Jumat, 14 Desember 2007

Brutus



Alangkah cepatnya peredaran waktu dan alangkah aneh tindak-tanduk dan peristiwanya. Apakah dalam sehari semalam saja semua harapan yang telah aku bina dengan baik, dengan mencurahkan segala penderitaan dan kepedihan, mencucurkan seluruh airmata yang aku miliki, berubah begitu cepat? Semua itu menjadi kisah usang yang dibungkus dengan cerita baru.
Beginikah rasanya hari kiamat! Beginikah rupanya dunia yang menjadi hancur lebur! Beginikah rasanya bintang-bintang yang rasanya berjatuhan di angkasa, langit terkatup seperti tertutupnya sebuah buku.
Dulu aku sempat berpikir tak ada yang dapat menghancurkan harapanku kecuali maut, Tetapi sekarang aku sendiri yang menghancurkan, daan memintal benang-benangnya dengan tanganku sendiri ketika aku masih hidup. Itulah keajaiban jaman yang tak pernah dilihat seorang pengamat, dan tak pernah di dengar oleh seorang pendengar.
Apa salahku dan apa dosaku ya Allah???? Aku telah mencintainya dengan cinta yang belum pernah dianugerahkan seorang manusiapun di muka bumi ini pada kekasihnya. Aku berjanji akan setia padanya dengan kesetiaan yang tidak dimiliki oleh seorang saudara pada saudaranya, dan seorang ayah pada anaknya. Aku menjunjungnya bagai seorang pemuja menjunjung dewanya Aku telah memenuhi seluruh kehampaan hidupku dengan membayangkan kebahagiaan bersamanya.
Aku tak melayangkan pandanganku kecuali untuk melihat wajahnya. Aku tak memiliki perasaan kecuali untuk mencintainya. Aku tak pernah bermimpi kecuali memimpikan bayangannya. Aku tak suka melihat matahari di waktu terbitnya kecuali, melainkan karena aku melihat bayangan dirinya dalam sinarnya. Aku tak sudi mendengar nyanyian burung pada dahan, kecuali karena aku mendengar suaranya. Aku tidak ingin memandang bunga-bunga yang sedang mekar dalam kelopak-kelopaknya, melainkan karena bunga-bunga itu menyerupai warna kecantikannya. Aku tak mengharapkan kebahagiaan dalam kehidupan ini melainkan untuk kebahagiaannya. Dan aku tidak ingin hidup di dunia ini melainkan untuk berada disampingnya, dan gembira karena melihat kegembiraannya.
Wahai mutiara pujaan hatiku, Jika engkau berpendapat aku tak layak mendapatkan cintamu, karena aku terlalu hina dan naif untuk memenuhi kehampaan hatimu, cintailah aku karena telah mencintaimu dengan tulus. Balaslah apa yang telah kuberikan kepadamu dari hidupku, air mata dan kepedihan, kesusahan dan derita, dengan kebaikanmu. Ketahuilah, engkau dapat menemui seorang lelaki yang akan membanjirimu dengan harta, atau membuatmu terpesona karena parasnya yang tampan, keturunan dan pengaruhnya, tapi engkau tak akan dapat menemukan seorangpun dari mereka itu yang mencintaimu, seperti cintaku yang tulus kepadamu. Mereka tidak memiliki kesetiaan yang setara dengan kesetiaanku padamu.
Duhai pujaan hatikuu, janganlah engkau percaya, bahwa di dunia ini ada kebahagiaan selain kebahagiaan cinta. Jika engkau percaya hal itu, celakalah engkau karena telah menghukum mati dirimu.
Dulu aku menganggapmu orang terakhir yang yang tak mengindahkan hal-hal lahiriah dan kosong. Hal yang membuatmu sangat agung di mataku dan membuatku sangat menghormatimu, bahkan membuatku bersedia mengabdi kepadamu, karena engkaulah satu-satunya wanita yang kutemui, yang memiliki hati suci, jernih, penuh dengan cinta yang putih dan tulus. Tak dikotori oleh kotoran angan-angan dan hawa nafsu yang rendah. Tak dikeruhkan oleh kebutuhan-kebutuhan hidup dan keserakahannya. Apakah ketika itu aku salah menduga???
Tidak,tidak! Engkau masih memiliki hati yang ku kenal hingga saat ini. Dan inilah yang membuatku khawatir dan menyesali keadaanmu.
Aku bertanya pada hatiku, apakah suaraku ini akan menembus ke lubuk hatimu? Apakah engkau bisa membayangkan bahwa aku mencintaimu lebih besar dari rasa cinta untuk diriku sendiri. Ungkapan perasaan yang aku katakan padamu dahulu karena semata-mata untuk memberi kesenangan daan kebahagiaan kepadamu, lebih besar dari keinginanku untuk memberi kebahagiaan dan kesenangan pada diriku sendiri.
Dulu aku mempunyai harapan dan cita-cita yang luhur dan mulia. Jiwaku penuh dengan sesuatu yang luhur dan mulia,. Jiwaku penuh dengan sesuatu yang agung dan tinggi. Dulu kurasakan ada kekuatan di tubuhku yang tak ada bandingannya di alam ini. Sekarang aku menjadi orang yang lemah, lesu, sakit, putus asa,hilang akal, tak berperasaan, tak berpikir, tak mengambil dan tak memberi, tidak bertujuan dan tidak punya hasrat. Aku tak dapat membawa kebaikan untuk diriku dan tak menolak kemalanganku. Keadaanku kini tak berbeda dengan keadaan tubuh yang tak bernyawa tercampak di tanah, atau seperti batu yang terbuang di tengah jalan.
Aku sering merana, dan aku kira tak seorangpun di dunia ini yang dapat memikul kepedihan seperti yang sedang aku alami, karena bunga hidupku telah layu sebelum bersemi. Masa tua seolah teleh datang, padahal aku masih muda belia. Semangat yang berkobar di hati, kecerdasan yang bersemayam di otak, dan kekuatan yang ada di tubuhku, semuanya telah hilang musnah.
Aku memanggilmu ratusan kali dalam sehari, Menjerit-jerit meminta tolong, menangis terisak-isak tanpa henti. Jika engkau pernah sekali saja dalam hidupmu melewati perempuan yang sedang bersimpuh di depan pusara suaminya, meratap dan menangis pilu, karena ia sangat mencintainya, dan suaminya telah meninggal dalam usia muda belia, miskin, dan meninggalkan anak-anak yang masih kecil, tak berdaya dan tak punya kekuatan dalam hidup, tentu engkau akan sedih karena kesedihannya dan akan menangis dengan tangisannya.
Bila engkau melihat dalam pengembaraanmu, seorang gadis yang sedang hilir-mudik, menangis tersedu-sedu dan mengemis pada orang-orang yang melewatinya untuk memberikan uang seribu rupiah, yang dibutuhkan untuk mengobati adiknya yang sedang sakit dan tak punya seorang penopang hidup dan perawat selain dirinya, tentu engkau akan mengasihani dan memberi apa yang dimintanya.
Bila engkau melewati tepi sebuah sungai dan melihat seorang perempuan sedang berdiri menangis dan menjerit-jerit, meminta pertolongan untuk anak satu-satunya yang tenggelam di sungai, didepan matanya, tetapi tak ada seorangpun yang menolongnya, hingga anak itupun terbenam kedasar sungai dan tak muncul lagi, lalu ia menjadi gila dan terjun ke sungai mengikuti sang anak, dan iapun terbenam di sungai itu bersama anaknya, tentu engkau akan merasakan pedihnya musibah itu dan menangisi.
Bila engkau telah mendengar kisah orang tua miskin yang rumahnya di datangi polisi. waktu ia sedang berlutut disamping isterinya yang sedang sekarat, serta anak perempuannya yang sedang sakit. Lalu lelaki tua itu di seret ke penjara karena telah mencuri sepotong roti, agar dapat menyambung jiwa kedua anggota keluarganya itu. Meskipun ia telah memohon kepada polisi itu agar memberi waktu, untuk menunggu kematian isterinya, namun polisi itu menolak dengan keras, hingga ia merasakan kepedihan, dan akhirnya menjadi gila. Namun polisi itu menyertnya juga, walau bukan ke penjara, tapi ke rumah sakit jiwa.
Bila engkau telah mendengar kisah seorang lelaki yang tersesat di padang pasir tandus dan ia merasa kehausan serta berlarian kian kemari mencari air, tapi tidak menemukan sumber air, hingga letih dan tak dapat berjalan lagi. Kemudian dari kejauhan ia melihat permukaan air yang berombak. Lalu ia merangkak kesana dengan kedua lututnya, mewarnai kerikil dengan darahnya yang bercucuran, hingga ia mendekati sumber air itu. Tetapi ketika mendekati air itu dengan jarak hanya selangkah, ia telah terhempas dan mati.
Bila engkau membaca kisah seorang wanita yang kelaparan, duduk di depan gubuknya dengan gumpalan daging merah yang teraduk dalam bejana di pangkuannya yang berkepulan uapnya. Namunn ketika orang-orang mendekat, mereka menjadi kaget, karena di tangan wanita itu terdapat pisau yang berlepotan darah. Mereka melihat pula potongan kaki kecil yang menyembul dalam panci itu. Mereka tahu bahwa kelaparan telah membuat wanita itu gila, hingga tega menyembelih bayinya sendiri, di potong-potong bagian tubuhnyaa dengan parang dan pedang, di masaknya untuk kemudian di makan.
Jika engkau telah mendengar kisah orang-orang yang bernasib sial itu, mendengar rintihan orang-orang yang berada dalam penjara, pekik dan jeritan orang-orang sakit di rumah sakit dan kemalangan orang-orang gila di rumah sakit jiwa, lalu engkau kasihan pada mereka, menangisi nasib mereka yang malang itu, maka ketahuilah, bahwa aku lebih menderita dari mereka semua. Lebih berhak mendapatkan bantuan, pertolongan, kasih dan sayangmu daripada mereka.
Sekarang tak ada lagi kekuatan yang tersisa lebih dari yang telah kupikul… Wallahu 'a'lam bisshawab…..!!!!!!!!!!

