Rabi’ah kemudian berpencar dengan kakak-kakaknya. Ia menjadi seorang budak. Hidupnya penuh penderitaan. Masa kecil dan remajanya dihabiskan dalam lilitan pekerjaan yang berat. Kepandaiannya bermain musik menjadikan Rabi’ah sebagai alat majikannya untuk menghimpun kekayaan. Perilaku kasar tuannya itu diterima dengan tabah.
Lilitan kesulitan dilalui Rabiah dengan kecintaan pada sang Khalik. Suatu ketika majikannnya mendengar Rabi’ah berdoa. Seberkas cahaya memancar dari dari rona wajahnya. Doa ini digambarkan Abdul Muni’m Al-Qindil dalam kitab Rabiah Al-Adawiyah, Adzarul Basrah Al Bathul: "Ya Allah, Engkau tahu bahwa hasrat hatiku hanyalah untuk memenuhi perintahMu. Jika aku dapat mengubah nasibku ini, niscaya aku tidak akan lekang sejenakpun untuk mengabdi kepadaMu." Kalimat itu menggetarkan sang majikan. Tidak lama kemudian Rabiah dibebaskan. Pengelanaan akan cinta abadinya pada Tuhan adalah jalan hidup Rabi’ah selanjutnya. Rabi’ah meninggal pada tahun 185 H dan dimakamkan di Basrah Irak.
Doa dan Kekeramatan
Laiknya pecinta sejati, kata-katanya menusuk langsung ke jantung jiwa. Bagi seorang sufi lafadz cinta pada Tuhan menjadi doa. Tak hanya indah dan puitik. Di dalamnya mengandung makna yang dalam tentang semesta ini. Rabi’ah mengalunkan tembang cintanya melebihi sufi di zamannya. Tentang cinta ini Rabiah pernah menulis:
"Kucintai Dikau dengan dua cinta: cinta yang sunguh-sungguh dan cinta yang tidak patut. Dari cinta yang sungguh-sungguh aku akan menikmati dalam mengingatMU untuk mengenang selain-Mu. Dan untuk cinta yang tak patut kubutuhkan rahasiaMu sendiri untuk kulihat. Jangan sampai tak ada rasa syukur bagiku dalam kedua cinta itu; rasa syukur hanya kepadaMu.
Tentang "pujaannya" itu ia menulis: "Oh kekasih hati, aku tak akan memberikan apapun kecuali bagiMu. Karenanya kasihanilah hari ini si pendosa yang datang kepada Mu. Oh harapanku dan istirahku dan kenikmatanku, hatiku tak bisa mencintai apapun kecuali Kau, Satu." Di lain catatan ia melukiskan rasa cintanya ini dalam sebuah syair: "Oh Tuhan, malam telah berlalu dan fajarpun tiba. Betapa ingin aku mengetahui, apakah Kau telah menerima atau telah menolak doa-doaku. Karenanya hiburlah daku karena kata-kataMulah yang dapat menghibur keadaanku ini. Kau telah memberiku hidup dan menjagaku, dan kaka-kataMu itulah kejayaan itu. Jika Kau hendak mengusirku dari pintuMu, aku akan meninggalkannya, karena cinta yang kusimpan dalam hatiku terhadapMu."
Disamping penyair handal, Rabi’ah dikenal penuh dengan kekeramatan. Pernah suatu kali ia ingin memasak. Ternyata bawang yang akan dibuat bumbu tidak ada. Tiba-tiba saja jatuh sebutir bawang dari langit. Di lain waktu rumahnya pernah dimasuki pencuri. Saat si pencuri masuk ke rumah, ia sedang melaksanakan salat dan berdoa. Pencuri itu tidak mengambil barang-barang Rabi’ah. Tetapi yang dilakukannya hanyalah menunggu perempuan suci itu berdoa. Tetapi ketika selesai, Rabi’ah tahu dan mengajaknya berdoa. Setelah selesai berdoa, pencuri itu diperbolehkan pulang ke rumah.
Cerita aneh juga menimpa Rabi’ah ketika naik haji. Barang bawaannya diletakkan dipundak seekor keledai. Dalam perjalanan binatang itu mati. Rabiah kemudian berhenti dan menolak melanjutkan perjalanannya. Kemudian Rabi’ah berdoa: "Ya Allah engkau undang hamba ke RumahMu. Tetapi keledai hamba mati di tengah perjalanan, dan hamba seorang diri di tengah keganasan ini..." Sesaat kemudian setelah memanjatkan doa, keledai itu berdiri tegak. Rabi’ah naik ke atas punggung dan menyusul rombongannya.
Rabi’ah juga dikenal sebagai wali majdzub yang aneh. Satu saat ia pernah membawa obor keliling kota Basrah. Ketika ditanya, jawabanya mengagetkan. Rabi’ah akan membakar Ka’bah di Mekah. Kenapa? Karena semua orang hanya datang ke Mekah tanpa cinta kepada Allah. Pernah juga ia berkeliling Basrah dengan membawa ember berisi air. Ia beteriak lantang bahwa ia akan memadamkan api neraka jahanam yang menjadi ketakutan umat Islam. Umat Islam hanya takut kepada neraka bukan kepadaAllah.(***) Ainul Yaqien