Shalat Khusyu



Oleh : Ainul Yaqien
Al Khusyu secara bahasa bahasa bermakna al-inkhtifaad (merendah),adz-dzul (tunduk), as-sukuun (tenteram). Dalam bahasa arab dikatakan,”Khasya’a, yakhsyau, khusyuan. Watakhasya’a arajulu,” artinya “ia mengarahkan dan menundukan pandangan ke bumi dan merendahkan suaranya.” Wakhasya’a basharu-ar-rajul artinya,”Pandangan laki-laki yang khusyu dan tenang.
Kata khusyu dipergunakan Al-Qur’an dengan makna-makna tersebut, sebagaimana firman Allah SWT,”Dan merendahlah semua suara kepada Tuhan Yang Maha Pemurah, maka kamu tidak mendengar kecuali bisikan saja.”(QS Thaha: 108).
Di dalam ayat lain Allah SWT juga berfirman,”Dan sebagian dari tanda-tanda (kekuasan)-Nya bahwa kamu melihat bumi itu kering tandus, maka apabila turunkan air di atasnya, niscaya ia bergerak dan subur.”(QS Fushshilat:39),
Yakni tanah yang kering dan tandus tak ada tetumbuhan dan hewan yang hidup di bumi. Tapi, ketika turun hujan, bergeraklah dan hiduplahj tanah tersebut. Itulah khusyu menurut bahasa. Tapi jika dilihat dari sisi penggunaannya menurut syara terdapat bermacam lafadz.
Khusyu pertama ditafsirkan dengan hati yang bersimpuh di hadapan Allah SWT dengan tenang dan tunduk. Kedua, tunduk kepada kebenaran. Cirinya, seorang hamba menerima dan tunduk terhadap nasehat dalam masalah yang diperselisihkan. Ketiga, padamnya syahwat yang membara, tenangnya gejolak dada sehingga memancarkan cahaya keagungan dalam hati. Keempat, hati yang tunduk terhadap Dzat yang mengetahui alam ghaib.
Ungkapan di atas tepusat pada satu tititk yaitu hati sebagai tempat khusyu. Sedang tanda-tandanya terpantul pada anggota tubuh. Khusyu tidak akan sempurna kecuali dengan terkumpulnya kondisi-kondisi yang saling mendukung. Ibnul Qayim berkata,”Khusyu, sebenarnya adalah sebuah makna yang menyatu antara pengagungan, kecintaan, ketundukan dan kepasrahan.”
Khusyu ketika shalat tidak terlepas dengan khusunya anggota badan. Adapun orang lalai mengerjakan shalat sepanjang waktu, lalu ingin khusyu dalam shalatnya, tentu akan mengalami kesulitan. Karena itu Allah SWT berfirman, ”Sesungguhnya sangat beruntunglah orang-orang yang beriman (yaitu) orang-orang khusyu dalam shalatnya. (QS Al-Mukminun : 1-2).

Memahami Al-Qur’an



Oleh : Ainul Yaqien
Orang yang mencintai Al-Qur’an pasti mencintai Allah, karena di dalamnya diterangkan sifat-sifat Allah SWT. Orang mencintai Al-Qur’an pasti juga mencintai Rasulullah SAW karena Al-Qur’an diwahyukan pada beliau. Rasulullah SAW bersabda, ”Barangsiapa mencintai Al_Qur’an, ia pasti mencintai Allah SWT dan Rasul-Nya (HR Bukhari).
Salah satu ciri paling jelas orang yang mencintai Al-Qur’an adalah selalu bersegera memahaminya, merenunginya, dan memikirkan makna-maknanya. Sebaliknya, tanda orang yang tidak mencintai AL-Qur’an adalah enggan merenungkannya dan memikirkan makna-maknanya. Allah SWT mencela orang-orang munafik karena mereka enggan memikirkan Al-Qur’an.”Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al-Qur’an? Kalau sekiranya Al-Qur’an itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya.” (QS An-Nisa:82).
Merenungkan Al-Qur’an dapat mengobati berbagai penyakit hati. Cahaya Al-Qur’an akan menembus ke dalam hatinya lalu menyembuhkan penyakitnya, membersihkan bahaya-bahayanya, dan memutuskan keragu-raguan dan gangguan yang dihembuskan ke dalam hati oleh setan dan jin.
Berbeda dengan kaum munafik. Mereka enggan merenungkan dan mengambil petunjuk dari Al-Qur’an. Sebab, hati mereka dijangkiti penyakit-penyakit syahwat dan keragu-raguan. Allah SWT berfirman,”Da;lam hati mereka ada penyakit, lalu Allah tambah penyakitnya itu, dan bagi mereka siksa yang pedih, disebabkan mereka berdusta.” (QS Al-Baqarah: 10).
Memperhatikan Al-Qur’an juga merupakan jalan memperoleh makna-makna dan memahami maksudnya. Hal ini merupakan pokok kewajiban agama. Mengetahui kewajiban agama merupakan salah satu dari kewajiban-kewajiban mengamalkannya. “Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al-Qur’an ataukah hati mereka terkunci.” QS Muhammad : 24).
Bagi orang yang mencintai dan memperhatikan Al-Qur’an akan mendapat kedudukan yang tinggi di sisi Allah. Mereka merupakan orang-orang yang tergolong sebagai umat yang penuh kebaikan. Dengan begitu, umat Muhammad SAW sebagai umat yang terbaik, sebagaimana firman Allah SWT,”Kamu adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia.” (QS Ali Imran: 110)
Kebaikan umat Muhammad SAW adalah karena mereka mempunyai karakter yang khas: yakni mereka ahlul Qur’an. Rasulullah SAW bersabda, “Sebaik-baik di antara kalian adalah orang yang mempelajari Al-Qur’an dan mengajarkannya.” (HR Bukhari).

Berlaku Adil




Hikmah



Ada sebuah kisah dari Al-Quran. Suatu hari dua orang laki-laki memanjat pagar istana Nabi Daud AS yang megah. Mendapati ada orang yang nyelonong begitu saja ke kediamannya, Nabi Daud amat terkejut. Salah seorang di antara mereka kemudian berkata, “Janganlah kamu takut. Kami ini adalah dua orang yang sedang terlibat sengketa. Salah satu dari kami telah berbuat zalim kepada yang lain. Maka berilah kepada kami satu vonis yang adil, janganlah kamu menyimpang. Tunjukilah kami ke jalan yang lurus.”
Kemudian orang itu mengajukan perkaranya. “Sesungguhnya saudaraku ini memiliki 99 ekor kambing betina dan aku mempunyai seekor saja. Maka saudaraku ini berkata kepadaku agar aku menyerahkan kambing yang hanya satu itu. Dan dia mengalahkanku dalam perdebatan,” ujarnya.
Nabi Daud AS segera mengerti apa yang tengah dialami dua orang itu. “Sesungguhnya dia telah berbuat zalim kepadamu dengan meminta kambingmu itu untuk ditambahkan kepada kambingnya. Dan kebanyakan dari orang-orang yang berserikat, sebagian berbuat zalim kepada sebagian yang lain, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan amat sedikit orang yang seperti itu,” ujar Nabi Daud.
Kisah yang termaktub dalam surah Shaad ayat 22-24 ini pada akhirnya adalah satu ujian. Sang raja yang juga seorang rasul, Daud AS, dihadapkan pada satu masalah yang sebenarnya bisa remeh mengingat agungnya kedudukan. Perihal kambing tentulah masalah sepele di tengah istananya yang megah. Apa pentingnya pula menyelamatkan satu ekor kambing padahal pemilik 99 ekor kambing telah berhasil menang lewat argumentasi tanpa kekerasan? Tapi di situlah soalnya, keadilan, yang memang selalu terhubung dengan kepemimpinan, tak pernah bisa benar-benar sempurna dikerjakan manusia.
Namun ia selamanya akan dihadapkan pada kita. Sebab itulah fitrah paling dalam, dalam kehidupan. Dan sang Nabi yang lulus ujian itu kontan bersujud minta ampun menyadari kelemahan dirinya yang, sekalipun telah resmi menjadi pembawa risalah dari Tuhan, tetap mesti diuji kembali keadilannya.
Allah SWT berfirman, “Kami akan memasang timbangan yang tepat pada hari kiamat, maka tiadalah dirugikan seseorang barang sedikit pun. Dan jika (amalan itu) hanya sebesar biji atom pun, Kami akan mendatangkan pahalanya. Dan cukuplah Kami menjadi pembuat perhitungan.” (QS Al-Anbiya: 47)
Makanya kemudian kita tak hanya selesai mengartikan adil sebagai satu amal di mana sesuatu (syai) ditempatkan pada porsinya: yang hak pada porsi haknya seraya menempatkan yang batil juga pada porsinya. Sebab sering sekali mulut kita terkunci, tangan kita kaku, atau hati kita berpaling dari keadilan karena tak selamanya itu membuat kita beruntung. Keadilan yang agung memang selalu disertai dengan kepahitan dan pengorbanan. Qulilhaq walau kana murron. (***)
Ainul Yaqien