Imam Ghozali dan Ihya Ulumiddin


Kitab Ihya Ulumiddin karya Imam Ghazali sarat dengan ilmu dan mutiara hikmah. Karya monumental yang dimaksudkan untuk "menghidupkan ilmu-ilmu agama."
Di Masjid Sunda Kelapa, di kawasan Menteng, Jakarta Pusat, ada pengajian mingguan yang digelar secara rutin, diasuh oleh Prof. Dr. H. Nasaruddin Umar, salah seorang pakar tasawuf. Ini memang pengajian yang lain dari pengajian biasa. Tak hanya di Masjid sunda kelapa, melainkan di banyak pesantren salaf di Indonesia Kitab tersebut menjadi materi yang wajib untuk di kaji oleh para santri senior. Mengapa? Karena kitab Ihya Ulumiddin karya Imam Ghazali yang dikenal sebagai kitab "berat."
Kitab yang terdiri dari 16 jilid tebal (3.085 halaman), dan tergolong sebagai "kitab kuning" ini boleh dikata sebagai "samudra ilmu." Segala persoalan kehidupan beragama dijelaskan secara rinci oleh pengarangnya, ulama besar yang juga mendapat julukan sangat terhormat, Hujjah Al-Islam – orang yang mampu menjawab persoalan keislaman dengan argumentasi yang kuat dan tepercaya. Mulai dari fikih (hukum dan aturan-aturan dalam peribadatan), akhlak (perilaku yang utama), aturan muamalah (kegiatan non-ibadah), sampai dengan tata cara berdoa, zikir, wirid, dan kehidupan spiritual lainnya, dikaji dan dibahas secara mendalam dan rinci.
Karya master piece ini sudah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa, termasuk dalam bahasa Indonesia. Karena dianggap terlalu tebal dan berat, Imam Ghazali kemudian meringkasnya menjadi satu jilid berjudul Minhaj Al-Abidin. Sesuai dengan namanya, Ihya Ulumiddin, ditulis Imam Ghazali dengan tujuan untuk menghidupkan kembali ilmu-ilmu agama.
Konon. karya besar ini ditulis setelah proses pengembaraan spiritual yang dimulai dari Naisyabur, Persia (kini Iran), dalam sebuah perenungan yang khidmat dan panjang, sebagai puncak karya intelektual dan spiritual, ketika Imam Ghazali berusia 50 tahun. Ia bukan hanya ulama besar tapi juga intelektual yang menguasaui banyak disiplin ilmu: ilmu fikih, filsafat, teologi, mantik (logika), retorika, sastra, dan sebagainya. Namun, kepakaran itu rupanya tidak cukup membuat hatinya tenteram. Mulalah ia menyepi, merenung, dan belakangan jadilah ia sebagai ulama yang sangat sufistik.
Menurut Ensiklopedia Islam terbitan Van Hoeve, Ihya Ulumiddin telah memberikan corak dan karakter Islam, sehingga sering disebut sebagai salah satu sumber ilmu tasawuf dan akhlak. Kitab ini memuat beberapa pembahasan mengenai ibadah dan muamalah. Uraian fikihnya berorientasi kepada mazhab Syafi’i sementara paham teologinya, Asy’ariyah. Kitab ini membagi ilmu menjadi dua, ilmu lahir dan ilmu batin.
Fardu Kifayah
Ilmu lahir mencakup ibadah dan muamalah, sementara ilmu batin mencakup ilmu untuk membersihkan hati dari sifat-sifat tercela, menghiasainya dengan sifat-sifat terpuji.
Imam Ghazali juga membagi ilmu dalam dua kategori yang lain, yaitu ilmu yang harus dipelajari sebagai fardu ain (kewajiban individual) dan ilmu dipelajari sebagai fardu kifayah (kewajiban komunal). Menurut Ghazali, ilmu yang wajib diburu ialah ilmu untuk melaksanakan kewajiban syariat yang harus diketahui secara pasti. Misalnya ilmu tentang zakat bagi seorang peternak atau pengetahuan tentang riba bagi seorang pedagang.
Kategori lainnya ialah ilmu agama (sebagai ilmu yang mahmud atau terpuji) dan ilmu non-agama (sebagai ilmu yang mazmumah atau tercela). Yang dimaksud dengan ilmu agama itu, antara lain, pertama, ilmu-ilmu ushul (pokok) yang mencakup ilmu tentang Al-Quran, hadis, dan tradisi sahabat Nabi SAW. Ilmu agama jenis kedua, ialah ilmu furuk (cabang) yang mencakup ilmu fikih, etika, dan tasawuf. Ilmu agama jenis ketiga, ialah ilmu pengantar atau ilmu alat seperti nahu dan saraf; sementara ilmu agama yang keempat, ialah ilmu pelengkap seperti ushul fiqh dan ilmu tentang hadis.
Dalam pembahasannya, Imam Ghazali membagi Ihya Ulumiddin menjadi empat bagian. Pertama, menguraikan tentang ibadah; terdiri atas 10 bahasan, yaitu ilmu tentang ibadah, kaidah tentang akidah (keyakinan), rahasia bersuci, rahasia salat, rahasia puasa, rahasia zakat, rahasia haji, keutamaan membaca Al-Quran, zikir, doa dan urutan dalam wirid. Kedua, menguraikan tentang muamalah, yang juga terdiri atas 10 bahasan, meliputi etika makan, etika nikah, etika bepergian, etika berteman, etika bekerja, etika pertemuan, etika mendengarkan dan bersenang-senang, etika amar makruf nahi munkar, tentang moral (soal halal-haram), tentang uzlah yakni menjauhkan diri dari dunia ramai untuk bermunajat kepada Allah SWT, dan tentang akhlak kenabian.
Pembahasan ketiga, menguraikan hal-hal yang dapat merusak kehidupan manusia dan hal-hal yang menyelamatkan manusia di dunia dan akhirat. Di sini diuraikan keajaiban hati, riadat (olah jiwa), bahaya nafsu perut dan kemaluan, bahaya lisan, bahaya amarah, bahaya dengki dan hasut, tercelanya urusan dunia, tercelanya harta kekayaan dan sifat bakhil, tercelanya kedudukan dan pamer, tentang sifat sombong, tentang takabur, dan tentang penipuan. Adapun yang dapat menyelamatkan manusia di dunia dan akhirat: taubat, mahabah (cinta kasih), sabar dan tawakal, bersyukur, takut dan berharap kepada Allah SWT, fakir dan zuhud, tauhid dan tawakal, kerinduan dan rida, berbuat benar dan ikhlas, murakabah (merasa diri diawasi Allah) dan muhasabah (mawas diri), tentang berpikir dan upaya mengingat mati.
Pada dasarnya, Ihya Ulumiddin dimaksudkan agar para pembacanya dapat menunaikan ibadah secara mantap, bukan hanya formalitas, mampu menangkap rahasia-rahasia ibadah. Ibadah bukan sekadar memenuhi kewajiban, melainkan untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT. Keberhasilan dalam menangkap rahasia ibadah sangat penting, sebab dari sinilah maqam makrifat (tingkat tertinggi) dalam tasawuf diperoleh.
Nilai Terbaik
Adapun dalam hal muamalah, Imam Ghazali memperingatkan agar memperhatikan akhlak yang tercela, yang harus dibersihkan dari jiwa dan hati, serta mencari penyebab dari bahaya yang ditimbulkannya. Imam Ghazali juga menunjukkan upaya mengatasi perbuatan tercela dengan bersandar pada beberapa dalil ayat Al-Quran dan sunah. Dibahas pula hal-hal yang dapat menyelamatkan manusia, yang pada dasarnya merupakan etika dalam berhubungan dengan Allah SWT. Imam Ghazali juga mengemukakan hakikat dan batasannya, faedah pemenuhan etika tersebut, tanda-tanda yang dapat diketahui serta keutamaan-keutamaannya, dengan pertimbangan agama dan akal.
Ada sisi lain yang sangat menarik yang dipersepsikan, atau bahkan terjadi, di sekitar Ihya Ulumiddin. Suatu hari, Abu Hasan Ali bin Harzaham – seorang ulama asal Maroko – mengkritik kitab yang di kemudian hari mendunia itu di hadapan sejumlah kerabatnya. Seketika itu juga, konon Allah menyingkapkan sebuah hizib (tabir) di antara mereka yang hadir. Dan, atas izin Allah, mereka menyaksikan Ibnu Harzaham dicambuk bertubi-tubi oleh beberapa lelaki tak dikenal.
Riwayat lain mengungkapkan, suatu hari Ibnu Harzaham melarang orang membaca Ihya Ulumiddin. Konon, Imam Ghazali mendatanginya dalam mimpi lalu membawanya ke hadapan Rasulullah SAW. "Ya Rasulullah, inilah orang yang tidak percaya pada apa yang saya tulis berdasarkan ajaran Rasulullah. Katanya, ini bukan dari Rasulullah," ujar Imam Ghazali. Mendengar itu, Rasulullah pun memerintahkan agar Ibnu Harazim didera.
Dalam versi lain, diceritakan Ibnu Harzaham mencoba membakar kitab tersebut. Pada malam harinya, ia mimpi seolah-olah masuk ke dalam masjid dan bertemu dengan Imam Ghazali yang duduk di samping Rasulullah SAW, Abu Bakar Ash-Shiddiq, Umar bin Khaththab. Ia melihat Nabi membenarkan kandungan kitab Ihya Ulumiddin dan menilainya dengan penilaian terbaik. Terbangun dari mimpi, Ibnu Harzaham segera bertaubat kepada Allah. Dan setelah itu, ia terus-menerus mempelajarinya, sampai Allah SWT membukakan hatinya sampai ke maqam makrifat. Sejak itu, ia dikenal sebagai pakar ilmu lahir dan batin sebagaimana terkandung dalam karya besar Imam Ghazali.
Di zamannya, bahkan sampai kini pun, Ihya Ulumiddin merupakan sebuah kitab yang sangat fenomenal. Para ulama meyakini, dengan mendalami dan mengamalkan kandungannya akan memperoleh rida dan cinta kasih dari Allah SWT. Dengan mendalami dan mengamalkan karya besar ini, orang akan lebih memahami segala sesuatu mengenai ajaran Islam yang hakiki, meliputi syari’ah (syariat, agama), thariqah (tarekat, jalan menuju pendekatan kepada Allah), haqiqah (hakikat kebenaran) dalam kehidupan di dunia dan akhirat. Bisa dimaklumi jika pada kemudian hari, mahakarya ini diterjemahkan ke berbagai bahasa.
Tapi, tak sembarang santri "diizinkan" mempelajarinya – meskipun kitab ini serta merta menjadi bacaan wajib di pesantren-pesantren. Meskipun ada anggapan, seorang santri belum lengkap sebagai santri bila belum mempelajari Ihya Ulumiddin, tak sembarang santri "diizinkan" mempelajarinya. Mengingat kandungannya yang "berat," kitab ini diajarkan para kiai dalam kelas khusus, sementara pesertanya pun hanyalah para santri senior.(***)Ainul Yaqien