Mencari Otentisitas Masa Depan Bangsa





Oleh : Ainul Yaqien

Otentisitas berasal dari bahasa bahasa barat. Dalam bahasa dalam bahasa inggris ditulis authenticity, dalam bahasa prancis authenticite, kemudian di Indonesiakan menjadi otentisitas, yang berarti keaslian, ketulenan, dan kesjatian.
Bangsa kita sekarang sedang mengalami kegalauan sistem nilai. Mampukah kita menemukan kembali keaslian nilai-nilai kebangsaan dalam suasana yang serba tidak menentu sepeerti sekarang ini? Untuk menjawab pertanyaan ini kita harus melacak kembali arah gerakan bangsa kita yang kelihatannya meluncur tanpa peta masa depan, akibat dosa kolektif yang kita lakukan selama puluhan tahun.
Dilihat dari sudut sistem nilai kita dapat mengatakan bahwa krisis yang kita derita sekarang dapat dicari akarnya pada dosa dan dusta yang sudah terlalu banyak dikerjakan, dan tak jarang dosa kolektif itu dilakukan secara berjamaah oleh aparatur negara. Semua itu dilakukan atas nama konstitusi, kepentingan rakyat, dan bangsa, serta atas nama agama atau atas nama kebenaran. Maka akibatnya bercampurlah antara kepalsuan dan kesejatian, antara jasa dan dusta, antara haq dan bathil,Suatu keadaan yang memang sangat dikutuk oleh semua Kitab suci.
Al-Qur'an dengan tegas menyatakan, "Dan janganlaah kamu mencampur adukan antara yang haq dengan yang bathil, dan kamu sembunyikan yang haq itu, sementara kamu mengetahuinya".(QS Al-Baqarah 42)
Di negeri ini telah banyak berdiri lembaga yang mengatas namakan gerakan Amar ma'ruf nahi munkar, tetapi jangkauannya baru menyentuh daerah-daerah pinggir kehidupan bangsa, sementara pusat-pusat kemunkaran (Al-Munkarat) terus saja bergerak membawa kita ke jurang kebangkrutan dan kerusakan.
Visi dan persepsi yang dikembangkan selama ini masih terbatas, dibatasi oleh ketidak berdayaan hingga belum mampu membaca realitas bangsa secara lebih utuh dalam kerja menguji dan menggumuli kebenaran dalaam melawan realitas hidup yang serba keras, korupsi, kolusi daan nepotisme. Atau meminjam istilah M Amien Abdillah, tentang adanya pertaraungan yang terus menerus antara normativitas dengan historisitas dalam wilayah kemanusiaan. Nilai-nilai normatif jauh dilangit, sementara realitas historis berada dalam suasana ketidak adilan, kekacauan, daan kegalauan. Indonesia kini memang sedang berada di ambang senja menjeeelang malam bahkan mungkin sudah menginjak malam.
Dalam sejarah tidak ada jaminan dari Tuhan, bahwa suatu negeri yang dihuni mayoritas Muslim akan bertahan dalam keadaan kuat, aman, dan damai untuk selama-lamanya, jika penduduknya telah terbiasa berkubang dalaam lumur dosa dan dusta, serta tidak memperjuangkan tegaknya keadilan dan kewajaran. Padahal salah satu filosofi negara Indonesia berbunyi "Kemanusiaan yang adil dan beradab", namun kenyataannya menunjukkan, "Kemanusiaan yang zalim dan biadab".
Kita telah kehilangan kepekaan terhadap nasib sesama. Indonesia kini ibarat kapal bocor yang sedang oleng, terapun-apung dilaut lepas menunggu karam, semetara nahkodanya seperti tidaak punya kompas.Dengan demikian betapa sesungguhnya sebagian kita telah mengalami kelumpuhan hati nurani dan kemandulan logika untuk menyelamatkan masa depan Indonesia.
Bila nurani dan logika sudah tidak lagi berfungsi dengan baik, maka adakah harapan bahwa kita akan berhasil menganyam masa depan yang lebih baik, lebih cerah, dan lebih otentik?? Ini semua disebabkan oleh egoisme politik dan sikap serakah terhadap kekuasaan serta benda (materi). Akibatnya nurani menjadi lumpuh dan logika menjadi mandul.
Sepanjang zaman dan semua unit peradaban, kekuasaan tanpa landasan moral yang kuat, pasti menyebabkan orang lupa daratan. Fenomena mabuk kekuasaan ini dapat dikatakan sebagai kecenderungan umum dalam perjalanan sejarah umat manusia, tidak peduli mereka mengaku punya agama atau tidak. Dalam perspektif agama kejatuhan suatu bangsa atau suatu umat karena mereka menggunakan kemauan dan pilihan bebasnya secara salah dan tidak bertanggung jawab.
Apakah kita dengan begitu telah kehilangan harapan dan bahkan putus asa? Sebagai umat beriman, kita dilarang putus asa. Kita tidak boleh memandang Indonesia yang akan datang melalui lensa gelap. Kita haarus membangun optimisme di tengah-tengah bayangan pesimisme yang semakin luas. Oleh sebab itu, dalam posisi kita masing-masing dan daalam batas-batas kemampuan kita, kita wajib menolong bangsa ini agar dapat keluar dari himpitan beban yang teramat beraat. Kita tidak boleh larii dari tanggung jawab, sekalipun pangung sejarah Indonesia selama sekian dasa warsa banyak ditempati dan dimanfaatkan oleh oportunis-oportunis ekonomi kaum kapitalis-feodalis para politisi yang haus akan kekuasaan. Aakubat dusta dan dosa mereka, seluruh rakyat harus menangggung beban resiko yang teramat berat.
Haarapannya dengan pengakuan yang tulus dari segenap komponen masyarakat akan mengeluarkan bangsa ini dari krisis yang sangat melelahkan. Setelah pengakuan itu, kita tingkatkan komitmen bersama untuk merealisasikan nilai-nilainya ke dalam format yang konkret. Berdssaarkan penafsiran kita yang otentik terhadap kesatuan nilai-nilai dasar kebangsaan.
Dengan cara ini diharapkan bahwa persaudaraan kita sebagai sebagai bangsa yang pluralistik ini dapat direkatkan dan dianyam kembali dalam budaya tengang rasa dan lapang dada. Hilangkan kebiasaan mau menang sendiri sebagai golongan mayoritas, tetapi juga jangan tampil sebagai tirani minoritas bila terbuka peluang untuk itu. (***)

Rabu, 12 Desember 2007

Obor dan Ember Rabi’ah


Oleh: Ainul Yaqien


"Jika aku menyembahMu karena aku takut api nerakaMu, maka bakarlah aku di dalamnya!
Dan jika aku menyembahMu karena tamak kepada syurgaMu maka haramkanlah aku daripadanya.
Maka jika aku menyembahMu karena kecintaanku kepadaMu maka berikanlah aku balasan yang besar, berilah aku melihat wajahMu yang Maha Besar dan Maha Mulia itu.
Bait-bait diatas adalah sekelumit kerinduan manusia akan cinta pada Tuhan. Untaian kalimat itu terucap dari mulut Rabi’ah Adawiyah. Ia merupakan sufi perempuan masyhur dari tanah Irak. Kerinduannya akan Tuhan menempatkannya pada sebuah pencapaian yang luar biasa. Citarasanya akan cinta pada Tuhan menempatkannya menjadi salah satu ikon mistik Islam sepanjang zaman. Ia adalah panutan para sufi sesudahnya. Tentang Rabi’ah ini, sastrawan besar Fariduddin Al-Aththar melukiskannya dengan tepat. "Rabi’ah adalah wanita yang menyendiri dalam keterasingan suci, wanita yang bercadarkan ketulusan, wanita yang oleh cinta dan kerinduan luluh dalam penyatuan dengan Tuhan, wanita yang diterima oleh para lelaki sebagai Maria tanpa noda."
Dalam jagat sufisme, namanya setara dengan wali-wali agung. Konsep mahabbahnya menjadi inspirasi bagi umat selanjutnya. Seperti bunga, harumnya membentang dari dulu hingga sekarang. Perindu Tuhan itu adalah pecinta paling sejati. Di tangannya,konsep mahabbah (cinta Tuhan) menjadi lebih diterima. Dalam pandangannya hakekat tasawuf adalah Hibbullah atau mencintai Allah tanpa kecuali. Semua perbuatan yang dilakukan tidak dikarenakan rasa penuh harap akan pahalaNya atau rasa takut akan siksaNya. Tetapi perbuatan tersebut terdorong akan rindunya kepada Sang Khalik. Ada tiga tingkatan Mahabbah untuk mencapai jalan sufi. Pertama, zuhud. edua, ridha dan ketiga ihsan. Kesemuanya ini akan menghantarkan cinta manusia kepada Allah.
Banyak penulis-penulis cemerlang yang pernah menulis tentang sosok sufi ini. Gagasan mahabbahnya mampu menyihir banyak sufi, sastrawan dan pemikir sesudahnya. Mulai dari Abu Nasr As-Sarraj sampai Margareth Smith menggalinya dalam sebuah buku. Bahkan pemikir Muktazilah, Al Jahiz dalam bukunya Al-Bayan wat Tabyin menganggap penting pemikiran Rabi’ah bagi perkembangan pemikiran Islam. Tokoh ini menjadi sufi pertama yang diperkenalkan di negeri Barat. Legendanya dibawa oleh Joinville, seorang duta Louis IX ke Perancis. Bahkan sastrawan mutakhir Jerman masa kini, Max Mell menuliskannya dalam cerpen Die Schonen Hande.
Masa Yang Penuh Kesulitan
Perempuan mulia ini bernama lengkap Rabi’ah Adawiyah binti Ismail. Ia lahir pada tahun 95 H atau 185 M di kota Basrah, Irak. Ayahnya bernama Ismail Al-Adawiy Al-Qassy. Rabi’ah yang berarti keempat mempunyai masa kecil yang kelam. Dalam beberapa catatan sejarah disebutkan bahwa keluarganya tergolong miskin. Sampai-sampai pada masa persalinannya, Ismail tidak mempunyai uang sama sekali. Novelis Mesir Widad El-Sakakini melukiskannya dengan sangat mengharukan. Hanya sang ayah yang menemani isterinya saat kelahiran. Prosesi kelahirannnya berjalan tanpa lampu penerang. Segan dan malu telah mencegah Ismail untuk meminta tolong tetangganya. Rasa sakit semakin menjadi-jadi menimpa istrinya. Maka ia memohon kepada suaminya untuk mencari mentega dan minyak. Mulailah Ismail mengetuk pintu para tetangganya. Namun tak ada sambutan ramah.
Di tengah kebingungan ini, Ismail kembali ke pangkuan istrinya. Wajahnya lesu. Melihat situasi ini, sang istri hanya berdoa. Karena dengan doa ia aman dan damai. Tidak lama kemudian tangis bayi memekakkan dinding rumah. Seorang bayi perempuan telah lahir. Tetapi harapan Ismail kembali terkubur. Keinginannya memiliki seorang bayi laki-laki kandas. Sebuah doa meluncur dari mulutnya: "Tuhan mengabulkan sejumlah anak laki-laki kepada siapapun yang dikehendaki Nya."
Banyak cerita unik seputar kelahirannya. Sufi besar Persia Fariduddin Aththar menulis dalam Tadzkiratul Awliya sebagai berikut: "Ayahnya pernah bermimpi bertemu dengan Rasulullah menjelang kelahiran Rabi’ah. Dalam mimpinya itu Nabi bersabda: Janganlah bersedih hati sebab anak perempuanmu yang baru lahir ini adalah seorang suci yang agung yang pengaruhnya akan dianut oleh tujuh ribu umatku." Dengan mimpi ini, kemiskinan yang dihadapi keluarganya dinikmatinya dengan penuh keasyikan.