Abu Nawas, Cerdik dan Kocak


Wacana


Di Indonesia, ia hanya dikenal sebagai pelawak dengan lelucon-lelucon cerdas. Padahal, ia sebenarnya seorang penyair dan sufi.
LAGU-lagu shalawat belakangan ini marak terdengar di radio dan televisi. Salah satunya sejumlah shalawat dengan label Cinta Rasul yang dibawakan oleh Hadad Alwi dan Sulis. Bukan hanya shalawat, Hadad Alwi juga membawakan doa dalam bentuk syair karangan Abu Nawas yang sangat terkenal:
Ilahi lastu lilfirdausi ahla
Wala aqwa ‘ala naril jahimi
Fahab li tawbatan waghfir dzunubi
Fainaka ghafirud dzanbil adzimi
(Tuhanku, tidaklah pantas hamba menjadi penghuni surga.
Namun, hamba juga tidak kuat menahan panas api neraka.
Maka beri hamba tobat
dan ampunilah hamba atas dosa-dosa hamba.
Karena sesungguhnya Engkau Maha Pengampun lagi Mahaagung)
Sudah lama kaum muslimin di Indonesia akrab dengan syair Abu Nawas tersebut. Beberapa saat menjelang shalat Magrib atau Subuh, jemaah di masjid-masjid atau musala biasanya menyanyikan syair tersebut dengan syahdu. Bagi bangsa Indonesia, nama Abu Nawas atau Abu Nuwas juga cukup akrab. Bahkan juga sampai sekarang. Abu Nawas dikenal terutama karena kelihaian dan kecerdikannya melontarkan kritik-kritik tetapi dibungkus humor. Sesungguhnya ia adalah seorang sufi, intelektual, sekaligus penyair yang hidup di zaman Khalifah Harun Al-Rasyid di Baghdad (806-814 M).
Abu Nawas tidak hanya cerdik, tetapi ia juga nyentrik. Sebagai penyair, mula-mula ia suka mabuk. Belakangan, dalam perjalanan spiritualnya mencari hakikat Allah, kehidupan rohaniahnya yang berliku sangat mengharukan. Setelah "menemukan" Allah, inspirasi puisinya bukan lagi khamar, melainkan nilai-nilai ketuhanan. Ia tampil sebagai penyair sufi yang tiada banding.
Nama aslinya ialah Abu Ali al-Hasan ibnu Hani al-Hakami. Ia lahir di Ahwaz, Persia (Iran sekarang) pada 145 H (747 M). Ayahnya, Marwan bin Muhammad, anggota legiun militer khalifah terakhir Bani Umayyah di Damaskus, Harun al-Rasyid. Sementara ibunya bernama Jalban, wanita Persia yang bekerja sebagai pencuci kain wol. Sejak kecil ia sudah yatim. Sang ibu kemudian membawanya ke Bashrah, Irak. Di kota inilah ia belajar berbagai ilmu pengetahuan.
Masa mudanya penuh dengan gaya hidup yang kontroversial, sehingga membuat Abu Nawas tampil sebagai tokoh yang unik dalam khazanah sastra Arab Islam. Meski begitu, sajak-sajaknya juga sarat dengan nilai keagamaan dan pertobatan, di samping cita rasa kemanusiaan. Abu Nawas belajar sastra dan bahasa Arab kepada Abu Zaid al-Anshari dan Abu Ubaidah. Ia juga belajar Al-Quran kepada Ya’qub al-Hadrami, sementara dalam ilmu hadis ia belajar kepada Abu Walid bin Ziyad, Muktamir bin Sulaiman, Yahya bin Said al-Qattan, dan Azhar bin Sa'ad as-Samman.
Memperhalus Bahasa
Pertemuannya dengan penyair dari Kufah, Walibah bin Habab al-Asadi, membawanya ke panggung kesusastraan Arab. Walibah sangat tertarik pada bakat Abu Nawas yang kemudian membawanya kembali ke Ahwaz, lalu ke Kufah. Di Kufah, tempat Sayidna Ali dimakamkan, bakat Abu Nawas digembleng. Ahmar menyuruh Abu Nawas berdiam di pedalaman, hidup bersama orang-orang Arab Badui untuk memperdalam dan memperhalus bahasa Arab. Kemudian ia ke Baghdad. Di pusat peradaban Dinasti Abbasyiah inilah ia berkumpul dengan para penyair. Berkat kepiawaiannya menulis puisi, Abu Nawas dapat berkenalan dengan para pangeran. Tetapi gara-gara kedekatannya dengan para bangsawan inilah puisi-puisinya berubah, cenderung memuja penguasa.
Dalam kitab Al-Wasith fil Adabil ‘Arabi wa Tarikhihi, Abu Nawas digambarkan sebagai penyair multivisi, penuh canda, berlidah tajam, pengkhayal ulung, dan tokoh terkemuka sastrawan angkatan baru. Cuma, sayang, karya-karyanya jarang ditampilkan dalam berbagai kesempatan atau diskusi keagamaan. Ia hanya dipandang sebagai orang yang suka bertingkah lucu dan tidak lazim.
Kepandaiannya menulis puisi menarik perhatian Khalifah Harun al-Rasyid. Melalui musikus istana, Ishaq al-Wawsuli, Abu Nawas dipanggil untuk menjadi penyair istana (sya’irul bilad). Dalam ensiklopedi Al-Munjid disebutkan, Abu Nawas diangkat sebagai pendekar para penyair yang bertugas menggubah puisi puji-pujian untuk khalifah.
Sebagai penyair, tingkah laku Abu Nawas bisa disebut aneh, bahkan slebor. Tingkah lakunya membuat orang selalu mengaitkan karyanya dengan gejolak jiwanya. Ditambah sikapnya yang jenaka, perjalanan hidupnya benar-benar penuh warna. Kegemarannya menenggak arak menjadikannya penyair yang unik. Kegemarannya bermain kata-kata dengan selera humor yang tinggi seakan menjadi legenda tersendiri dalam khazanah peradaban dunia.
Di lain pihak, Abu Nawas adalah sosok yang jujur. Sikap itu menjadikannya sejajar dengan tokoh-tokoh penting dalam khazanah keilmuan Islam. Zamannya adalah zaman keemasan imperium Abbasiyah. Pada masa kekhalifahan Harun al-Rasyid, peradaban Islam maju pesat. Banyak tokoh penting lahir di zaman ini. Cuma, sayang, kemajuan ini tidak dibarengi dengan perilaku yang baik dalam masyarakat. Kenyataan inilah yang menjerumuskan Abu Nawas yang kemudian larut dalam minuman keras dan hidup sebagai hedonis.
Kedekatannya dengan kekuasaan bahkan pernah menjerumuskannya ke dalam penjara. Pasalnya, suatu ketika Abu Nawas membaca puisi Kafilah Bani Mudhar yang dianggap menyinggung Khalifah. Tentu saja Khalifah murka, lantas memenjarakannya. Setelah bebas, ia berpaling dari Khalifah dan mengabdi kepada Perdana Menteri Barmak. Ia meninggalkan Baghdad setelah keluarga Barmak jatuh pada tahun 803 M. Setelah itu ia pergi ke Mesir dan menggubah puisi untuk Gubernur Mesir, Khasib bin Abdul Hamid al-Ajami. Tetapi, ia kembali lagi ke Baghdad setelah Harun al-Rasyid meninggal dan digantikan oleh Al-Amin.
Nilai-nilai Ketuhanan
Sejak mendekam di penjara, puisi-puisi Abu Nawas berubah, menjadi religius. Jika sebelumnya ia sangat pongah dengan kendi tuaknya, kini ia lebih pasrah kepada kekuasaan Allah. Syair-syairnya tentang tobat bisa dipahami sebagai salah satu ungkapan rasa keagamaannya yang tinggi. Memang, pencapaiannya dalam menulis puisi diilhami kegemarannya melakukan maksiat. Tetapi, justru di jalan gelap itulah, Abu Nawas menemukan nilai-nilai ketuhanan. Sajak-sajak tobatnya bisa ditafisrkan sebagai jalan panjang menuju Tuhan.
Meski dekat dengan Sultan Harun al-Rasyid, Abu Nawas tak selamanya hidup dalam kegemerlapan duniawi. Ia pernah hidup dalam kegelapan – tetapi yang justru membawa keberkahan tersendiri. Adalah Dr. Muhammad al-Nuwaihi yang mengungkapkan kehidupan gelap penyair ini. Dalam kitabnya Nafsiyyat Abi Nuwas disebutkan, Abu Nawas sangat tergantung pada minuman keras. Meski begitu, ia tetap mempunyai harapan dalam setiap kali jiwanya guncang: ia yakin bahwa ampunan Allah bisa direngkuhnya, seperti sebuah sajaknya:
Tuhan…
Jika dosaku semakin membesar
sungguh aku tahu
ampunanmu jauh lebih besar.
Jika hanya orang-orang baik
yang berseru kepada-Mu
lantas kepada siapa
seorang pendosa harus mengadu?
Bisa dimaklumi jika pada masa tuanya Abu Nawas cenderung hidup zuhud. Di masa inilah ia menciptakan puisi-puisi yang terdiri atas beberapa tema. Ada yang bertema pujian (madh), satire (hija’), zuhud (zuhdiyat), bahaya minum khamar (khumriyat), cinta (hazaliyat), canda (mujuniyah). Gara-gara beberapa puisinya yang bertema jenis mujuniyat atau khumriyat Abu Nawas dituduh sebagai penyair zindik atau pendosa besar. Tetapi berkat puisi bertema khumriyat pula ia terkenal sebagai penyair pemabuk. Ia menggambarkan minuman keras yang dapat menenangkan pikiran.
Tetapi, menjelang akhir hayatnya ia mulai berubah. Ia mulai menulis beberapa puisi religius. Dalam beberapa puisi bertema zuhdiyat, ia mengungkapkan rasa sesal dan tobat atas segala perbuatannya selama ini. Tak hanya itu, di masa tuanya ia benar-benar menjalani kehidupan zuhud. Seorang sahabatnya, Abu Hifan bin Yusuf bin Dayah, memberi kesaksian, akhir hayat Abu Nawas sangat diwarnai dengan kegiatan ibadah. Beberapa sajaknya menguatkan hal itu. Salah satu bait puisinya yang sangat indah merupakan ungkapan rasa sesal yang amat dalam akan masa lalunya.
Dipelajari dan Dikenang
Mengenai tahun meningalnya, banyak versi yang saling berbeda. Ada yang menyebutkan tahun 190 H/806 M, ada pula yang 195H/810 M, atau 196 H/811 M. Sementara yang lain tahun 198 H/813 M dan tahun 199 H/814 M. Konon Abu Nawas meninggal karena dianiaya oleh seseorang yang disuruh oleh keluarga Nawbakhti - yang menaruh dendam kepadanya.
Sejumlah puisi Abu Nawas dihimpun dalam Diwan Abu Nuwas yang telah dicetak dalam berbagai bahasa. Ada yang diterbitkan di Wina, Austria (1885), di Greifswald (1861), cetakan litrografi di Kairo, Mesir (1277 H/1860 M), Beirut, Lebanon (1301 H/1884 M), Bombay, India (1312 H/1894 M). Beberapa manuskrip puisinya tersimpan di perpustakaan Berlin, Wina, Leiden, Bodliana, dan Mosul. Pada tahun 1855, Diwan-nya diedit oleh A. Von Kremer dengan judul Diwans des Abu Nowas des Grosten Lyrischen Dichters der Araber. Di tangan para orientalis itu karya Abu Nuwas dipelajari dan dikenang. Mereka memang lebih dulu mengenal Abu Nuwas ketimbang kita - yang hanya menertawakannya.
Pada suatu saat Abu Nuwas datang ke sebuah bukit melihat hilal untuk menentukan awal bulan Syawal. Ia melihat Sulayman bin Abi Sahl, seorang ulama yang sama sekali tak mempedulikan kehadirannya. Abu Nuwas lantas nyeletuk, "Bagaimana Anda bisa melihat bulan, sementara saya yang di dekat Anda saja tak terlihat." Sulayman marah besar. "Aku melihat kamu berjalan mundur sampai masuk kembali ke dalam rahim Jalban (ibu Abu Nawas)." Maka, seketika itu juga Abu Nawas melontarkan syair-syairnya, dan Sulayman juga membalasnya.
Hingga matinya pun, Abu Nawas masih dibicarakan orang. Konon, sebelum mati ia minta keluarganya mengafaninya dengan kain bekas. Ketika Malaikat Munkar dan Nakir datang ke kuburnya, konon Abu Nawas menolak. "Tuhan, kedua malaikat itu tidak melihat kain kafan saya yang sudah compang-camping dan lapuk ini. Itu artinya saya penghuni kubur yang sudah lama." Konon, kedua malaikat itu lantas pergi meninggalkannya. Tetapi, tentu saja itu hanyalah lelucon.
Kematian Abu Nawas memang penuh dengan misteri. Ia dimakamkan di Syunizi di jantung Kota Baghdad. Seperti dikutip Syekh Farid Wajdi dalam bukunya, Dairatul Ma’arif lil Qarnil ‘Isyrin, ada sebuah kisah yang diceritakan oleh Al-Ashmu’i. Suatu malam ia bermimpi melihat Abu Nawas yang sudah almarhum. Ashmu’i bertanya tentang syair-syair khumriyat-nya yang sangat memuja minuman keras itu. Abu Nawas menjawab, "Aku masih menyisakan satu syair yang paling indah." Lantas, Abu Nawas membacakan syair itu yang dihafal oleh Ashmu’i. Penyair ‘Abdullah bin Mu’taz juga meriwayatkan banyak syair gubahan Abu Nuwas yang ia hafal melalui mimpi setelah Abu Nawas sudah lama meninggal. Wallahualam bissawab. Ainul Yaqien