Jalan hidup Rabi’ah sangatlah muram. Apalagi setelah ditinggal mati Ayah dan ibunya. Pada waktu kekeringan melanda Basrah, Rabi’ah kemudian berpencar dengan kakak-kakaknya. Ia menjadi seorang budak. Hidupnya penuh penderitaan. Masa kecil dan remajanya dihabiskan dalam lilitan pekerjaan yang berat. Kepandaiannya bermain musik menjadikan Rabi’ah sebagai alat majikannya untuk menghimpun kekayaan. Perilaku kasar tuannya itu diterima dengan tabah.
Lilitan kesulitan dilalui Rabiah dengan kecintaan pada sang Khalik. Suatu ketika majikannnya mendengar Rabi’ah berdoa. Seberkas cahaya memancar dari dari rona wajahnya. Doa ini digambarkan Abdul Muni’m Al-Qindil dalam kitab Rabiah Al-Adawiyah, Adzarul Basrah Al Bathul: "Ya Allah, Engkau tahu bahwa hasrat hatiku hanyalah untuk memenuhi perintahMu. Jika aku dapat mengubah nasibku ini, niscaya aku tidak akan lekang sejenakpun untuk mengabdi kepadaMu." Kalimat itu menggetarkan sang majikan. Tidak lama kemudian Rabiah dibebaskan. Pengelanaan akan cinta abadinya pada Tuhan adalah jalan hidup Rabi’ah selanjutnya. Rabi’ah meninggal pada tahun 185 H dan dimakamkan di Basrah Irak.
Doa dan Kekeramatan
Laiknya pecinta sejati, kata-katanya menusuk langsung ke jantung jiwa. Bagi seorang sufi lafadz cinta pada Tuhan menjadi doa. Tak hanya indah dan puitik. Di dalamnya mengandung makna yang dalam tentang semesta ini. Rabi’ah mengalunkan tembang cintanya melebihi sufi di zamannya. Tentang cinta ini Rabiah pernah menulis:
"Kucintai Dikau dengan dua cinta: cinta yang sunguh-sungguh dan cinta yang tidak patut. Dari cinta yang sungguh-sungguh aku akan menikmati dalam mengingatMU untuk mengenang selain-Mu. Dan untuk cinta yang tak patut kubutuhkan rahasiaMu sendiri untuk kulihat. Jangan sampai tak ada rasa syukur bagiku dalam kedua cinta itu; rasa syukur hanya kepadaMu.
Tentang "pujaannya" itu ia menulis: "Oh kekasih hati, aku tak akan memberikan apapun kecuali bagiMu. Karenanya kasihanilah hari ini si pendosa yang datang kepada Mu. Oh harapanku dan istirahku dan kenikmatanku, hatiku tak bisa mencintai apapun kecuali Kau, Satu." Di lain catatan ia melukiskan rasa cintanya ini dalam sebuah syair: "Oh Tuhan, malam telah berlalu dan fajarpun tiba. Betapa ingin aku mengetahui, apakah Kau telah menerima atau telah menolak doa-doaku. Karenanya hiburlah daku karena kata-kataMulah yang dapat menghibur keadaanku ini. Kau telah memberiku hidup dan menjagaku, dan kaka-kataMu itulah kejayaan itu. Jika Kau hendak mengusirku dari pintuMu, aku akan meninggalkannya, karena cinta yang kusimpan dalam hatiku terhadapMu."
Disamping penyair handal, Rabi’ah dikenal penuh dengan kekeramatan. Pernah suatu kali ia ingin memasak. Ternyata bawang yang akan dibuat bumbu tidak ada. Tiba-tiba saja jatuh sebutir bawang dari langit. Di lain waktu rumahnya pernah dimasuki pencuri. Saat si pencuri masuk ke rumah, ia sedang melaksanakan salat dan berdoa. Pencuri itu tidak mengambil barang-barang Rabi’ah. Tetapi yang dilakukannya hanyalah menunggu perempuan suci itu berdoa. Tetapi ketika selesai, Rabi’ah tahu dan mengajaknya berdoa. Setelah selesai berdoa, pencuri itu diperbolehkan pulang ke rumah.
Cerita aneh juga menimpa Rabi’ah ketika naik haji. Barang bawaannya diletakkan dipundak seekor keledai. Dalam perjalanan binatang itu mati. Rabiah kemudian berhenti dan menolak melanjutkan perjalanannya. Kemudian Rabi’ah berdoa: "Ya Allah engkau undang hamba ke RumahMu. Tetapi keledai hamba mati di tengah perjalanan, dan hamba seorang diri di tengah keganasan ini..." Sesaat kemudian setelah memanjatkan doa, keledai itu berdiri tegak. Rabi’ah naik ke atas punggung dan menyusul rombongannya.
Rabi’ah juga dikenal sebagai wali majdzub yang aneh. Satu saat ia pernah membawa obor keliling kota Basrah. Ketika ditanya, jawabanya mengagetkan. Rabi’ah akan membakar Ka’bah di Mekah. Kenapa? Karena semua orang hanya datang ke Mekah tanpa cinta kepada Allah. Pernah juga ia berkeliling Basrah dengan membawa ember berisi air. Ia beteriak lantang bahwa ia akan memadamkan api neraka jahanam yang menjadi ketakutan umat Islam. Umat Islam hanya takut kepada neraka bukan kepadaAllah.(***) Ainul Yaqien