Revolusi Akal Sehat




Oleh: Ainul Yaqien
Peradaban Islam di masa lampau berkembang sangat pesat, justru setelah mengadopsi peradaban dan filsafat Yunani.
Begitu mendengar kata filsafat, kesan pertama yang tertangkap oleh benak kita ialah permainan kata-kata sulit dan ruwet, bahkan absurd. Tapi memang ada (sedikit) orang yang menganggap filsafat sebagai “ilmu tinggi” yang memiliki pemahaman agak aneh, bahkan mungkin kadang dianggap sebagai “gila”.
Padahal, sesungguhnya filsafat adalah ibu kandung perkembangan pandangan dunia yang, disadari atau tidak, selalu mendasari perkembangan ilmu pengetahuan. Dari rahim filsafat, ilmu pengetahuan kemudian berkembang dengan pesat. Di dalam filsafatlah konsep-konsep seperti ketuhanan, keadilan, kebebasan, kebahagiaan, dan berbagai konsep lain – yang sangat sentral bagi kehidupan umat manusia – diperbincangkan dan dirumuskan.
Bahkan peradaban Islam di masa silam mengalami perkembangan pesat justru setelah mengadopsi filsafat Yunani. Setelah melalui transformasi besar-besaran dari filsafat Yunani, peradaban Islam mengalami perkembangan luar biasa. Pernah suatu ketika para ahli fikih, tafsir, ilmu kalam, dan ilmuwan muslim lainnya adalah sekaligus filosof.
Banyak kepercayaan yang telah timbul dan lenyap sepanjang zaman, banyak keyakinan yang telah dipegang dan ditinggalkan orang, karena yang sekarang dibanggakan oleh sebagian besar umat manusia berasal dari barat. Pemikiran di kembangkan dengan tanpa adanya batasan-batasan dalam berpikir, sehingga mengakibatkan banyaknya pertentangan antara boleh dan tidaknya mempelajari dan mengkaji ilmu tersebut, telah banyak filsafat yang digali dan dikembangkan di Barat diadopsi mentah-mentah (taken for granted) akibatnya banyak kerusakan yang terjadi di segala aspek kehidupan.
Berbagai macam jalan boleh ditempuh, banyak cara boleh digali, tetapi sendi keimanan yang enam perkara (rukun Iman) tidak boleh kendor, sehingga jalan dan cara yang didapat manusia harus dipergunakan untuk memperkokoh sendi keimanan itu.
Banyak orang yang membuat syarat, untuk mandapatkan suatu hasil penyelidikan yang obyektif dalam lapangan ilmu pengetahuan, orang harus benar-benar lepas dari prasangka (prejudice) Tetapi dapatkah orang benar-benar bebas itu? Tidak! Selama dia masih bernama manusia, dia tidak dapat melepaskan diri dari pengaruh-pengaruh sekitarnya, bahkan itulah yang menentukan cara bagaimana ia berpikir, berbuat dan merasa. Sedangkan batu dapat berlumut, kayu bisa lapuk, besipun dapat berkarat. Tidak ada orang yang dapat membuat penelitian (research) tanpa hipotesa lebih dahulu, bahkan suatu research dilakukan hanya untuk menetapkan atau membantah suatu hipotesa.
Demikianlah kaum Muslimin yang disuruh bertebaran dimuka bumi, menetap dan mengelana di laut dan di darat dimana saja dia berada, dan apa jua pekerjaan apapun yang dilakukannya tidak diperbolehkan mengendorkan keyakinan itu. Sementara biarlah orang menyelidiki hipotesa Darwin dan kawan-kawannya, mengenai "prinsip evolusi" dan "survival of the fittes"nya, tetapi lambat atau cepat akan timbul pula orang yang seperti Einstein dan teori relativitasnya. Di dalam surat wasiatnya ia berpesan: "….di dalam dunia ini tidak ada materi (benda), yang ada hanyalah energi (daya), yang pada akhirnya orang akan mengetahui bahwa hanya ada satu energi yang maha besar….!".
Mungkin sekarang sebagian akal manusia belum sampai kepada pembuktian tentang Allah yang wajibul-wujud, tetapi sebenarnya akal saja tidak cukup untuk menetapkan sesuatu itu benar atau salah, apalagi untuk menentukan baik atau buruk. Mungkin karena fungsi akal itu sendiri bergerak dalam bidang yang sempit, hanya sekedar membandingkan apa yang telah dialami, ataupun karena akal itu sendiri selalu dicampuri kecenderungan-kecenderungan.
Umpama maksud, kepentingan, angan-angan kejiwaan dan lain-lain sebagainya. Atau kalau akal itu sendiri telah benar, tetapi orang dapat mengalami kesilapan, kelalaian, dipengaruhi oleh waktu dan keadaan yang berbeda-beda, atau manifestasinya dipengaruhi oleh nafsu, kedengkian, kemarahan, prasangka dan lain-lain sebagainya. Sebab itu baru menjadi kebenaran yang mutlak, kalau akal itu dipimpin oleh keyakinan dan keimanan yang selanjutnya dapat menjamin kelanjutan, dan keterusan usaha.
Oleh karena itu seorang astronot yang mengarungi ruang angkasa luar dapat saja mengatakan: "Saya telah mencari "Tuhan diangkasa luar tidak bertemu". Karena dasar pemikiran tentang adanya Tuhan itu tidak tepat, maka iapun menjadi keliru. Kalau Tuhan dapat dicari dengan kapal ruang angkasa, maka itu bukanlah Tuhan Yanh Maha Esa. Paling tinggi pangkatnya ialah "Tuhan ruang angkasa" yang tidak mampu muncul kebumi ini, karena takut menghadapi senjata nuklir buatan manusia.
Dasar penilaian yang demikian itu samalah kualitasnya dengan dasar pemikiran orang-orang Yahudi yang dikisahkan oleh Allah dalam Al-Qur'an surat Al-Baqoroh 55 yang artinya: "Ingatlah wahai orang-orang Yahudi ketika nenek moyang kamu dahulu brkata: Hai Musa, kami tidak akan beriman kepadamu, sebelum kami melihat Allah dengan mata kepala, Lalu mereka musnah disambar petir sedang kamu menyaksikannya".
Akan tetapi apabila astronot itu menggunakan dasar pemikirannya untuk mencari dengan cara yang jernih, bersih serta penuh dengan kesadaran dan keinsafan untuk mencari kebenaran, maka ia pasti akan meyakinkan kebesaran kesucian Tuhan Yang Maha Esa, tanpa membutuhkan penglihatan mata, malah penglihatan mata bisa palsu serta dipalsukan. Seorang penerbang angkasa luar yang teleh dipersiapkan dengan segala macam persiapan dan perbekalan untuk pertahanan dirinya, sehingga ia bisa kembali ke bumi dengan selamat, dan menceritakan segala pengalaman yang dipetiknya dalam perlawatannya itu, tentulah dalam lubuk hatinya timbul pengertian yang dalam tentang kekuasaan Tuhan yang menciptakan seru sekalian alam. Dan dia akan mengatakan sebagaimana diterangkan Allah dalam Al-Qur'an surat Al-Imron 191 yang artinya; "Orang yang mengingat Allah sewaktu mereka berdiri, duduk dan berbaring, serta memikirkan penciptaan atas langit dan bumi, maka mereka akan berkata: 'Wahai Tuhan kami, tidaklah ciptaan-Mu ini sia-sia'. Maha Suci Engkau dan lindungilah kami dari siksa neraka".
Lagi pula secara ilmiah tidaklah dapat menentukan bahwa Tuhan itu tidak ada dengan alasan karena Ia tidak kelihatan.
Imam Ghazali di dalam kitabnya Ihya 'Ulumuddin (jilid 4 halaman 312) mengatakan : "…Penglihatan manusia itu adalah lemah, tidak dapat melihat cahaya sinar yang sangat kuat, seperti kelelawar, tidak dapat melihat di siang hari".
Pendapat lain mengatakan: "Sifat-sifat yang sangat menonjol bisa menutupi zat yang memiliki sifat itu sendiri, seperti matahari karena cahayanya yang menonjol begitu kuatnya, maka sukar melihat zatnya sendiri. Maka sifat Zat Yang Maha Kuasa yang menciptakan alam semesta yang sangat menonjolbagi umat manusia, menyebabkan kita tidak dapat melihat Zat Tuhan dengan mata kepala kita.
Mata manusia dapat di contohkan sebagai pembuatan kaca mata., Artinya kaca mata itu ada yang dibuat khusus untuk melihat jarak dekat, jarak jauh dan benda-benda yang sangat kecil. Masing-masing kaca itu hanya dapat di pergunakan untuk maksud-maksud yang khusus itu, tidak dapat dipergunakan untuk semuanya. Umpamanya kaca mata untuk jarak jauh tidak dapat dipergunakan untuk jarak dekat begitu juga sebaliknya. Demikian pula halnya dengan mata manusia ini yakni hanya di buat oleh Tuhan khusus untuk melihat benda-benda, bukan untuk melihat Zat Tuhan Yang Maha Esa, yang tidak serupa dengan sekalian makhluk.
Kalau kondisi pembuatan mata manusia ini di ubah untuk melihat Zat Allah Yang Maha Kuasa, barulah kita dapat melihatNya, sebagaimana orang-orang yang beriman kelak di hari akhirat akan dapat melihat Zat Tuhan, sebagai salah satu nikmat yang paling tinggi yang di karuniakan Allah kepada orang-orang yang beriman.
Kalau kita hendak berpegang kepada pendapat Ibnu Abbas yang menyatakan bahwa Nabi Muhammad SAW dapat melihat Allah pada malam Isra' dan Mi'raj, maka kita akan dapat menarik hikmah dari operasi yang di laksanakan oleh Malaikat Jibril dan Mika'il sebelum Isra' dan Mi'raj itu dimulai, sehingga kondisi tubuh Nabi sendiri telah berlainan dari sebelumnya, maka Nabi Muhammad dapat menempuh dan menerima hal-hal yang luar biasa.Akan tetapi Aisyah RA sendiri tidak sependapat dengan Ibnu Abbas.(***)

FILOSOFI TENTANG CINTA




Jika seorang gadis mengatakan pada orang tuanya bahwa ia akan menikah atau sudah memiliki pasangan, sang orang tua biasanya akan bertanya, "Dia bekerja dimana atau pekerjaannya apa?" Atau mungkin pertanyaan lain yang masih sejenis. Bila diterjemahkan. Cinta boleh-boleh saja, tapi cinta tidak cukup hanya dengan cinta, dalam cinta harus ada kejelasan mengenai nasib dan masa depan. Ada proses meterialisasi cinta, dan proses kalkukasi hati. Bukan karena si orang tua hendak mencari keuntungan seperti halnya pedagang, tapi hanya ingin melindungi sang anak.
Semua orang tua tentu ingin masa depan anaknya bahagia, jika perlu dipakai rumus : masa kecil bahagia, remaja dimanja, dewasa kaya raya, tua sejahtera, dan mati masuk surga. Ideal memang, Namun persoalannya, apakah arti kebahagiaan dan siapakah yang dapat merasakan kebahagiaan? Juga apa tolak ukur bahagia? Semua absurd. Dan karena jawaban dari pertanyaan-pertanyaan itu sifatnya pribadi, tak terukur, maka orangtua cenderung mengambil jalan pintas, Ukuran minimal kebahagiaan adalah jaminan hidup mapan, jaminan materi.
Persoalannya adalah dapatkah cinta dilihat dari sudut logika? Karena sesungguhnya logika cinta adalah tidak mengenal apa-apa. Cinta hanya mengenal cinta. Jika cinta dilogikakan dengan angka, itu adalah cintanya kaum pedagang. Dan logika pedagang adalah yang penting untung. Tetapi mana mungkin cinta dilihat dari sudut untung rugi??
Jika cinta dipaksa untuk melihat untung rugi, maka betapa banyak kerugian yang diderita oleh kaum pecinta, karena derai airmata, kantuk yang tertunda, jiwa yang nelangsa, badan yang tersiksa, demam karna asmara, ribuan kata-kata yang beterbangan di udara lalu berubah menjadi hembusan angin yang mendatangkan angan-angan, semua itu tak ternilai harganya. Dan oleh kaum pecinta, semua itu tidak dianggap sebagai pengorbanan. Karena bagi mereka dalam cinta tidak ada pengorbanan. Jika seorang pecinta masih menghitung pengorbanan, akan mengubah dirinya menjadi martir. Martir cinta, judul yang cocok untuk lagu-lagu cengeng.
Lantas dimanakah ukuran cinta sejati itu? Bisa di hati, bisa di langit atau nirwana, atau mungkin di tanah pekuburan.
Jika demikian, apa atau siapa makhluk yang bernama cinta itu? Hanya Majnun dan Layla, Romeo dan Juliet, Stevan dan Magdalena yang mampu menjawab. Tetapi toh mereka tidak akan mampu menjawab dengan kata-kata, karena seluruh alat tulis yang ada di dunia, tidak akan cukup menjelaskan makna cinta. Mereka hanya bisa merasakan kehadiran cinta, meminum manisnya anggur cinta, namun mereka tidak sanggup berbicara apa-apa tentang cinta.
Bagi mereka, harta, tahta dan seluruh isi dunia tidak ada nilainya. Semua itu tak sebanding dengan cinta yang bersemi di hati mereka, yang akarnya menancap di hati dan pikiran, lalu menumbuhkan kesadaran, semangat dan daya juang.
Sudah banyak kisah-kisah di dunia ini yang menjelaskan ketidak jelasan cinta. Sudah beribu-ribu bangsa menahan detak nafasnya untuk menunggu kehadiran cinta. Namun sayang tidak dari semua manusia di dunia ini yang memiliki cinta. Cinta telah tercerabut dari rejim otoriter, kaum kapitalis-feodalis, dan kebanyakan politisi. Dihati mereka tidak ada cinta, hingga gemar menumpahkan darah,"Memakan bangkai"manusia, menghisap tenaga manusia dengan upah rendah, mempolitisir dan mengeksploitir jiwa-jiwa manusia hanya demi ambisi, kekuasaan dan status.
Padahal cinta memusuhi ambisi, melawan kekuasaan, dan tidak peduli dengan status. Cinta adalah semangat keabadian yang tumbuh dan terus bertahan dari generasi ke generasi, dari masa lampau, kini dan mendatang. Cinta adalah bentangan sejarah yang terus dikenang dan dipikirkan serta dikisahkan.
By : Ainul Yaqien (UZ-CH)

CINTA


(1 minggu di Kediri/November-2007/UZ-CH)
Bila belaian tangan cinta sudah menyentuh jiwa, kekejaman pedang kaisar Romawi, atau bengisnya orang Barbar tak akan sanggup melawannya. Cinta akan membuat orang yang mengecapnya menjadi gagah perkasa seperti Iskandar Zulkarnain. Akan cerdik dan cerdas melebihi Einstein. Dan jiwanya akan lembut selembut angin gunung yang menawarkan kesejukan. Cinta adalah misteri, yang mendorong lelaki yang tampan rupawan dan cerdas seperti Qois menjadi gila, mendorong Romeo bunuh diri, mengajak Stevan menghayati kesunyian dan penderitaan.
Kaum pecinta tidak akan meneteskan air dari matanya, melainkan darah dari jantungnya, bila sang kekasih menderita. Dan bagi mereka tidak ada kata yang lebih indah selain kata yang keluar dari hati, kemudian terpancar melalui mata. Bahasa mata bagi kaum pecinta bagai sinar mentari yang menerangi dunia, hangat dan hidup. Sepatah kata yang diucapkan oleh lidah-lidah mereka, bak angin surgawi yang memberikan kesejukan dimuka bumi. Jika seorang pecinta menitikkan air mata, anginpun akan berhenti berhembus, daun-daun yang hijau akan menguning dan rontok bagai ditiup prahara. Kesedihan kaum pecinta akan dirasakan oleh alam lebih dahsyat dari badai Tsunami.
Tiada kebahagiaan dan kesedihan yang lebih besar dan tiada beban yang lebih berat bagi seseorang kecuali ia sedang jatuh cinta. Sungguh betapa dahsyatnya kekuatan cinta, hingga mata, akal dan pikiran terpengaruh. Mata seakan menjadi menjadi buta, akal menjadi terganggu, dan pikiran menjadi kalut, menyebabkan semua yang ada di sekelilingnya seakan sirna.
Begitulah perasaan yang sedang aku alami saat ini. Dimanapun aku berada, rasanya tak ada satupun makhluk kecuali yang aku cinta. Bayangan akan wajah orang yang telah menawan hatiku selalu hadir menjelma menjadi kawan di waktu siang dan menjadi mimpi dimalam hari.
Cinta telah membuatku lemah tak berdaya, seperti anak hilang, jauh dari keluarga dan tidak memiliki harta. Cinta laksana air yang menetes dan menimpa bebatuan, waktu terus berlalu dan bebatuan itu akan hancur, berserak bagai pecahan kaca. Begitulah cinta yang telah merangkul jiwaku, dan kini hatiku telah hancur binasa, hingga orang-orang memanggilku si dungu yang suka menangis, mereka mengatakan kalau aku telah tersesat begitu jauh. Duhai, mana mungkin cinta menyesatkan? jiwa mereka sebenarnya kering, laksana dedaunan diterpa panas mentari.
Dunia ini terasa begitu sunyi dan lengang, tak lagi ku dengar suara kehidupan, seolah malam terus berlangsung tanpa henti. Seolah semua insan di muka bumi ini selalu tertidur di pembaringannya, dan tidak pernah bangun. Aku seperti hidup terpencil di gurun pasir yaang jauh dan terpencil, terpisah dari alam semesta beserta isinya. Disana tak ada seekor burungpun. Tidak ada air sungai yang mengalir di lereng-lerengnya. Tak ada seekor hewanpun yang berkeliaran disekelilingnya. Aku mengembara siang dan malam seorang diri mencari kebebasan, tetapi tak mengetahui arahnya. Aku paksakan diri untuk tetap bertahan, tetapi kejenuhan dan kebosanan membunuhku.
Kapankah tiba saatku menemukan kebebasan dari kekusutan pikiran dan kesedihan-kesedihan ini?
Tak ada sesuatupun di dunia ini yang bisa menghibur diriku selain wanita yang menjadai pujaan hatiku, dialah segalanya bagiku. Jika aku kehilangan dirinya, tak mungkin kan aku dapat menemukan pengganti. Keadaanku sekarang bagai orang yaang mempertaruhkan seluruh miliknya dimeja judi, dan ketika dia kalah maka lenyaplah segala hartanya.
Meskipun sebenarnya bagiku cinta adalah keindahan yang membuatku tak bisa memejamkan mata. Hati yang sekian lama membekupun akhirnya mencair bak gunung es yang terkena sinar mentari. Kobaran api cinta telah membakar hatiku hingga hangus menjadi abu. Remaja manakah yang dapat selamat dari api cinta????? Semua amal baik yang ku lakukan belum mampu mengusir rasa gundah-gulana yang bersemayam di hati. Siang dan malam aku selalu memohon kepada Allah Azzawajalla agar perasaan ini tidak menjadi angan-angan dan mimpi belaka.
"Ya Rabb, aku selalu memujaMu, Selalu menyembahMu, tapi mengapa doaku belum juga engkau kebulkan? Air mataku yang bening dan jernih menetes membasahi sajadah karena merindukan kekasih hati yang tak kunjung menjelma di kehidupan yang nyata. Ya Allah ya Tuhanku, Engkau adalah ilham dan pemberi pujaan hati, hamba memohon kepadaMu obatilah kerinduan hamba".
"Walau hati gelisah tak menentu, tidak pula aku menjauh dariMu, aku tetap penuh harap kepadaMu, karena Engkau adalah ilham bagiku untuk memetik dawai gitar, menjalin sya'ir cinta nan indah menjadi doa-doa dan harapan akan anugerah".
"Aku laksana singa yang mencari mangsa di padang belantara, di antara binatang-binatang liar. Aku menjelajah mencari kebahagiaan yang hilang dari diri hamba. Cinta adalah bunga kehidupan terindah, yang mampu menggetarkan perasaan. Namun apalah arti cinta jika yang menyebabkan aku merindu tak ku miliki".
"Apa lagi yang diharapkan oleh hamba yang lemah sepeti diriku selain memperoleh kekasih yang akan membuat kehidupan menjadi bahagia. Kekasih adalah mutiara yang akan membuat hamba lebih berkilau laksana cahaya, berpijar dengan sinar yang kemilau,membuat diri ini semakin indah cemerlang. Anugerahilah permata yang indah itu ya Rabb, Tunjukkanlah keajaibanMu, Tampakanlah kekuatanMu yang menakjubkan itu ya Ilahi".