Imam Ghozali dan Ihya Ulumiddin


Kitab Ihya Ulumiddin karya Imam Ghazali sarat dengan ilmu dan mutiara hikmah. Karya monumental yang dimaksudkan untuk "menghidupkan ilmu-ilmu agama."
Di Masjid Sunda Kelapa, di kawasan Menteng, Jakarta Pusat, ada pengajian mingguan yang digelar secara rutin, diasuh oleh Prof. Dr. H. Nasaruddin Umar, salah seorang pakar tasawuf. Ini memang pengajian yang lain dari pengajian biasa. Tak hanya di Masjid sunda kelapa, melainkan di banyak pesantren salaf di Indonesia Kitab tersebut menjadi materi yang wajib untuk di kaji oleh para santri senior. Mengapa? Karena kitab Ihya Ulumiddin karya Imam Ghazali yang dikenal sebagai kitab "berat."
Kitab yang terdiri dari 16 jilid tebal (3.085 halaman), dan tergolong sebagai "kitab kuning" ini boleh dikata sebagai "samudra ilmu." Segala persoalan kehidupan beragama dijelaskan secara rinci oleh pengarangnya, ulama besar yang juga mendapat julukan sangat terhormat, Hujjah Al-Islam – orang yang mampu menjawab persoalan keislaman dengan argumentasi yang kuat dan tepercaya. Mulai dari fikih (hukum dan aturan-aturan dalam peribadatan), akhlak (perilaku yang utama), aturan muamalah (kegiatan non-ibadah), sampai dengan tata cara berdoa, zikir, wirid, dan kehidupan spiritual lainnya, dikaji dan dibahas secara mendalam dan rinci.
Karya master piece ini sudah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa, termasuk dalam bahasa Indonesia. Karena dianggap terlalu tebal dan berat, Imam Ghazali kemudian meringkasnya menjadi satu jilid berjudul Minhaj Al-Abidin. Sesuai dengan namanya, Ihya Ulumiddin, ditulis Imam Ghazali dengan tujuan untuk menghidupkan kembali ilmu-ilmu agama.
Konon. karya besar ini ditulis setelah proses pengembaraan spiritual yang dimulai dari Naisyabur, Persia (kini Iran), dalam sebuah perenungan yang khidmat dan panjang, sebagai puncak karya intelektual dan spiritual, ketika Imam Ghazali berusia 50 tahun. Ia bukan hanya ulama besar tapi juga intelektual yang menguasaui banyak disiplin ilmu: ilmu fikih, filsafat, teologi, mantik (logika), retorika, sastra, dan sebagainya. Namun, kepakaran itu rupanya tidak cukup membuat hatinya tenteram. Mulalah ia menyepi, merenung, dan belakangan jadilah ia sebagai ulama yang sangat sufistik.
Menurut Ensiklopedia Islam terbitan Van Hoeve, Ihya Ulumiddin telah memberikan corak dan karakter Islam, sehingga sering disebut sebagai salah satu sumber ilmu tasawuf dan akhlak. Kitab ini memuat beberapa pembahasan mengenai ibadah dan muamalah. Uraian fikihnya berorientasi kepada mazhab Syafi’i sementara paham teologinya, Asy’ariyah. Kitab ini membagi ilmu menjadi dua, ilmu lahir dan ilmu batin.
Fardu Kifayah
Ilmu lahir mencakup ibadah dan muamalah, sementara ilmu batin mencakup ilmu untuk membersihkan hati dari sifat-sifat tercela, menghiasainya dengan sifat-sifat terpuji.
Imam Ghazali juga membagi ilmu dalam dua kategori yang lain, yaitu ilmu yang harus dipelajari sebagai fardu ain (kewajiban individual) dan ilmu dipelajari sebagai fardu kifayah (kewajiban komunal). Menurut Ghazali, ilmu yang wajib diburu ialah ilmu untuk melaksanakan kewajiban syariat yang harus diketahui secara pasti. Misalnya ilmu tentang zakat bagi seorang peternak atau pengetahuan tentang riba bagi seorang pedagang.
Kategori lainnya ialah ilmu agama (sebagai ilmu yang mahmud atau terpuji) dan ilmu non-agama (sebagai ilmu yang mazmumah atau tercela). Yang dimaksud dengan ilmu agama itu, antara lain, pertama, ilmu-ilmu ushul (pokok) yang mencakup ilmu tentang Al-Quran, hadis, dan tradisi sahabat Nabi SAW. Ilmu agama jenis kedua, ialah ilmu furuk (cabang) yang mencakup ilmu fikih, etika, dan tasawuf. Ilmu agama jenis ketiga, ialah ilmu pengantar atau ilmu alat seperti nahu dan saraf; sementara ilmu agama yang keempat, ialah ilmu pelengkap seperti ushul fiqh dan ilmu tentang hadis.
Dalam pembahasannya, Imam Ghazali membagi Ihya Ulumiddin menjadi empat bagian. Pertama, menguraikan tentang ibadah; terdiri atas 10 bahasan, yaitu ilmu tentang ibadah, kaidah tentang akidah (keyakinan), rahasia bersuci, rahasia salat, rahasia puasa, rahasia zakat, rahasia haji, keutamaan membaca Al-Quran, zikir, doa dan urutan dalam wirid. Kedua, menguraikan tentang muamalah, yang juga terdiri atas 10 bahasan, meliputi etika makan, etika nikah, etika bepergian, etika berteman, etika bekerja, etika pertemuan, etika mendengarkan dan bersenang-senang, etika amar makruf nahi munkar, tentang moral (soal halal-haram), tentang uzlah yakni menjauhkan diri dari dunia ramai untuk bermunajat kepada Allah SWT, dan tentang akhlak kenabian.
Pembahasan ketiga, menguraikan hal-hal yang dapat merusak kehidupan manusia dan hal-hal yang menyelamatkan manusia di dunia dan akhirat. Di sini diuraikan keajaiban hati, riadat (olah jiwa), bahaya nafsu perut dan kemaluan, bahaya lisan, bahaya amarah, bahaya dengki dan hasut, tercelanya urusan dunia, tercelanya harta kekayaan dan sifat bakhil, tercelanya kedudukan dan pamer, tentang sifat sombong, tentang takabur, dan tentang penipuan. Adapun yang dapat menyelamatkan manusia di dunia dan akhirat: taubat, mahabah (cinta kasih), sabar dan tawakal, bersyukur, takut dan berharap kepada Allah SWT, fakir dan zuhud, tauhid dan tawakal, kerinduan dan rida, berbuat benar dan ikhlas, murakabah (merasa diri diawasi Allah) dan muhasabah (mawas diri), tentang berpikir dan upaya mengingat mati.
Pada dasarnya, Ihya Ulumiddin dimaksudkan agar para pembacanya dapat menunaikan ibadah secara mantap, bukan hanya formalitas, mampu menangkap rahasia-rahasia ibadah. Ibadah bukan sekadar memenuhi kewajiban, melainkan untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT. Keberhasilan dalam menangkap rahasia ibadah sangat penting, sebab dari sinilah maqam makrifat (tingkat tertinggi) dalam tasawuf diperoleh.
Nilai Terbaik
Adapun dalam hal muamalah, Imam Ghazali memperingatkan agar memperhatikan akhlak yang tercela, yang harus dibersihkan dari jiwa dan hati, serta mencari penyebab dari bahaya yang ditimbulkannya. Imam Ghazali juga menunjukkan upaya mengatasi perbuatan tercela dengan bersandar pada beberapa dalil ayat Al-Quran dan sunah. Dibahas pula hal-hal yang dapat menyelamatkan manusia, yang pada dasarnya merupakan etika dalam berhubungan dengan Allah SWT. Imam Ghazali juga mengemukakan hakikat dan batasannya, faedah pemenuhan etika tersebut, tanda-tanda yang dapat diketahui serta keutamaan-keutamaannya, dengan pertimbangan agama dan akal.
Ada sisi lain yang sangat menarik yang dipersepsikan, atau bahkan terjadi, di sekitar Ihya Ulumiddin. Suatu hari, Abu Hasan Ali bin Harzaham – seorang ulama asal Maroko – mengkritik kitab yang di kemudian hari mendunia itu di hadapan sejumlah kerabatnya. Seketika itu juga, konon Allah menyingkapkan sebuah hizib (tabir) di antara mereka yang hadir. Dan, atas izin Allah, mereka menyaksikan Ibnu Harzaham dicambuk bertubi-tubi oleh beberapa lelaki tak dikenal.
Riwayat lain mengungkapkan, suatu hari Ibnu Harzaham melarang orang membaca Ihya Ulumiddin. Konon, Imam Ghazali mendatanginya dalam mimpi lalu membawanya ke hadapan Rasulullah SAW. "Ya Rasulullah, inilah orang yang tidak percaya pada apa yang saya tulis berdasarkan ajaran Rasulullah. Katanya, ini bukan dari Rasulullah," ujar Imam Ghazali. Mendengar itu, Rasulullah pun memerintahkan agar Ibnu Harazim didera.
Dalam versi lain, diceritakan Ibnu Harzaham mencoba membakar kitab tersebut. Pada malam harinya, ia mimpi seolah-olah masuk ke dalam masjid dan bertemu dengan Imam Ghazali yang duduk di samping Rasulullah SAW, Abu Bakar Ash-Shiddiq, Umar bin Khaththab. Ia melihat Nabi membenarkan kandungan kitab Ihya Ulumiddin dan menilainya dengan penilaian terbaik. Terbangun dari mimpi, Ibnu Harzaham segera bertaubat kepada Allah. Dan setelah itu, ia terus-menerus mempelajarinya, sampai Allah SWT membukakan hatinya sampai ke maqam makrifat. Sejak itu, ia dikenal sebagai pakar ilmu lahir dan batin sebagaimana terkandung dalam karya besar Imam Ghazali.
Di zamannya, bahkan sampai kini pun, Ihya Ulumiddin merupakan sebuah kitab yang sangat fenomenal. Para ulama meyakini, dengan mendalami dan mengamalkan kandungannya akan memperoleh rida dan cinta kasih dari Allah SWT. Dengan mendalami dan mengamalkan karya besar ini, orang akan lebih memahami segala sesuatu mengenai ajaran Islam yang hakiki, meliputi syari’ah (syariat, agama), thariqah (tarekat, jalan menuju pendekatan kepada Allah), haqiqah (hakikat kebenaran) dalam kehidupan di dunia dan akhirat. Bisa dimaklumi jika pada kemudian hari, mahakarya ini diterjemahkan ke berbagai bahasa.
Tapi, tak sembarang santri "diizinkan" mempelajarinya – meskipun kitab ini serta merta menjadi bacaan wajib di pesantren-pesantren. Meskipun ada anggapan, seorang santri belum lengkap sebagai santri bila belum mempelajari Ihya Ulumiddin, tak sembarang santri "diizinkan" mempelajarinya. Mengingat kandungannya yang "berat," kitab ini diajarkan para kiai dalam kelas khusus, sementara pesertanya pun hanyalah para santri senior.(***)Ainul Yaqien