Bersama bala kurawa




Senin, 10 Desember 2007

Menelusuri Jalan Sufi



Oleh: Ainul Yaqien


Dari sekian banyak orang yang meragukan sufisme, berasumsi bahwa sufiyyah lebih pantas dikategorikan sebagai ahli bid'ah atau ahli fasik
Kurang lebih dua dekade belakangan ini, di negeri-negeri maju ada kecenderungan di antara sebagian warganya untuk mempelajari spiritualisme. Keberhasilan peradaban modern dalam memenuhi tuntutan kemakmuran hidup ternyata justru menciptakan kegelisahan sosial. Akibatnya, sebagian orang mencoba keluar dari kebuntuan itu dengan melirik spiritualisme, yang menawarkan ketenangan dan kedamaian.
Kebutuhan spiritualisme di negeri maju itu sebenarnya sudah berlangsung lama dibanding di negara-negara berkembang. Di Amerika Serikat, misalnya, kebutuhan spiritualisme sudah kuat terasa sejak tahun 1960-an. Hal itu bisa dilihat pada maraknya budaya hippies yang memberontak terhadap nilai-nilai yang dianggap mapan. Ini menandakan, mereka tengah berusaha mencari alternatif baru dalam spiritualisme.
Dikala manusia hanya memandang materi sebagai kebutuhannya dan makin maraknya faham sekuler pada akhirnya mereka ingin kembali mencerahkan hatinya dengan kembali pada jalur religi, sebagaimana yang sering kita jumpai akhir-akhir ini banyak sekali dari pelbagai kalangan yang merasa tertarik dengan ajaran sufistik kendatipun banyak juga yang menyangsikan ajaran itu.
Dari sekian banyak orang yang meragukan sufisme, berasumsi bahwa sufiyyah tidaklah pantas dikategorikan Ahli Sunnah Wal Jama'ah melainkan sebagai ahli bid'ah atau ahli fasik, karena mereka beranggapan sufiyyah dalam keilmuannya banyak sekali mengadopsi budaya hindu dan faham filsafat yunani, keterangan ini dikutip dari maqolahnya DR. Zakki Mubarok dalam kitab Akhlak Lil Ghozaly.
Imam Murtadlo Az Zabidi dalam kitab Ittihafus Sadah menjelaskan," Golongan-golongan yang kontra dengan ajaran sufiyah berasumsi bahwa diantara ajaran sufi dengan budaya hindu terdapat banyak kesamaan dalam sisi amaliyyah dan akhlaq semisal zuhud, meninggalkan kesenangan dunia, bahkan menilai tokoh-tokoh sufiyyah seperti Abu Yazid Al Bashthomi, Syekh Ma'ruf Al Karkhi, Syekh Abil Qosim Al Junaidi merupakan orang-orang yang bodoh dalam syari'at islam."
Asumsi ini sangatlah keliru, karena persepsi mereka hanyalah berdasarkan pada dhohir amaliyyah para sufi. Mereka tidak mengetahui bahwa hakikat sufiyyah ialah orang-orang yang ilmiyyah amaliyyah dan amaliyyah ilmiyyah.
Makna Tasawuf
Imam Sya'roni dalam pembukaan kitab Thobaqotussufiyyah menuturkan "Teman, ketahuilah bahwa ilmu tasawwuf merupakan istilah dari pengejawantahan sebuah ilmu yang terdapat dalam sanubari para saint (kekasih) Alloh ketika hati tersebut bersinar akibat pengaruh amal perbuatan yang relefan dan sesuai dengan Al-qur'an dan Al-Hadits. Sehingga bagi siapapun yang mengerjakan amal amal perbuatan dengan bertendensi pada keduanya maka akan terbias berbagai macam ilmu pengetahuan, norma-norma social, ilmu-ilmu yang bersifat supranatural dan hakikat yang tak dapat dilukiskan dengan kata-kata, sebagaimana hukum-hukum yang ditetapkan oleh ulama syara' dapat menmimbulkan pengaruh-pengaruh diatas manakala diaplikasikan sesuai dengan apa yang diketahui.
Definisi Tasawuf menurut persepsi Syaikh Abu Yazid Al Bushthomi sebagai berikut " Akhlaq merupakan permulaan tasawuf dan tasawuf merupakan tujuan akhir dari akhlaq".
Pada kesempatan lain Imam Sya'roni mengatakan "Tasawuf merupakan inti perbuatan dari seorang hamba yang berdasarkan hukum syari'at dengan konsekwensi selama terhindar dari penyakit hati dan kepentingan-kepentingan pribadi ( hudhudun nafsi ) yang kontradiktif dengan sifat ikhlas". Hal tersebut sebagaimana ilmu ma'ani dan ilmu bayan yang notabene merupakan saripati dari ilmu nahwu (Gramatika arab) Sehingga dibenarkan apabila seseorang menjadikan ilmu tasawuf sebagai salah satu disiplin ilmu atau dijadikan sebagai hakikat ilmu syar'ie, Dan dibenarkan pula apabila sese'orang menjadikan ilmu bayan dan ma'ani sebagai satu mata pelajaran yang berdiri sendiriatau digolongkan sebagai bagian dari ilmu nahwu. Hanya saja yang mengetahui bahwa ilmu tasawuf merupakan hakikat ilmu syar'ie hanya orang-orang yang yang mumpuni atau menguasai syari'at secara sempurna.
Imam Sya'roni mengatakan "Para sufi sepakat bahwa seseorang belum layak menjadi pimpinan thoriqoh kecuali ia telah menguasai ilmu syari'at serta bisa membedakan antara ma'na mantuk dan mafhum (tersurat dan tersirat), khos dan 'am (khusus dan umum) juga mengetahui nasikh dan mansukh. Disamping itu juga harus mahir dalam segala sesuatu yang berhubungan dengan seluk beluk bahasa Arab' sehingga tahu antara majaz, tasybih, kinayah dan sebagainya". Kesimpulannya setiap sufi pastilah Faqih (seseorang yang ahli dalam bidang ilmu Fiqih) tapi tidak sebaliknya, sebab tasawuf tidak syah tanpa dibarengi dengan fiqh, hal ini sesuai dengan maqolahnyaa sebagian ulamu " Barangsiapa yang berfiqih (mengamalkan ajaran syaru'at) tanpa tasawuf maka dia adalah kosong, dan barangsiapa yang bertasawuf tanpa fiqih maka ia adalah yang bathil.
Imam Abu Qosim Al Junaidi Al-Baghdadi memberikan pernyataan sebagai penguat argumen diatas "Madzhab kami (sufisme) berpedoman pada Al-kitab dan Sunnah (tidak menyimpang dari keduanya).
Dalam kesempatan lain beliau menuturkan "Barangsiapa tidak memahami hukum yang terkandung dalam Al-Qur'an dan Al-Hadits maka tidak bisa dijadikan panutan dalam menempuh jalan sufi. Sebab ilmu tasawuf bersumber dari keduanya.
Imam Sya'roni memberikan penjelasan yang beliau nuqil dari syekh Izzuddin Bin Abdissalam, " Karomah ( khoriqul 'addah) merupakan salah satu bukti kongkrit bahwasannya para sufi menjalankan prinsip dasar agama secara optimal yang mana hal ini tidak terjadi pada fuqoha', kecuali jika mau menempuh jalan yang telah dilalui oleh para sufi. Statement ini beliau (syekh Izzuddin Bin Abdissalam) nyatakan setelah beliau berguru pada syekh Abu Hasan As Syadzily.
Sebelum menjadi santri Syekh Abu Hasan As Syadzily beliau mengingkari jalan yang ditempuh oleh para sufi sembari berkata : "Apakah wushul kepada Allah bisa ditempuh dengan selain Al-Qur'an dan Sunnah? Namun setelah beliau merasakan apa yang telah dialami oleh para sufi dan beliau mampu mematahkan rantai yang terbuat dari besi dengan menggunakan secarik kertas, yang hal ini merupakan salah satu keramat yang di anugrahkan Allah, barulah beliau taslim dan memuji para sufi setinggi langit.
Semua uraian di atas merupakan hakikat tasawuf dan perjalanan hidup (biografi) para shodiqin dari kaum sufi.
Untuk membahas orang-orang yang mengklaim dirinya sebagai seorang sufi yang hanya menampakkan atribut-atribut kesufiannya dan sebagainya, karena sebenarnya mereka hanya mengaku-ngaku saja dan tidak memenuhi syarat untuk menempuh jalan sufiyah.
Telah diketahui bahwasannya bila suatu perkara tidak memenuhi syarat maka tidak di anggap syah perbuatan tersebut, semisal sholat yang tidak bisa dihukumi syah apabila si pelaku tidak memiliki wudlu, Sehingga merupakan kesalahan besar apabila para sufi disamaratakan dengan para pendusta yang mengklaim dirinya sebagai ahli sufi. Hal ini sama artinya menghukumi sesuatu dengan yang lain seperti halnya orang yang melihat gambar yang terpampang di di dinding kemudian berkata : "Ini kuda (sambil menunjuk pada gambar tersebut), setiap kuda dapat meringkik, maka kesimpulannya gambar kuda yang terpampang di dinding bisa meringkik juga". Analog semacam ini dalam istilah Ilmu mantiq (ilmu logika) disebut Sabsathoh yaitu Qiyas yang terbentuk dari beberapa Qodliyah yang kadzib, yang biasanya digunakan oleh orang-orang yang mengingingkari terhadap para sufi untuk mengelabuhi orang yang tidak tahu ilmu logika.
Bahkan merupakan kekeliruan bila sufiyah diatasnamakan bagi orang-orang yang mengklaim dirinya sebagai sufi, karena memfonis sesuatu yang bersifat kully (Global) dengan hukum ba'di (Sebagian) hal ini laksana seorang yang melihat buaya sedang menggerakkan rahang bagian atasnya, kemudian ia berinisiatif bahwa hal tersebut merupakan karakter seekor binatang, maka kemudian iapun menyimpulkan bahwa setiap binatang itu pasti menggerakkan rahang atas ketika sedang melahap mengsanya.
Kesimpulan tersebut bagi orang yang sedikit bernalar tentu akan menyalahkan analogi semcam ini. Analogi di atas juga bisa di aplikasikan pada suatu kejadian disaat seseorang melihat orang gila lalu berkata " ini orang gila, sedang ia manusia", kemudian ia menyimpulkan, "setiap manusia itu gila", maka tidak diragukan lagi ia sendiri yang gila.
Ulasan diatas rasanya cukup dijadikan sebagai jawaban dan bukti bagi orang-orang yang mendapatkan taufiq dari Allah SWT, Lain halnya bagi orang yang keras kepala dan tidak mendapatkan hidayah dari Allah SWT, mareka tidaklah mau menerima dalil, hujjah ataupun bukti-bukti kongkrit, bahkan semua itu mereka anggap sebagai pemanis bibir dan penghias kata untuk mengelabui masyarakat awwam.(***)

Mengokohkan Kepribadian

Kepribadian adalah aktivitas kejiwaan manusia terhadap lingkungan hidupnya. Aktivitas kehidupan adalah tanggapan dari 4 jenis psyche yaitu pikiran, perasaan, intuisi, dan tanggapan indera. Keempat-empatnya bekerja konpensatoris (berhubungan) dan komplementair (isi-mengisi). Dalam hal hidupnya manusia dihadapkan kepada berbagai tantangan. (challence) yang harus di jawabnya dengan jenis-jenis psyche itu, tetapi di antaranya ada yang sering dipekerjakan, sehingga membentuk perwatakan yang di sebut tabiat (habitual).
Tabiat ini tidak sama bagi semua orang, karena challence yang dihadapinya tidak mungkin sama. Akhirnya terbentuklah bagi manusia kepribadian yang berbeda-beda.
Dengan mengkokohkan kepribadian, kita maksudkan agar kepribadian itu berpola agama (agama minded). Selalu dihadapkan kepada so'al-so'al keagamaan membuat analisis secara agama. Membahas persoalan hukum etik, dan lain-lain secara agama, sehingga kehidupannya tidak lepas barang sesaatpun dari agama. Dalam surat Al-An'am 162 Tuhan memerintahkan : Katakanlah (ya muhammad), shalatku, ibadahku, hidupku, dan matiku hanya berbakti kepada Allah seru sekalian alam".
Salah sekali orang yang memisahkan urusan keagamaan dengan urusan keduniaan. Islam tidak mengenal demikian, keduanya di tujukan untuk mencapai keridlaan Tuhan. Hanya Islam tidak memberikan peraturan yang kaku tentang keduniaan, memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada perkembangan masyarakat dan pilihan manusia, asalkan perkembangan dan pilihan itu menuju kepada keridlaan Tuhan. Mengenai hal itu Allah SWT berfirman dalam Surat Al-Qoshosh 77 : "Carilah dengan segenap daya upaya yang diberikan oleh Allah kepadamu untuk kepentingan hari akhirat, tetapi jangan sampai engkau lupakan bagianmu di dunia. Dan berbuat baiklah sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, Dan janganlah engkau berbuat kerusakan di muka bumi, Allah tidak menyukai orang yang berbuat kerusakan".
Dengan kuatnya kepribadian itu, tidaklah manusia mudah di tarik dan di hempaskan kesana-kemari oleh hawa nafsu dan godaan syaithan, atau ditengah-tengah gelombang menghebat yang kadang-kadang merupakan keruntuhan semesta, kaum Muslimin yang kuat kepribadiannya akan dapat saja mencari jalan.(***)
Ainul Yaqien

Mengokohkan Persaudaraan



Kepribadian yang kuat di satu pihak, mudah sekali menimbulkan dominasi terhadap pihak yang lain; dan selama dominasi itu ada, akan terjadilah tindas-menindas dan hisap-menghisap. Golongan yang ditindas akan berusaha melepaskan diri dan manakala sudah kuat akan berusaha pula membuat revanch. Demikianlah akan terjadi balas-membalas tidak habis-habisnya. Tetapi bukanlah demikian maksudnya dominasi Islam, bukan dominasi kelas, dan jauh sekali dari dominasi ras. Dominasi Islam harus ditujukan kepada persaudaraan dan perasaan. Banyak sekali nash-nash Qur'an dan Hadits yang menekankan persaudaraan dan persamaan itu untuk menjaga dan mengingatkan dengan keras agar jangan terjadi dominasi itu, antara lain surat Al-Hujurat 10 yang artinya : "Sesungguhnya orang-orang Mu'min itu bersaudara,maka perkokohkan persaudaraan di antara kamu'.
Orang-orang mu'min ialah orang-orang yang beriman kepada Allah Yang Maha Tunggal dengan pengertian yang sebesar-besarnya. Allah SWT manjadikan keimanan itu sebagai dasar persaudaraan yang harus diperkokoh, tanpa membedakan bangsa dan warna kulit, sebagaimana hadits yang di riwyatkan Imam Muslim dan lain-lainnya : "Tidak ada kelebihan bangsa Arab dari bangsa Ajam (bukan Arab) dan tidak ada kelebihan orang yang berkulit putih dari orang yang berkulit hitam, melainkan kerena bertaqwa dan beramal shaleh".
Dalam berhubungan dengan agama lain, Allah memberikan tuntunan dalam surat At-Taubah 6 sebagai berikut : "Jika seseorang dari kaum musyrikin meminta perlindungan kepadamu (hai muhammad), maka lindungilah ia, sehingga ia dapat mendengar firman Allah. Sesudah itu, (apabila ia tidak beriman juga), kembalikanlah ia ketempat keamanannya (tampat kaum keluarganya). Demikianlah, karena mereka kaum yang tidak mengetahui". (***)
Ainul Yaqien

Album photo kanca-kanca PA


Sahabatku

Detik-detik telah berlalu

Kuraih wajahmu dalam bayanganku

Kucipta kembali canda tawamu

Akh…
Kusadari semua hanyalah angan-anganku
Kaubegitu jauh disana
Dalam diam kupejamkan mata
Dalam rindu kupinta do'a
Semoga kau bahagia disana
Dan persahabatan kita kekal adanya

Disela tawamu…
Kutahu ada luka dihati
Dibalik candamu…
Masih ada luka yang dalam
Jangan dustai kata hatimu
Dengan kegembiraan semu
Aku sahabatmu
Siap membantumu

Melepas beban dukamu
Agar kembali hadir ceriamu

Sahabatku…
Kegembiraan yang selama ini bersama kita
Kini berakhir sudah
Saat-saat canda ria kala bersama
Telah ditebus dengan gelinang air mata

Jangan kau bersedih hati wahai sahabatku
Walau lama tak berjumpa

Namun…hatiku kan selalu teringat pada kalian semua